Senin, 03 Desember 2012

BERTEMU MANUSIA AGUNG




            Diantara manusia, hanya pendeta, penyair dan prajurit yang agung………………………..Lainnya, hanya bagus buat dicambuk (Charles Baudelaire, dalam  Mon Coeur mis a nu}.
            Agung? Saya tahu betul, betapa omong-kosongnya itu. Menurut definisiku, keagungan seseorang itu tidak terletak pada profesi, jabatan, garis keturunan, kekayaan, ataupun dalam kata dan pemikirannya. Keagungan seseorang itu terletak pada kebesaran jiwanya, bukan pada kecerdasan otaknya. Manusia agung itu manusia yang tidak ingin menguasai dan dikuasai. Manusia agung sejati tidak pernah mau diagung-agungkan. Tidak pula pernah berhasrat meletakkan pandangannya yang bijaksana pada pribadinya. Manusia agung adalah manusia yang bias mengatasi ruang di jiwanya dari himpitan benda-benda, karena dia menghendaki suatu kebebebasan yang lebih punya arti. Manusia agung adalah manusia yang bias hidup bahagia sebagai dirinya sendiri apa-adanya. Manusia agung adalah manusia yang bekerja untuk akhirat, seolah ia akan mati esok hari. Dan bekerja untuk dunia, seolah ia akan hidup untuk selama-lamanya, tapi tidak dengan “keserakahan” untuk dirinya sendiri.
            Bicara tentang keserakahan, Michael Maccoby, dalam bukunya The Gamesmen, berkisah dengan bagus tentang para eksekutif dan manejer pada perusahaan-perusahaan besar di Amerika yang bergelut dalam rimba bisnis dengan idiologi jugle fighter.  Dalam hidup dan kerjanya yang ada hanya memakan atau dimakan, merontokkan atau dirontokkan, siapa yang tidak kuat akan binasa (Darwinisme). Ini buku memang berisi kisah orang-orang jenius yang berhasil menumpuk materi. Dengan kecerdasannya, memakan perusahaan-perusahaan kecil dengan sekali telan. Tapi ironisnya, disisi lain ini buku juga berkisah tentang cinta yang layu dan hati yang beku. Dalam kesuksessan materi, ternyata kasih-sayang, idialisme, kepekaan hati mereka tumpul. Mereka sangat inovatif dalam teknik baru dibidang industry dan keuangan- asal meningkatkan laba. Tak peduli hubungan dengan bisnis hanya merupakan cerita tentan manipulasi, rayuan dan penghianatan. Mereka adalah para egomaniak dan megalomaniak yang siap menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
            The Gamesmen, adalah kisah para raja Midas modern yang diberi mujijat (kecerdasan lebih) oleh Tuhan, hingga apapun yang disentuhnya akan berubah menjadi emas. Sampai suatu saat sang raja mencium anak kesayangannya, barulah dia tahu arti keserakahan. Ada proses penghancuran/pembusukan dalam keserakahan, dan itu bukan orang lain, tapi dalam diri kita sendiri dan orang orang disekitar kita yang akan jadi korbannya. Bahagiakah raja Midas dengan hidupnya?
            Idialisme tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi sekaligus pembohong. Sedang realism tanpa nilai-nilai idial, akan menjadikan orang hidup tanpa kerendahan hati dan martabat.
             Hidup ini singkat. Manusia juga terdiri dari daging dan roh, kesadaran itulah yang mendorong saya mencari hal-hal yang sifatnya spiritualistic. Dan beruntung, saya pernah bertemu dengan seorang petani tua sederhana, tapi masuk dalam definisiku sebagai manusia agung. Pak tani ini gaptek, jadi secara teoritis aku merasa lebih pintar daripada beliau> Di zaman digital ini, adakah kitab suci yang lebih sempurna/lengkap dari kitab Google?. Tinggal klik, semua tanya terjawab.  Tapi spiritual bukanlah soal pintar-pintaran kotbah teori atau banyak-banyakkan pengetahuan. Masalah utamanya adalah; Laku spiritual aku itu bikin hidup aku bahagia tidak?. Lahir-bathin aku jadi tentram atau tidak? Mengajari aku untuk mengenal dan jadi dirik aku sendiri atau tidak?.
