Selasa, 24 Maret 2015

revolusi mental 2




REVOLUSI  MENTAL

Didalam Indonesia merdeka, kita merdekakan rakyatnya, kita merdekakan jiwanya {bung Karno}.
            Hampir satu abad kita bangsa kita merdeka,  tapi mental bangsa kita ternyata masih saja seperti mental bangsa terjajah, Takut jujur mengekspresikan diri, suka memuja-muja keunggulan bangsa lain, tidak kenal dan minder jadi dirinya sendiri dan selalu hanya menjadi objek, bukannya subjek di negerinya sendiri. Jadi rasanya memang sudah saatnya terjadi revolusi jilid  2 di negeri ini, yaitu revolusi mental, revolusi tanpa pertumpahan darah, revolusi penyadaran, pencerahan yang mencerdaskan dan membangkitkan rasa kemanusiaan.
            Jika kita bicara masalah revolusi, berarti kita bicara masalah yang mendasar, kita harus berani membongkar hingga ke akar permasalahannya, Dan jika kita bicara masalah mental, suka atau tidak, kita harus bicara agama/spiritualitas,  karena itulah hal mendasar/fundamental yang telah membentuk mental bangsa kita selama ini.
Jadi kalau kita mau merevolusi mental bangsa ini, akar permasalahannya jelas, yaitu revolusi dulu pandangan keagamaan kita dulu!. Karena bisa saya buktikan, bahwa agama itulah {sadar atau tidak} yang telah menjajah mental bangsa kita, menjadi bangsa yang gampang dibodohi dan ditakut-takuti. Menjadi bangsa yang tidak kenal jati-dirinya sendiri. Dan hal yang seperti itu terus dilanggengkan, karena dari ketakutan dan kebodohan bangsa kita,  banyak pihak yang bisa menarik banyak keuntungan baik secara finansial maupun non finansial dari kita.
            Agama hanya mengajarkan kita  jadi manusia copy paste yang seragam. Dan jika anda berani keluar dari mainstream, tuduhan kafir dan ancaman api nerakapun pasti akan langsung meneror anda, Karena itu tidak usah heran, kalau kita tidak pernah kenal spiritual bangsa sendiri. Karena kita memang tidak pernah diajar untuk mengenal itu. Kita tidak pernah diajar untuk berani mencari, menemukan dan menjadi dirinya sendiri, Selama ini kita lebih banyak diajar untuk menjadi manusia instan-seragam yang penuh kemunafikan dan kepura-puraan. Manusia yang suka  memuja-muja simbol-simbol kesucian dan jargon muluk=muluk, tapi paradokal dengan keseharian hidupnya. Suka teriak-teriak, “Tuhan maha pengasih dan penyayang!” tapi kelakuannya bengis dan kejam. Mulutnya fasih menguti[ ayat-ayat suci, tapi, merampok dan menjarah uang rakyat [Korupsi} dilakukannya juga.
             Agama selalu mengajarkan kita untuk takut pada Tuhan, sekaligus dianjurkan untuk menaruh hormat dengan memuja-mujiNya setiap hari. Padahal secara psiklogis,  rasa hormat orang yang ketakutan itu biasanya tidak tulus. Nah! Jika pada Tuhan saja kita diajar untuk tidak tulus {munafik/menjilat/menipu} Tidakkah akan demikian juga akhirnya sikap kita pada sesame?. Pada Tuhan jangan takut, tapi cinta!.
            Pada sisi yang paling fundamental. Agama memang tidak pernah mengajarkan kita untuk berani menjadi manusia yang bisa berlaku jujur. Justru intimidasi dan teror baik secara halus atau kasar itulah yang selalu ditanamlan Apa itu ajaran fundamental agama? . yaitu pencarian akan haqiqat kesejatian Tuhan. Dan dalam persepsi orang beragama, wajah Tuhan itu terjermin dalam dalam kitab suci. Maka keyakinan yang absolut akan keberadaan Tuhapun lantas di ekspresikan dalam bentuk penerimaan yang absolut pula terhadap kitab suci. Kita lupa,  bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya itu bersifat mempribadi, unik dan orisinil dan tidak bisa diseragamkan. Dan kalau diseragamkan dalam bentuk ekspresi keagaman.  Pasti hasillnya hanya paradok dan kemunafikan. Karena itu tidak usah heran, mengapa Allah yang dicitakan begitu baik dan agama yang begitu luhur, justru bisa melahirkan penganut yang begitu buruk disisi lain. Penyebabnya jelas, krena agama yang secara teoritis mengajarkan akan keberadan Allah yang maha tak terbatas,  sementara dalam prakteknya menanamkan dogma keberadaan Allah yang hanya ada di setebal  kitab suci saja.