            Jujur, aku merasa teknologi seringkali terasa sebagai jebakan. Kian lama kian rumit dan mahal. Apalagi kita hanya sebagai pembeli bukan pembuat. Kita jadi ketergantungan/kecanduan. Kesimpulannya: Manusia digital yang berkitab Google ataupun orang beragama yang berkitab suci, ujung-ujungnya sama juga, hanya jadi manusia pongah yang pintar berteori tapi hampa jiwanya. Dengan bendera ilmu dan iman, semua jadi seperti rumus ilmu pasti, semua diterima dengan taklid. Tingggal klik atau buka kitab, semua Tanya terjawab?. Spiritual yang instan, enak memang. Tapi betapa dangkalnya spiritual macam itu!.
            Dan hal-hal yang dangkal dan instan itu yang kini tengah laku di pasaran. Lihat di toko buku, buku-buku yang laris terjual adalah buku-buku panduan untuk bisa jadi spiritualis dalam semalam, cara cepat kaya dalam sekejap dan sebagainya. Bahkan ada agamawan yang ngasih petunjuk cara cepat masuk surga dan mengawini para bidadari secara instan dengan cara meledakkan diri. Tidak ketinggalan para dukun dan paranormal pasang iklan menjual hal yang sama, Tidak perlu puasa atau lakukan ritual yang berat-berat, asal ada uang anda akan bisa jadi sakti mandraguna dalam semalam. Dan itu semua tidak ada yang salah, karena ini memang zaman pragmatisme, dimana segalanya serba diukur dari capaian materi.
            Akupun dulu pernah juga terjebak cinta dan pemujaan pada hal-hal yang bersifat instan dan dangkal seperti itu. Sampai aku bertemu pak tani tua sederhana yang aku lihat sedemikian tenang hidupnya tapi pada dasarnya riang. Kepalanya yang senantiasa tegak, seakan sikap yoga yang telah menyatu dengan dirinya. Sekalipun tak pernah kudengar beliau bicara ayat, tapi kurasakan benar kehangatan rohaninya. Padanyalah akhirnya ku belajar spiritual dari sudut yang lebih sederhana, mempribadi dan jujur. Bukan dari cara pandang mainstream yang selalu bersifat massal, instan dan sering bertunpu pada perhitungan untung-rugi atau alku tidak laku (dagang).
 Meskipun aku belajar padanya, pak tani itu tak pernah mau aku panggil guru. Beliau lebih suka dianggap sebagai teman dialog. Ada proses sharing, berbagi, belajar dan mengajar. Kata beliau, “Kita semua ini sejatinya sama, hanya murid yang masih sama-sama belajar dan berguru pada sang guru sejati, yaitu Tuhan YME”.
Karena bagi beliau spiritual itu bukan dagangan, penampilan beliau juga apa adanya seperti umumnya petani. Tak pernah berjubah atau berlagak sok suci seperti kebanyakan spiritualis/agamawan yang suka kotbah tentang keindahan/keidealan kehidupan akhirat dan sepertinya menajiskan kehidupan duniawi. Tapi ironisnya, orang-orang yang lagaknya seperti tidak doyan kehidupan duniawi itu, hidupnya sendiri lebih banyak ditopang dari dana yang dihimpun dari sumbangan umat!!!.
Pak tani ini kalibernya menyumbang, bukan hidup dari sumbangan umat. Beliau memang bukan orang miskin (paling tidak secara spiritual). Dan menurut beliau, memang tidak masalah spiritualis itu hidup dalam kemewahan, selama tidak terpenjara olehnya, beliau tidak pernah mempertentangkan ide dan materi. Tapi mendamaikan, menyatukan sebagai sarana menuju takwa dan penyerahan diri yang lebih total pada Tuhan. Segala gebyar harta duniawi, baginya hanyalah alat, sarana, satu jalan untk memperluas kemungkinan. Jadi bukan tujuan.
Banyak sekali pelajaran kebajikan hidup yang aku peroleh dari beliau. Tapi intinya, AKU HARUS JADI DIRIKU SENDIRI!. Mengidolakan seseorang itu tidak jelek, tapi kalau alu lebih suka percaya pada diri sendiri. Dan Tuhan? Tuhan tidaklah untuk ditakuti, tapi dicintai. Tuhan itu maha indah, maka dekatkanlah selalu dirimu padaNya, maka kaupun akan bias melihat keindahan disetiap langkahmu. Dan hidup dengan keindahan itu yang akan membuat kita bersyukur, merasa cukup tanpa harus menjadi serakah. Tuhan juga tidak butuh puja-puji umatnya, tidak pula pernah memberi beban umatnya dengan tetk-bengek ritual yang aneh-aneh dan berat. Tuhan membebaskan umatnya dalam beribadah.
Dan ini ajaran sederhana beliau yang aku praktekkan hingga kini, “Eling lah selalu pada Tuhanmu setiap waktu. Tapi jika kau memang ingin memberi waktu khusus untuk beribadah/meditasi, bermeditasilah kau menjelang tidur sampai kau tertidur. Bermeditasilah, seakan-akan kau hendak memasuki keabadian pintu kubur. Dan bermeditasilah kau ketika bangun tidur, seolah olah kau baru terlahir dan akan memulai langkah hidupmu dengan kemurnian jiwa layaknya bayi yang baru terlahir.”
Ajaran yang sangat sederhana sekali. Tapi butuh kesabaran karena merupakan proses

Sabtu, 17 November 2012

INTERMEZO SI BAHLUL




            Alkisah, ada seorang beragama sok suci bernama Bahlul yang pergi ke kota orang kafir. Karena lelah, beliau ingin tidur. Tapi melihat banyak-ramainya orang kafir di situ, Bahlulpun jadi takut, katanya, “Wah, bisa hilang aku di tempat seperti ini, bagaimana nanti aku menemukan diriku kembali setelah bangun?”
            Orang disampingnya yang mendengar omongan Bahlul itupun langsung memberi advis, “  Tidur saja anda dengan berbantal kitab suci yang selalu anda bawa dan bangga-banggakan itu. Kalau nanti anda bangun tidur, lihat ada orang tidur berbantal kitap suci, ya itulah anda!”
            “Wah, benar juga, mana ada sih orang kafir yang berani tidur dengan berbantal kitab suci.” Pikir Bahlul yang langsung tidur pulas berbantal kitab suci.
            Tanpa sadar, ketika Bahlul tidur didatangi orang gila yang menukar bantalnya dengan buntalan-buntalan sampah!. Dan begitu bahlul bangun dari tidur, dilihatnya ada orang gila tidur berbantal kitab suci, “          NAH, ITU SAYA!” kesimpulannya. Tapi sedetik kemudian Bahlulpun menjadi bingung,            “TAPI KALAU ORANG GILA ITU SAYA. YA, ALLAH……………. LALU SAYA INI SIAPA?”
            (ORANG TUHAN TIDAK DIAJAR KITAB/ORANG TUHAN DI LUAR KAFIR DAN AGAMA. Puisi Jalalludin Rumi ini yang menginspirasi saya menulis anekdot ini)

Minggu, 11 November 2012

ANIMISME, KESEDERHANAAN YANG INDAH



                Spiritual yang baik itu tidak memberi petunjuk, perintah, apalagi mengancam dan menghakimi. Spiritual yang terbaik itu hanya akan menumbuhkan potensi yang baik dalam diri seseorang. Itulah salah satu kesimpulan yang aku dapat, setelah belajar meditasi pada seorang petani sederhana yang sangat inspiratif bagiku dan nyentrik menurut banyak orang.
            Kenyentrikan pertama, sebagai petani beliau menolak menggunakan traktor (symbol manusia modern?)  yang biasa di iklankan di televise bisa menambah produktivitas pertanian?. Selain mahal, traktor jika rusak berarti biyaya, karena harus masuk bengkel. Ceceran oli traktor juga merusak tanah. Maka pak tani inipun lebih suka tetap menggunakan ternak sapinya untuk mengolah tanahnya. Selain bisa beranak, kotoran sapi juga bias jadi pupuk.
             Pak tani ini sebenarnya hanya melakukan hal biasa yang sudah dilakukan turun-temurun. Tapi di zaman kapitalisme global ini, sepertinya memang ingin mendesakkan suatu pola umum, dimana semua orang harus mengikuti tren. Zamannya petani pakai traktor, semua petani juga harus pakai traktor?. Zamannya orang pakai bahan kimia, semua harus pakai bahan kimia?. Zamannya orang beragama, semua juga harus beragama pula?. Karena tidak ikut mainstream, apa yang sebenarnya hal biasa dilakukan pak tani itu, jadi seperti pengertian yang menggugat, penuh hipokrasi, membingungkan dan dipersoalkan.
            Yah, banyak orang mempersoalkan dan mengatakan pak tani ini penganut animisme yang sesat. Ketika hal itu aku tanyakan, beliau hanya tertawa dan ngomong, “Emangnya kenapa kalau penganut keyakinan animisme?. Bagiku, keyakinan itu tidak butuh cap, merk atau pengakuan orang lain.  Keyakinan itu ada disini (pak tani tunjuk hatinya),  kita hanya perlu jujur, uklas dn menjalani apa yang jadi kehendakNya. Selama keyakinan kita itu tidak mengganggu dan merugikan orang lain, jika kau memang merasa menemukan kebahagiaan karena menyembah batu. Ya, sembah saja batu itu. Tidak masalah buatku. Apa bedanya kita sembah Allah, dewa-dewa, kitab suci, orang suci, samudera, gunung dan sebagainya?. Tidak ada bedanya!