            Mengapa Maulana, kini demi aturan-aturan suci, aku sering dipaksa untuk pergi dari hatiku, hingga aku tak disegarkan tetesan rahmatNya, karena aku bukan lagi kebunNya? {Jalalludin Rumi). Maka advis saya; Jadilah kebun kasihNya, yang pasti akan disemai benih-benih kehidupan. Jangan hanya jadi kebun/budak agama, yang pasti hanya akan dijejali batu-batu dogma beku
            Kadi kalau selama ini kita lihat kehidupan bangsa kita yang penuh pembusukkan politik, dekandensi moral, krisis ketauladanan, ketakutan, kebencian, ketertutupan, permusuhan baik dengan darah atau tidak, sadar atau tidak, salah satu penyebab utamanya karena selama ini sadar atau tidak, sesungguhnya kita itu telah MEMBERHALAKAN AGAMA!
             Kebanyakan orang beragama berkeyakinan, bahwa Tuhan telah cukup memberi petunjuk lewat kitab suci dan comtoh ketauladan lewat laku hidup para nabi. Lalu apa bedanya keyakinan macam itu dengan idiologi seorang Marxis, yang juga suka menyombong, bahwa segala tanya sudah ada jawabnya pada kami.
            Tidak mungkin orang mempercayai adanya Tuhan, tanpa menyadari/mengakui bahwa dirinya sendiri terbatas.. Terbatas pula dalam pengetahuan mana yang benar dan mana yang salah. Sementara yang kita lihat selama ini khan tidak seperti itu.  Tuhan, kebenaran bahkan surgapun telah dimonopoli dan di klaim hanya milik golongan agama tertemtu saja. Silahkan anda berkeyakina bahwa  agama  adalah kebenaran yang absolut, Tapi harap sadar, bahwa otak yang menafsirkan agama itu terbatas sifatnya. Agama menjadi berarti itu karena ditafsirkan, dan karena yang menafsirkan banyak kepala, maka tidak usah heran jika kemudian banyak lahir mazhab dan aliran dalam agama.
            Dalam agama Islam contohnya, hasil tafsir atau ijtihad para ulama dalam bidang ibadah dan fikih mu’amalah melahirkan empat mazhab, yaitu, Maliki, Hanafi, Syafi;i dan Hambali, dalam bidang tasawuf ada dua aliran, sunni dan syi’ah, dalam bidang politik ada tiga aliran, Khawarij, Syi’ah dan Sunni, dalam bidang falsafah Islam ada aliran Al.Farabi dan Al’ghazali, dalam bidang akidah ada enam aliran, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah, dan syi’ah.
            Dan diantara ajaran-ajaran itu banyak perbedaan bahkan pertentangannya, misalnya menurut mazhab syafi’i ludah anjing itu najis, sementara menurut mazhab Maliki tidak najis. Maka tidak usah heran, jika sama-sama orang Islam saja pada saling mengkafirkan, kelahi dan bunuh-bunuhan. Di Eropa hal seperti itu juga pernah terjadi, yaitu pertikaian antara orang Khatolik dan Protestan yang sama-sama memuja Yesus.
            Itulah akibat dari ketersempitan dam ketertutupan cakrawala pemikiran yang tidak pernah berani keluar dari kotak sempit agama. Otak kita jadi gampang ditanami dogma-beku, yang menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang diajarkan para tokoh agama kita itulah ajaran agama yang sebenarnya. Dan jika dalam masyarakat ada ajaran yang berbeda apalagi bertentangan dengan ajaran yang kita anut selama ini, kitapun langsung berkesimpulan bahwa itu ajaran sesat orang kafir yang harus ditolak bahkan kalau perlu dimusnahkan?. Kita tidak sadar, bahwa tokoh-tokoh agama yang selama ini kita agung-agungkan karena kefasihan mulutnya menyetir ayat-ayat suci itu,  ternyata juga hanya orang-orang yang otaknya telah terkoptasi tafsir ajaran agama yang juga sangat sempit. Karena perlu diketahui, dalam pendidikan Islam di Indonesia itu pada umumnya yang diajarkan selama ini hanya satu dari banyak aliran dan mazhab yang ada dalam Islam.
            Jadi kalau kita mau mencari haqiqat kesejatian Tuhan, yang pertama-tama kita lakukan adalah belajar untuk berani berlaku jujur. Kalau belum kenal ya katakan saja belum kenal. Kalau belum menyaksikan akan kebesarannya ya tak usah meuja-mujinya juga tak apa (Tuhan itu tidak gila pujian.} kalau itu hanya menipu diri. Puja Tuhan sebagai si maha pemurah, setelah itu minta ini-itu, itu kelakuan pengemis/penjilat,serakah namanya, puja Tuhan sebagai si maha tahu, habis itu dikte Dia agar lakukan ini-itu,  itu tak tahu diri namanya.  Percaya bahwa tuhan itu maha mendengar, tapi ibadahpun harus teriak-teriak pakai pengeras suara, apa itu namanya kalau bukan munafik.
             Kehidupan orang beragama yang penuh paradokkal dan kemunafikan itulah yang membuat saya berpaling dari agama-agama formal terorganisir, dan memilih kembali melihat dalam tradisi spiritual bangsa sendiri, yang ternyata sebenarnya sangat dinamis bahkan progresif. Disitu bisa bergabung untuk terjadinya perubahan sosial secara radikal dengan keyakinan perlunya dimensi moral/spiritual dalam masyarakat, agar tidak terjatuh dalam totalitarianisme,
            Jadi kalau ada ajaran spiritual bangsa kita  yang patut dibanggakan, yaitu karena tidak pernah lahirnya agama atau nabi di negeri ini. Kita tidak pernah diajar untuk menjadi pembual-sombong yang suka berkotbah, tentang kebesaran Allah yang maha tak terbatas, tapi dalam prakteknya kita menjebak dan membunuh Tuhan, lalu memasukkannya  dalam peti sempit yang bernama kitab suci. Karena setebal apapun itu kitab suci dan semulia apa itu nabinya, pada akhirnya yang terjadi adalah dogma yang membelenggu dan menjajah jiwa.
            Dalam pengetahuan tekstual/teori, spiritual bangsa kita memang kalah jauh. Ini semua karena semata hanya karena kita bangsa yang lebih banyak berbudaya lisan, sementara di negeri para nabi itu lebih berbudaya tulis. Tapi soal esensi boleh diadu! Kalau bicara spiritual kita harus berani menukik hingga ke esensinya, tidak hanya ribut-pamer soal wadah atau kemasannya saja.
             Dan esensi ajaran spirtual bangsa kita ,ngajarkan kejujuran, kebesaran jiwa, penghormatan/apresiais pilihan hidup orang lain, dan penuh keterbukaan. Spiritual yang dinamis penuh dialitika, yang mendorong kita jadi subjek yang berani mencari dan menemukan jati-dirinnya sendiri dan Tuhannya.Menghargai proses, bukan sekedar jadi objek dakwah-pasif yang ditanami dogma secara instan, lalu memuja-muji Tuhan bukan atas dasar pengalam-pergulatannya sendiri, tapi hanya karena membeo menurut kata si anu dan si itu.
            Inilah luar-biasanya ajaran spiritual bangsa kita, dalam kesederhanaannya menyimpan kelapangan yang luas seperti lautan, kita tidak pernah mempermaslahkan perbedaan agama, mazhab atau aliran, semua diterima dengan tangan terbukam semua dihargai dan diapresiasi keberadaaanya sebagai sarana. Jalan atau petunjuk untuk mencari dan menemukan haqiqat kesejatian Tuhan. Kita tidak pernah mempermasalahkan inputnya mau ambil dari agama mana atau keyakinan yang seperti apa, yang penting adalah autputnya!
            Cuma sayangnya, agama yang sebenarnya hanya alat, jalan atau sarana itu, kini oleh kebanyakan orang telah dijadikan tujuan, dijadikan tuhan [dengan ‘t’ kecil} yang harus diterima secara absolut. Agamapun telah menjadi berhala baru,  karena inputnya sudah ngak benar, jelas autputnyapun yang keluar akhirnya aburadul!
            Ironis memang, ajran spiritual yang orisinil karya bangsa sendiri, yaitu pencarian haqiqat kesejatian Tuhan dan diri tanpa bahasa kitab suci atau merujuk pada agama tertentu, justru oleh para tokoh-tokoh agama sering divonis sebagai ajaran sesat. Orang yang kelamaan hidup dalam lingkaran “mayoritas kebenaran bisu” memang akan dengan mudah terjangkiti penyakit “pekokisme”, yaitu : Tidak tahu, tidak mau tahu, tapi sok tahu. Paling suka buat fatwa, tapi ternyata fatwa yang salah. Penyakit pekokisme juga pernah menjangkiti instituasi gereja, ketika mereka menyesatkan bahkan memenjarakan Galileo, hanya karena pandangannya yang berbeda dengan gereja tentang  tata surya.
            Ajaran spiritual bangsa kita sebenarnya sangat dekat dengan dunia sufisme, seperti yang di syairkan oleh Jallaludin Rumi, “ORANG TUHAN TIDAK DIAJAR KITAB/ ORANG TUHAN DILUAR KAFIR DAN AGAMA”.  Tapi orang pekok memang biasa berpandangan hitam-putih, mereka berkesimpulan, bahwa jika orang itu tidak beragama berarti ya orang kafir!.