            Ekalaya berguru pada PATUNG pendeta Durna, ternyata bisa lebih mahir memanah daripada Arjuna yang LANGSUNG berguru pada pendeta Durna. Dan Kurawa yang juga berguru LANGSUNG pada pendeta  Durna, ternyata juga tidak jadi manusia luhur budi berjiwa kesatria seperti Arjuna. Coba renungkan, itu artinya apa?”
            Yah, saat ini memang kebanyakan orang sudah merasa bangga karena beragama. Mereka lupa, bahwa agama itu bukan realita. Agama itu utopia. Dan nilai seorang spiritualis bukanlah pada utopia, agamanya, nabinya, kitab sucinya, atau gurunya.  Tapi pada sikap hidup, tingkah-laku dan perbuatannya sehari-hari, nilai seorang spiritualis itu. Apa artinya suka terik-teriak mengagung-agungkan kebesaran nama llah dan mengaku penganut agama yang suci, kalau kelakuannya seperti Kurawa yang ekspansif, arogan, fanatic, licik, pemuja kekerasan dan suka menumpahkan darah sesama. Yah, memang masih baikkan jadi Ekalaya yang menyembah patung, tapi punya kerendahan hati dan sikap bermartabat. Selalu jujur, terbuka, toleran dan bisa merasakan kebahagiaan dengan hidupnya.
            Pak tani yang tidak mau pakai traktor dan hanya tertawa dicap sebagai penganut animism. Rasanya itu memang bukan sikap yang hampa, sebab jika ada yang dipilih disitu, maka itu adalah pilihan yang mendasar, yaitu; KEBERANIAN BERPIKIR BEBAS!.  Bukan sekedar berani menghadapi pikiran lawan yang dianggap bebal. Tapi berani pula menghadapi kesimpulan kawan sepaham dan diri kita sendiri yang sering-kali merasa paling pintar dan benar sendiri.
            Dan lewat meditasilah, pak tani ini belajar mawas-diri. Meditasi yang sederhana tapi dalam sekali, cara meditasi yang teramat mudah diucapkan tapi butuh kesabaran yang luar-biasa untuk bias menjalanninya. Meditasi yang hanya dengan berzdikir menyebut nama sang pencipta semesta, dalam kepasrahan yang totalitas pada segala kehendakNya. Persis yang diajarkan, Imanuel, “BIARLAH SEMUA TERJADI MENURUT KEHENDAKNYA, BUKAN MENURUT KEHENDAKKU”.
             Meditasi yang hanya berbekal ketulusan, kemurnian dan keiklasan jiwa. Tanpa rapalan doa dan pamrih macam-macam. Jadi tidak bermeditasi dengan pamrih, agar sakti, dapat wahyu, kejayaan, dapat membuka cakra, bias melihat alam ghoib dan sebagainya. Tidak! Tapi meditasi untuk mendekatkan diri pada Illahi dan lebih bias mengenal akan kesejatian dirinya.  Belajar berani dan bias melihat kenyataan diri yang memang tidak sempurna. Dan ketidak sempurnaan itu bukan jadi alas an untuk terus-menerus menghalalkan kerakusan dan keserakahan. Justru kesadaran akan ketidak sempurnaan diri itu yang jadi alas an kita untuk bersedia ditegur, mengerti rasa malu dan dosa. Meditasi yang melembutkan ego diri, meditasi yang akan membuat rendah hati, bukannya jumawa diri, meditasi yang akan membuat bisa berperasaan, bukannya jadi berperasaan bisa!.
            Dan laku meditasi, penghayatan langsung, pengetahuan intuitif dari pak tani itu bukanlah sesuatu yang ghoib, aneh atau tidak masuk akal. Sebab intuisilah sebenarnya yang mendasari pengenalan laku hidupnya sehari-hari. Laku asketisisme (asceticism) dan meditasi itu hanya seperti membangkitkan kembali naluri-naluri primitive yang cenderung melemah, bahkan mungkin sudah mati dalam diri manusia modern. Olah batin itu semacam program revitalisasi rasa. Hingga tiap gerak tubuh kita sehari-hari semua diyakini adalah ibadah. Waktu duduk, berjalan, baring, bekerja, tidur, semua digunakan sebagai sarana untuk memahami identitas diri, daya hidup dan pengenalan haqiqat kesejatian Tuhan.