            Dasar negara kitapun jelas, yaitu Ketuhana yang maha Esa, bukan agama. Bertuhan dan bergama itu memang beda jauh. Jika diibaratkan, bertuhan itu seoerti tinggal dalam sarang  sementara beragama itu seperti tinggal dalam sangkar. Dan kebanyakan orang saat ini memang lebih suka tinggal dalam sangkar emas agama yang memang sangat besar dan mempesona  tapi didak mewakili orisinal wajah diri. Dan kita bangga hidup dalam penjara yang mengurung dan menindas seperti itu? Bahkan penindasan itu menjadi semacam keniscayaan dan kebutuhan? Hanya budak berjiwa terjajah yang suka hidup seperti itu.
            Beda dengan sarang, dia bisa sangat kecil dan sederhahan sekali, tapi nyaman dan mewakili orisinal diri. Burung pipit bersarang kecil, burung elang bersarang besar, tapi esensinya tetap sama, sarang itu tidak pernah memmenjarakan diri. Begitupun sejatinya spiritual yang sebenarnya membebaskan dan tak pernah memenjarakan. Inilah ajaran spiritual bangsa kita yang terlupakan, memerdekakan jiwa. Orang yang jiwanya merdeka, tidak akan inferior sekaligus tidak akan pernah merasa superior dihadapan sesamanya.
            Dalam masyarakat kita sekarang yang ada khan cuma dua golongan saja, pertama golongannya kaum inferior yang hanya bisa pasrah, diam dan nurut saja meskipun kepala diinjak-injak. Dan dua, golongannya segelintir kelompok yang merasa superior, karena merasa sudah bisa menjadi fotokopynya bangsa lain. Karena merasa sudah menguasai teknologi dan ada juga yang karena merasa telah menguasai ilmu-ilmu Illahi. Rasa superiornya itulah yang mendorongnya merasa terpanggil untuk menjadi polisi dunia. Dan satunya lagi, rasa superiornya membuatnya merasa punya otoritas sebagai wakil Tuhan. Dan kedua-duanya sama-sama merasa punya hak untuk menghukum, mengadili, memerangi, menyesatkan ataupun mengkafirkan pihak-pihak yang dirasa tidak sejalan atau akan mengganggu kepentingan-kepentingan mereka.
            Orang yang merdeka jiwanya, tidak akan inferior sekaligus tidak pula merasa superior. Jadi kalau anda mengaku orang yang percaya adanya Tuhan, tapi tidak/belum merasakan adanya kemerdekaan jiwa, anda pantas merenungkan dan mempertanyakan religiusitas anda selama ini. Kemerdekaan jiwa perlu, karena esensial bagi utuhnya hubungan kita dengan manusia dan kebenaran. Kemerdekakan memang bukan emas yang bisa buat berbangga diri, tapi kemerdekaan jiwa adalah kebutuhan yang mendasar, karena hanya dengan kemerdekaan, kemungkinan-kemungkinan baru untuk menyelesaikan konflik dapat dicari, inovasi dan alternative-alternatif baru bisa diperoleh. Karena itu bila kemerdekaan mati, dia tidak akan mati sendirian.
            Beriman/bertuhan bukanlah soal pintar-pintaran menghapal ayat atau tebal-teballan kesempurnaan kitab suci. Tidak!. Anak zaman sekarang dengan enteng akan katakan, “mana yang lebih tebal, sempurna dan jadi rujukan hidup sehari-hari, antara kitab suci dengan kitab mbah Google?”
            Beriman itu memang tidak sama dengan beragama. Beriman itu proses, penuh dialitika dan dinamis. Dari situ tumbuh kesadaran perlunya kerendahan hati , keterbukaan, sikap kritis dan percaya diri. Sementara beragama sebaliknya, sering membuat kita ketiduran dan tak menyadari perubahan hebat yang terjadi diluar dirinya. Seperti dalam sejarah gereja Katolik misalnya. Strukttur masyarakan sudah berubah dari tatanan masyarakat petani-agraris menuju masyarakat industri,  sementara ajaran gereja katolik masih berpegang pada system feudal-agraris. Baru dengan ajaran sosial Paus Leo XIII,  Rerum Novarum, maka gerejapun mengeluarkan ajaran sosial baru karena perubahan strutur masyarakat beserta implikasinya terhadap keadilan social.
            Tahun 1442, ada konsili Florence, bagi konsili ini, siapapun yang berada di luar gereja, akan masuk dalam api abadi neraka dan tidak akan kebagian kavling di surga. Dan lima abad kemudian, lahir konsili Vatikan 2. Dalam konsili ini mengakui, bahwa bukan hanya mereka yang dibaptis dan taat ke gereja saja yang bisa dapat penyelamatan dan bisa punya kavling di surga. Dan ini lucunya, di zaman digital ini,  masih ada segolongan orang yang pola pikirnya sama dengan di zaman konsili Florence, zaman ketika dunia masih sempit dan benua Amerika belum diketemukan. Mereka memonopoli kebenaran dan berkeyakinan, bahwa hanya orang-orang yang masuk golongannya saja yang punya hak masuk Surga.
            Itulah cirri-ciri orang yang jiwanya belum meredeka, masih terjerat dualisme antara surga dan neraka. Orang bodoh yang suka ribut dan berkelahi hanya karena label dan atribut, orang yang berpandangan sempit yang suka memuja hal-hal yang bersifat gebyar lahiriah belaka. Orang minder yang menutupi keminderannya dengan lagak berlebihan, merasa paling benar, pintar, suci dan sempurna sendiri.
            Dalam arsitektur, masjid sulthan Hasan di Kairo Mesir, mungkin bisa  jadi contoh. Masjid yang disebut sebagai tauladan arsitektur Islam yang luar biasa itu, kenyataannya justru didirikan di zaman ketika pemikiran dan peradapan Islam di titik terendah dan sangat statis, dengan kata lain, itu masjid didirikan hanyalah untuk lambang kekuasaan dan kewibawaan sulthan dan pemerintahannya saja, sementara di luar masjid orang hidup zuhud dan papa. Begitulah ketika agama hanya mengurusi hukum dan peraturan tingkah laku, tapi melalaikan compassion dan tumpul rasa terhadap sekitar.
            Jika diibaratkam, bangsa kita saat ini tidaklah ada bedanya dengan perwujutan masjid sulthan Hasan di Kairo itu. Rumah ibadah berdiri dimana-mana, tapi korupsi juga merajalela di setiap sendi kemasyarakatan. Energi kita selama ini lebih banyak terkuras untuk mengurusi hal-hal yang remeh-temeh, dan melupakan hal-hal mendasar yang tengah dihadapai masyarakat kita, seperti masalah pengangguran, daya beli masyarakat yang rendah, kerusakan lingkungan, budaya kekerasan, pendidikan yang amburadul dan sebagainya.
            Mental bangsa ini memang harus direvolusi, bangsa ini harus terbangun sebagai bangsa yang bermartabat tinggi sesuai sila kedua Pancasila, “kemanusiaan yang adil dan beradap”; Langkah awalnya, ya dengan mengubah pola pikirnya, dari pola pikir yang sempit-tertutup menjadi pola pikir yang luas-terbuka. Kita mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran diri. Dengan pola pikir yang demikian, kitapun akan bisa melihat, tanda-tanda transendensi yang sebenarnya ada dalam pergulatan hidup kita sehari-hari. Ayat-ayat Tuhan tidak hanya ada di dalam kitab suci saja. Tapi pada embun, pada daun, pada tangis anak, pada keringat pekerja dan sebagainya, dalam kejernihan jiwa semua itu adalah ayat-ayat Tuhan  juga yang penuh makna. Bekerja halal yang bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain itu adalah ibadah juga,  jadi jangan beribadah yang hanya mementingkan kredo dan ritus, karena ibadah macam itu tidak akan memberi arti dan manfaat apa-apa bagi orang lain.
            Jangan pernah takut menanyakan dan mencari haqiqat kesejatian Tuhan. Cari, temukan dan jadilah dirimu sendiri. Karena cepat atau lambat, suka atau tidak,, kita semua pasti akan  berjalan sendirian memasuki alam kematian. Dan orang yang jiwanya telah merdeka,  telah melampaui dualitas antara kehidupan dan kematian. Kematian bukan lagi jadi hal yang menakutkan, tapi juga tak perlu buru-buru, karena(demam tujuan) kebelet pingin masuk surga (karena tak bisa gapai surga dunia) lalu lakukan bom bunuh diri dengan bendera agama.
Orang yang terjangkiti penyakit demam tujuan, memang akan cenderung menjadi pribadi yang egois dan serakah, persetan orang lain celaka atau susah yang penting dirinya sendiri bisa segera sampai di tujuan yang diimpikannya. Spiritual macam apa itu yang tujuan akhirnya hanya bidadari dan hedonisme belaka. Jika kita menghargai sesama ciptaan Tuhan, berarti kita juga telah menghargai Dia/Tuhan yang menciptakan semua keaneka-ragaman ini. Dan jika kita tidak bisa mengharai ciptaanNya, berarti kita juga tidak menghargai Dia/Tuhan. Jadi anda bias menilai sendiri, orang-orang yang gila Surga itu termasuk orang yang bias menghormati Tuhan atau tidak?.
            Kita saat ini tidak hanya punya problem politik, ekonomi atau moral. Tapi kita juga punya problem pengetahuan. Karena tidak tahu, kita sering terjerumus kedalam penyelesaian yang dangkal dan instan, terhadap permasalahan yang sebenarnya sangat komplek dan global. Karena kita ingin mengerti problem dasar manusia dan mendapatkan pemecahan problem manusia dan kemasyarakatan secara mendasar karena itu revolusi mental perlu.