            Jadi bukan sesuatu yang ajaib, bila pak tani ini bisa mendengar kotbah Allah hanya lewat daun yang berguguran. Bukan berarti sakti, bila bisa merasakan kehadiran Allah lewat segala ciptaaNya. Dan mampu menerjemahkan bahasa alam lewat isyarat alam. Kenapa banjir gampang datang dan air mudah meluap kemana-mana?. Karena di hulu, dengan serakahnya hutan digunduli dan terjadi penyempitan/pedangkalan sungai  karena sampah dan tanah resapan telah jadi permadani beton.
                        Di zaman modern ini, kenapa banjir kebencian mudah datang dan amuk massa mudah meluap di mana-mana?. BELAJARLAH PADA ALAM!. Jawabnya sama. Karena di hulu yang ada hanya keserakahan! Dengan rakus dan serakahnya orang melahap semua isi ajaran agama, dilibas-makan habis semua jadi hapalan di luar kepala. Tanpa sadar, dengan hapal kitab suci, justru egonya jadi setinggi langit. Merasa telah suci, benar sendiri dan paling dekat Illahi. Padahal ketika kita beragama hanya berhenti pada penghapalan masalah hukum dan peraturan tingkah laku (syare’at/normative) semata. Dan melupakan pengolahan jiwa/laku batin, yang menyebabkan tumpul rasa terhadap sekitar. Itu artinya telah terjadi pendangkalan Agama/spiritual. Pinjam istilahnya Mangkunegoro IV, dalam bukunya  WEDHATAMA           , orang beragama seperti itu, hanyalah spiritualis pongah yang pintar berteori, tapi tidak paham bahwa, NGELMU IKU KELAKONE KANTI LAKU!.
            Karena diawali dengan keserakahan. Elan atau semangat yang menggebu-gebu dari hulu itu, ketika sampai/bersinggungan dengan realita kehidupan yang penuh sampah. Karena  KEDANGKALAN DAN KESEMPITAN agama/spiritualnya, orang macam ini hanya akan jadi dua jenis manusia yang sama-sama busuknya. 1. Jadi manusia fanatic, tertutup, sok suci, merasa benar sendiri dan menganggap orang diluar golongannya hanyalah sampah-kafir yang pantas untuk dibinasakan. 2. Ikut-ikutan jadi manusia sampah, dengan  tetap bertudung kesucian agama.
            Maka kita tidak perlu heran lagi, jika melihat ada orang suka berteriak-teriak menyebut kebesaran nama Allah, sambil mengacung-acungkan pedang atau pentungan untuk menakut-nakuti mereka-mereka yang tidak sepaham dengan mereka. Kita juga tidak perlu heran, jika ternyata di kementrian agama korupsi merajalela, bahkan pengadaan kitab sucipun di korupsi juga. BEGITULAH JIWA YANG TAK PERNAH DI DIDIK MENGENAL TUHANNYA. Spiritual itu memang bukan soal pinta-pintaran kotbah atau banyak-banyakkan menghapal kitab.
            Apa yang kita lakukan, itulah cerminan dari batin kita. Dan pak tani yang rndah hati  diatas tidak merasa perlu berlagak. Hanya orang rendah diri atau minder yang suka berlebihan berlagak! Sok suci, merasa benar sendiri dan suka ngotot dengan prinsip tertentu. Bagi pak tani, spiritual itu masalah pribadi dan  urusan ketulasan hati yang tak perlu dipamerkan. Spiritual itu sesuatu yang intim dengan sekitar dan kesehariannya. Jadi bagian dari nafas dan hidupnya tiap detik untuk bias selalu ELING.  Spiritual itu hanya seperti petani yang mengolah tanah, memilih-milah benih yang bagus,  menyemai di lahan yang terolah dengan benar, di pupuk, disiram, dirawat dan kelak akan menuai hasilnya. Yang kesemuanya itu dilakukan dengan penuh kesabaran keiklasan dan kecintaan.
            Spiritual yang sangat sederhana, tapi indah dan dalam. Menentramkan, sekaligus membebaskan. Maka, jika ada orang yang  mencintai dan menghormati sang Maha Pencipta yang di implementasikan dalam bentuk praktek mencintai dan menghormati alam semesta itu di cap penganut ANIMISME.  Atau jika ada orang meyakini Roh/suara Allah itu ada pada segala ciptaanNya, baik dalam bentuk mahkluk hidup atau benda mati, keyakinan yang seperti itu dikategorikan keyakinan ANIMISME. Maka dengan senang hati, saya akan mengisi kolom agama di KTP saya dengan; ANIMISME!
                       

Sabtu, 03 November 2012

GANYANGLAH KEKEJIAN ITU!!!


  •             Ecrasez I’infame (ganyanglah kekejian itu} itulah motto yang dipakai sastrawan dan pemikir besar Prancis, Voltaire, sejak peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh orang Katolik terhadapan orang Protestan di kota Touluse. Massa ketika pertikaian antara orang katolik dan Protestan jadi makanan sehari-hari di Eropa dan paradok spiritual jadi hal yang biasa. Dimana Tuhan Yesus yang sama-sama dicitakan begitu mulia, baik, penuh cinta-kasih dan penyayang, justru melahirkan pengikut-pengikut  yang begitu keji, egois, buruk dan pendendam dilain pihak. Dan ironi spiritual seperti itu sebenarnya terjadi juga dalam hampir semua sejarah agama, seperti dalam Islam adanya pertikaian antara orang Sunni dan Syia’ah misalntya’
                Membunuh itu dilarang, lalu jadi halalkah ketika pembunuhan itu atas nama agama? Pembunuhan atas nama apapun bagiku adalah masalah yang serius, tapi ditulisan kali ini aku tidak akan membahas masalah yang barangkali kurang serius walau masih berhubungan dengan masalah pembunuhan, yaitu ritual pembantaian massal hewan korban tiap hari raya Idul Adha.
                 Dilihat dari sejarahnya, ritual idul Adha adalah untuk mengingatkan kita akan kisah fenomenal, ketika nabi Ibrahim disuruh Tuhan untuk menyembelih anaknya nabi ismail yang sangat disayanginya. Nabi Ibrahim yang dalam Injil disebur Abraham si bapak segala bangsa, dan dari sang bapak inilah agama Yahudi, kristiani dan Islam bermula. Yang jadi pertanyaan kemudian, adakah dalam agama Yahudi dan Kristiani tradisi penyembelihan hewan korban untuk mengingatkan kita akan peristiwa itu?
                Dalam kotbahnya beberapa tokoh agama mengatakan; dari nabi Ibrahim kita bisa mencontoh akan kecintaannya pada Allah yang melebihi rasa cintanya pada apapun juga termasuk pada anak sendiri. Jadi Idul Adha adalah moment bagi kita untuk belajar iklas berkorban demi cinta kita pada Allah?.
                Sebuah kotbah yang bagus, tapi ketika ketika dipraktekkan dalam kehidupan nyata dalam bentuk penyembelihan hewan korban, disini saya sungguh tak bisa memahaminya. Bagiku ritual penyembelihan hewan korban di hari raya Idul Adha, tidaklah ada bedanya dengan persembahan kepada dewa-dewa yang dilakukan oleh manusia primitive.
                Nabi Ibrahim sendiri jelas tak berniat untuk menyembelih kambing sebagai persembahan/pengorbanan kepada Allah saat itu. Nabi Ibrahim justru disuruh menyembelih anaknya sendiri untuk menguji kecintaannya pada Allah. Karena terbukti kecintaanya pada Allah melebihi kecintaan pada anaknya sendiri, atas kasihNya Tuhanpun mengganti nabi Ismail dengan seekor domba. Coba kalau Allah tidak mengganti nabi Ismail dengan seekor domba, apakah demi mengikuti jejak sang nabi kita juga akan melakukan ritual menyembelihan pada anak sendiri tiap tahunnya?.
                Jadi menurutku, kisah nabi Ibrahim itu adalah kisah tentang kebesaran cinta-kasih. Hal inilah yang menurutku mestinya jadi intropeksi kita bersama, bagaimana dari kisah tentang cinta-kasih bisa ditafsir/ekspresikan dalam bentuk ritual penyembelihan hewan korban? Adakah dalam kitab suci perintah  Allah yang menyuruh kita untuk menyembelih hewan korban di hari Idul adha?.
                Banyak orang menyebut, hari raya Idul Adha sebagai hari raya korban. Yang jadi pertanyaan disini, siapa sih sebenarnya yang berkorban disini? Jelas hewan-hewan yang di jagal itu yang berkorban lebih tepatnya jadi korban disini. Bagaimana bisa, dengan menyembelih hewan dikatakan berkorban  sekalipun daging hewan itu kemudian dibagikan kepada para fakir-miskin. Sementara kita berkeyakinan, dengan menyembelih hewan korban begitu kita akan bisa dapatkan Surga? Masak tiket masuk Surga hanya seharga seekor kambing sih?