            Revolusi berarti juga koreksi diri, maka jika kita punya jargon “REVOLUSI MENTAL!” Sebelumnya kita harus berani menanyai diri kita sendiri: Beranikah meninggalkan sikap dan benteng-benteng dogmatis yang sedemikian lama telah kokoh mengurung dan memenjarakan kebenaran pengetahuan kita?. Beranikah kita mempertanyakan, menggugat dan kalau perlu membongkar terhadap pemikiran-pemikiran teologis-dogmatis-formalitis yang telah dominan selama berabad-abad?. Beranikah kita katakan, “ Bahwa agama bukanlah kebenaran yang tertinggi dan paling sempurna, karena semua itu hanya milik Tuhan adanya!”
            Jika anda belum cukup punya keberanian untuk itu, berarti cakrawala pengetahuan anda masih sempit, jiwa anda belum merdeka, dan  karena itu mental anda masih perlu untuk di revolusi.


Sabtu, 19 Juli 2014

meditation jaurney



Surat terbuka buat, anakku.
Hidup itu seperti tauring, nak. Jadi tak perlu beridiologi seperti para pengendara motor besar ataupun para pelaku bom bunuh diri. Orang-orang yang telah terjangkiti penyakit “demam tujuan”, orang-orang yang ingin cepat-cepat sampai tujuan. Lalu ngapain?. Dan orang-orang seperti itu biasanya fanatic, arogan, tidak toleran dan kurang bisa mensyukuri hidupnya. Orang-orang yang tidak paham rahasia pengembaraan.
Hidup itu misteri. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Kau tak pernah menyangka bisa kuliah, ternyata kini kau bisa kuliah. Bisa meraih gelar  S-1, syukur. Andai harus DO juga tak perlu patah semangat. Jangankan kuliah,  Berapa lagi waktu yang akan Tuhan berikan pada kita untuk bisa melihat terbitnya surya, kita tidak akan pernah tahu.  Dan itu justru yang membuat hidup sedemikian berarti. Kita wajib berjuang semampu kita untuk bisa meraih mimpi-mimpi kita. Tapi lebih dari itu yang paling mendasar ialah, kesiapan diri kita untuk bisa dengn lapang dada menerima apapun yang akan terjadi dan Tuhan berikan. Kalau gagal ya tak perlu terlalu bersedih dan kalau berhasil ya tak usah menepuk dada.
Jika kau bisa begitu, kau sebenarnya telah menjadi seorang yang meditative. Dalam ajaran Kejawen itu disebut Sholat da’im atau beribadah dimana sja, kapan saja dan sambil melakukan aktivitas apa saja. Dalam bahasa latinnya orang katakana, ora et labora (bekerja dan berdo’a). Jadi meditasi tidaklah harus duduk diam memejamkan mata dan mengisolasikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan. Tidak. Jika kita meletakkan segala perbuatan dengan kesadaran penuh, itupun sudah bisa dikata sebagai meditasi.
Cuma sayangnya, di zaman modern kebanyakan orang lebih sibuk memikirkan apa yang akan dilakukan (maju) ataupun memikirkan apa-apa  yang telah terjadi (mundur) Kita kerap tidak meletakkan pikiran kita pada keadaaan yang benar-benar saat ini sedang kita hadapi. Bahkan banyak dari kita yang lebih suka melarikan diri dari kenyataaan yang ada. Dan akibatnya, antara pikiran, jiwa, mulut dan perbuatannya seringkali paradokal. Tidak ada satunya. Teriak Tuhan maha pengasih dan penyayang, tapi kelakuannya bengis dan kecam. Itulah tanda-tanda orang yang tak suka bermeditasi.
Jadi meditasi adalah salah satu jalan untuk menumbuhkan kesadaran dan wawasan ditengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Dan syarat untuk bisa bermeditasi itu sederhana saja, yaitu sabar dan nikmati saja segala yang ada,
Tuhan memberiku kemalangan, aku terima dengan hati lapang. Tuhan memberiku kerja keras, aku menerimanya dengan iklas,. Tuhan memberiku cobaan dan kesengsaraan, aku memahaminya sebagai irama kehidupan yang akan membesarkan dan menguatkan jiwa. Dan siapa yang telah punya kebesaran jiwa akan bisa berjalan mengarungi kehidupan dengan santai dan riang. Keindahan dan kebahagian ada disepanjang jalan yang kita lalui, bukan hanya di tujuannya saja. Kau bertujuan ingin menyelesaikan kuliah? Itu bagus. Tapi lebih bagus lagi jika kau bisa pula menelisik kepingan-kepingan kecil keindahan yang ada disekitarmu, yang akan memberimu kebahagian dan menumbuhkan rasa syukur.