                Seeorang teman pernah katakan, bahwa hewan korban itu nanti di akhirat bisa jadi tunggangan kita. Dan aku balas dengan gurauan,”Kenapa tidak berkorban saja mobil Ferrari atau BMW sekalian, khan lebih empuk tunggangannya? Atau berkorban dengan memotong kaki sendiri, biar nanti di akhirat bisa jalan kesana-kemari dengan kaki sendiri. Kita sendiri punya daging, kenapa mesti daging mahkluk lain yang dikorbankan? Mahkluk lain yang dikorbankan, tapi kita mendongkakkan kepala mengaku/rasa yang berkorban.
                Disebuah kampung yang sebagian besar penduduknya tergolong miskin, tapi tiap Idul Adha pasti menyembelih sapi dan beberapa ekor kambing. Terdorong oleh rasa penasaran, akupun bertanya pada penduduk disitu, siapa orang yang tiap Idul Adha berkorban sapi itu? Dengan nada bangga penduduk situpun menjawab, bahwa sapi yang dikorbankan tiap Idul Adha itu hasil dari swadaya bersama masyarakat. Tiap malam jum”at mereka mengadakan do’a bersama sambil menarik uang iuran dari masyarakat. Dan dari uang tabungan tiap malam jum’at itulah di hari Idul Adha uangnya digunakan untuk beli hewan korban.
                Saat itu juga saya tidak bisa lagi bisa menyembunyikan rasa ingin tertawanya, membayangkan di akhirat nanti, melihat seekor sapi yang ditunggangi  oleh orang sekampung.
                “Lalu daging korbannya itu akan disumbangkan kemana, pak?” tanyaku kemudian.
    “Ya, kita bagi rata saja disini dagingnya.” Jawab orang itu enteng. “Istilahnya, korban  Idul Adha itu, dari kita, oleh kita dan untuk kita, begitulah kurang-lebihnya.”
                “Bagus!” kataku sambil mengacungkan dua jempol dan tertawa lepas. “Tapi bukankah hal itu sama saja tidak berkorban, tapi hanya ritual pesta makan daging bersama saja?”
                “Yah, bisa jadi begitulah,” jawab orang itu sambil terenyum kecut, kemudian meluncur pengakuan jujurnya. “Kita khan malu mas, kalau masjid kampung lain tiap Idul Adha menyembelih hewan korban, sementara masjid kampung kita tidak menyembelih apa-apa.”
                Dari masjid kampung, pengamatankupun pindah ke masjid besar di sebuah kota besar. Di rumah ibadah ini biasa bertemu kekuasan para pembesar agama dengan para pembesar negeri. Masjid besar dan megah jelas menyedot banyak uang dan harus menghimpun dana yang tidak sedikit yang memungkinkan terjadinya korupsi? Yang ulamanya harus mengotbahkan kepada para jema’at, siapa-siapa tokoh/pembesar yang jadi penyumbang masjid ini?
                Moga itu hanya pikiran negative saya saja. Tapi dengan mata kepa sendiri, aku memang pernah saksikan sendiri di hari Idul Adha, barisan sapi-sapi besar yang hendak dijagal di masjid besar megah itu. Dan hampir di semua tubuh sapi itu ada tulisan nama-nama para penyumbang yang hendak berkorban itu.
                Ironisnya, begitu para fakir-miskin yang berjubel untuk mendapatkan sekantong plastic daging korban itu keluar masjid, di pintu gerbang masjid mereka sudah pada ditungguin oleh para pedagang daging.
                “Kenapa daging korbannya dijual, bu?” tanyaku pada seorang ibu-ibu yang baru menjual daging korbannya.
                Ibu itupun langsung tertawa lepas dan menjawab,”Kalau dagingnya di masak di rumah, bikin boros saja. Pasti makannya pada banyak dan ngabis-abisin nasi saja hahaha…………. Kalau dagingnya dijual, khan uangnya bisa untuk beli-beli keperluan lainnya yang lebih penting.”
                Melihat dari kenyataan-kenyataan diatas, aku sama sekali tidak melihat adanya manfaat, pencerahan, keindahan ataupun pendidikan spiritual apa-apa dalam ritual penyembelihan hewan ternak di hari raya Idul Adha itu. Yang aku saksikan justru hanya orang-orang yang ketakutan, takut eksistensi agamisnya tak diakui, takut tak kebagian kapling di surga  dan karena itu jadi bengis! Tiap Idul Adha yang aku saksikan hanyalah  keserakahan, egoisme, pembantaian, kanibalisme, yang bertudung kesucian agama!.