Begitupun jika kau ingin membahagiakan kedua orang-tuamu. Kau tidak perlu harus menunggu lulus kuliah atau setelah mapan secara financial. Sekarangpun jika mau kau bisa untuk membahagiakan kedua orang-tuamu, dengan hal-hal kecil tapi sangat berarti, seperti tidak lupa berterima-kasih setelah dapat kiriman uang hahaha ………(canda, mas) kau tetap bisa berlaku sabar dan tabah, meskipun uang di ATM sudah ludes dan perut keroncongan, tapi tetap berjalan tegak (biasa mas…. Sambil lirak-lirik kanan-kiri, lihat warung mana yang belum diutangi hahaha……)Biar miskin tetap percaya diri dong, mahasiswa je. Pokokknya tetap jujur dan kalau merasa benar tak perlu ada yang ditakuti. Pema’af tapi juga tak malu minta ma’af kalau memang salah. Tetap rendah hati dan menghargai sesama.
Dari Hal-hal kecil seperti itu, bapak-ibu sudah akan lebih dari cukup bahagia jika itu ada pada dirimu. Karena artinya, sudah mulai ada keseimbangan didirimu antara IQ (kecerdasan intelektual) dengan EQ (kearifan emosional). Dan EQ itu tidak diajarkan dibangku kuliah, Itu adanya dalam pengalaman hidup sehari-hari. Sekolah hanya menyiapkan kamu jadi pekerja, tidak membentuk kamu jadi orang yang arif dan bahagia. Kearifan dan kebahagiaan harus kamu cari sendiri.
Sebenarnya bapak juga tidak tega, untuk melepasmu pergi sendirian untuk menuntut ilmu jauh diseberang lautan sana. Tapi siapa tidak mau dan berani  untuk keluar dari zona aman, dia tidak akan bertambah kearifannya. Jadi tega ndak tega, ya harus tega melepasmu untuk bertualang-mengembara sendirian, karena itu yang akan membentukmu kelak menjadi manusia yang mandiri, tangguh, penuh percaya diri serta berani memikul tanggung-jawab dan mengambil pilihan hidup.
Bukan hanya anak kuliahan saja yang bisa stress, nak. Hampir semua pelajar dari TK sampai mahasiswa kini banyak yang hidup dalam depresi dan tekanan, karena kurikulum sekolah yang terlalu menekankan pada pencapaian nilai akademik semata. Demi nilai mereka juga tak segan-segan berlaku curang, nyontek, pakai joki, hingga beli jawaban ujuan dan skripsi. Karena dari sekolah sudah tidak diajar-latih tidak jujur, maka tak usah heran ketika sudah bertitel dan kaya-rayapun masih tega merampok-menjarah uang rakyat (korupsi).
Jadi memang sangat perlu itu adanya keseimbangan antara IQ dan EQ, karena itu yang akan menuntunmu pada pencapaian haqiqat kebahagian dan kesejatian hidup di dunia ini. Jadi selain memandang keatas (menumbuhkan motivasi untuk maju), kita juga perlu memandang ke bawah. Melihat realita, betapa sesungguhnya masih banyak sekali  orang-orang yang hidupnya jauh lebih sulit dan menderita daripada kita. Kita masih bisa melihat, mendengar, makan apa saja dan pergi kemana kita suka. Luar-biasa karunia Tuhan yang dilimpahkan tiap detiknya itu, masak kita tidak bisa hidup dengan penuh rasa syukur dalam limpahan berkahNya.
Di zamannya, di Gunung Kidul-Yogyakarta, penduduknya pada makan nasi Tiwul (singkong) karena dipaksa oleh kemiskinannya, hingga tak mampu lagi untuk membeli beras. Tapi sekarang? Kuliner nasi Tiwul sekarang terkenal bukan karena penduduk disana masih miskin. Tidak. Kuliner itu  terkenal karena menjadi kuliner penuh kenangan pada zaman susah. Lha, waktu susahpun ternyata bisa jadi kenangan yang patut dikenang. Seperti hidupmu saat ini, nak. Sebagai anak kost, ibaratnya hari-harimu hanya makan mie dan mie. Tapi percayalah pada kata-kata bapak ini, “Pindah kamar kost itu gampang, tapi membuang kenangannya itu yang susah”.
Pernah bapak dan ibu mau tauring ke pantai Sundak lewat jalan alternative. Seperti biasa, kesasar-sasar. Hari itu bapak dan ibu tidak sampai di pantai Sundak, tapi justru menemukan pantai tersembunyi yang sepi tapi tak kalah indah dan eloknya dari pantai Sundak di Wonosari itu. Apa makna dari perjalanan itu? Maknanya ya tak perlu demam tujuan. Nikmati-syukuri dan ambil hikmahnya apa saja semua momen-momen disepanjang jalan hidup kita yang diberikan oleh Tuhan. Selalu berprasangka baik, tidak hanya pada sesama tapi juga pada kehendak Tuhan.
 Moga waktu masih akan kembali menyatukan kita dalam petualangan bersama yang lebih seru dan gila-gilaan. Dan ingin kudengar lagi kata-katamu, yang diucapkan tidak dengan ketakutan tapi justru dengan tertawa lepas, “Wah, kita tersesat, pak. Hahaha…………………….”. Kau tertawa karena sudah hapal jawaban apa yang akan bapak berikan.
(Inilah akibat saya suka gunakan tradisional GPS (gunakan penduduk setempat) Ketika aku dan anakku tauring di wilayah kabupaten, dengan nada cemas dia pernah bilang. “Wah, kita tersesat, pak.” Dan dengan tenang saya jawab, “Tersesat apa, wong kita masih di Magelang.”. Ketika tauring wilayang propinsi, anakku juga pernah katakan, “Wah kita tersesat, pak. “ Dan saya jawab, “Tersesat apa, orang kita masih di Jawa-tengah. “ Ketika tauring antar propinsi tanpa sadar anakku juga pernah katakan, “Ah, kayaknya kita tersesat,pak. “ Dan jawaban saya tetap sama, “Tersesat apa. Orang kita masih di pulau Jawa.” Pernah juga ketika pertama ke Tanah Toraja – Sulawesi, Kami salah jalan dan kesasar hingga ke desa terujung-terpencil dan tak ada jalan lain lagi selain balik lagi. Dan kami hanya tertawa, tak sedikitpun merasa tersesat. Tersesat apa? Kita ini orang Indonesia dan masih ada di Negara Indonesia. Dan jika suatu saat nanti mungkin saya bisa keliling dunia dan ternyata salah jalan, saya tetap tak akan pernah merasa tersesat. Dimana tersesatnya? Saya sebagai mahkluk Tuhan, masih juga berpijak diatas tanah ciptaan Tuhan.)
Jadi terus-terang bapak juga suka heran, dengan adanya orang-orang yang suka memvonis orang lain sebagai pengikut ajaran sesat. Padahal orang yang memvonis itu sendiri juga masih mencari jalan kebenaran, dan seperti umumnya orang yang masih mencari, kemungkinan dia untuk tersesat jalan juga tetap ada. Jadi daripada saling menyesatkan, bukankah lebih baik kita ini saling mencerahkan, memotivasi, menginspirasi dan menghormati pilihan hidup kita masing-masing?.
Silahkan anda mau berkotbah dan mau mengajak orang lain ke jalan kebenaran yang anda yakini, tapi kalau orang lain tidak mau terima ya tidak usah sewot, marah  apalagi ngamuk-ngamuk. Santai saja, bos. Karena bisa jadi, apa yang anda yakini sebagai kebenaran yang berharga itu, buat orang lain bisa jadi hanya dianggap sebagai sampah dogma. Seperti saat ini, semakin banyak saja orang gila (berbaju bersih) yang suka berkotbah (ngomong sendiri/komunikasi satu arah}. Dan seperti umumnya orang gila,  kejiwaan orang ini juga labil. Habis kotbah, bahwa Tuhan itu maha pengasih dan penyayang, kelakuannyapun langsung mutar 180 derajat jadi bengis dan kejam. Suka marah-marah, mengancam dan ngamuk-ngamuk sambil bawa pentungan. Gila ngak, tuh?
Alkisah, ada seorang pelacur yang bersimpangan jalan dengan seorang biarawati. Dan sang nabi abadi dari Libanonpun bersabda, “ Sesungguhnya, aku sedang melihat dua wanita yang sedang sama-sama berjalan ke rumah Allah. Hanya bedanya, yang satu berjalan dengan do’a, sementara yang satunya berjalan dengan air-mata.”
Intinya, kita itu sesungguhnya tidak bisa dan perlu menghakimi profesi atau pilihan hidup seseorang. Pelacur mungkin dianggap sebagai sampah masyarakat, tapi biar bagaimanapun dia tetap  seperti kita sebagai sesama mahkluk ciptaan Tuhan. Kita harus tetap hormati dan hargai sisi manusianya tapi bukan perbuatannya. Seorang biarawati mungkin dianggap sebagai mahkluk yang suci di masyarakat, tapi harap diingat juga, bahwa mereka yang membunuh Yesus, Al-Hallag maupun Gandhi, adalah mereka-mereka para ahli agama yang mulutnya sangat fasih mengutip ayat-ayat suci.
Moga IQ dan EQ mu makin berimbang, nak, dan cari, temukan dan jadilah dirimu sendiri apa adanya.