                Semakin besar kerelaan/keiklasan kita dalam berkorban, itu semakin bagus dalam spiritual memang. Tapi jika berkorban itu didasari oleh pamrih, ego dan keserakahan diri, itu pasti akan jadi paradok dalam spiritual. Apalagi berkorban dalam artian pembunuhan. Anda rela berkorban kambing demi pengakuan masyarakat, anda rela berkorban sapi agar terlihat sebagai orang sholeh, suatu saat andapun  akan juga tega mengorbankan nyawa sesama agar dapat tiket masuk surga?.
                Kalau cuma soal menyembelih hewan, para koruptor yang uangnnya banyak itu juga bisa tiap hari berkorban menyembelih hewan. Jadi betapa sangat dangkal, picik, goblok, idiot dan hinanya pandangan spiritual kita itu. Jika kita menilai spiritual seseorang hanya dari seberapa banyak nyawa-nyawa ciptaan Tuhan yang telah berhasil kita bantai. Aku juga percaya, Tuhan sendiri tidak pernah butuh persembahan/korban yang penuh dengan darah kekejian dan kebengisan seperti itu!.
    Dibeberapa kota besar kini juga ada fenomena yang menarik, yaitu showroom-showroom yang biasanya untuk memajang-pamerkan mobil-mobil, menjelang hari raya Idul Adha diubah jadi showroom kambing dan sapi. Dengan tetap memanfaatkan sales promotion girls   (SPG) yang cantik-cantik sebagai ujung tombak pemasarannya.
    Jadi jelas, bagi sebagian pihak, Idul Adha juga jadi ladang bisnis yang sangat menggiurkan. Dan ketika pemberhalaan agama itu bersinergi dengan pemberhalaan materi, kekejian itu makin samar oleh slogan suci; Berlomba-lombalah dalam amal kebajikan! Tapi dimataku, jika Idul Adha dibuatkan slogan, sloganny akan berbunyi; Berlomba-lombalah kalian dalam membantai mahkluk Tuhan! Berlomba-lombalah kalian dalam membelanjakan uang untuk mendapatkan tiket masuk Surga?.
    Ritual penyembelihan hewan korban di hari Idul Adha, menurutku adalah kelakuan orang-orang yang tak punya otak dan tumpul nuraninya. Kelakuan orang picik-buta yang merasa mengenakan jubah suci, padahal seseungguhnya yang dikenakan adalah jubah kotor penuh darah. Ritual Idul Adha itu tak ada bedanya dengan kuburan yang dilabur putih (meminjam kata-kata Yesus) putih-bersih memang luarnya, tapi bangkai-kotoran-penyakit isinya.
    Setinggi dan seluas apapun ilmu agama/spiritual orang itu, selama dia masih mengajarkan amal ibadah kepada Tuhan dalam bentuk penumpahan darah, baik itu ternak apalagi darah MANUSIA. Jika disuruh memilih, dengan sepenuh hati aku akan lebih suka memilih mencium bibir anjing, daripada mencium tangan orang yang berlumuran darah seperti itu!.
    Aku tak mau munafik, aku bukanlah seorang vegetarian [entah besok]. Aku masih suka juga makan daging. Tapi jika aku menyembelih dan makan daging hewan, jujur saja karena aku memang ingin memuaskan naluri jasmaniah/hewaniahku. Jadi tak perlu sok suci dengan mengatas namakan agama dan demi berkorban untuk  para fakir-miskin segala. Semua itu bagiku hanya omong-kosong besar para penipu yang berjubah kesucian agama. Jadi bagiku, kalau ada yang harus disembelih, dipotong, lebih santunnya ditata, bukan hanya tiap tahun, tapi tiap hari-tiap waktu, yaitu naluri jasmaniah/hewaniah kita itu.
                Dalam spiritual, apa yang di lahir itu jadi cerminan apa yang di batin. Dan tiap idul adha aku hanya bisa bersedih melihat hilangnya hilangnya kerendahan hati dan sikap berbartabat yang ada dalam spirit ajaran Islam. Melihat  kebanggaan mereka dalam membantai hewan-hewan korban, bagiku hanya seperti melihat krisis keadaan batin mereka saja. Dan melihat realita masih kuatnya budaya ketokohan, panutan atau paternalistic dalam masyarakat kita. Maka sebagai penutup, aku ingin mengajukan pertanyaan pada mereka-mereka yang merasa diri para tokoh, pembesar, pemuka dan ahli agama Islam, “Masih layakkah pembantaian hewan korban itu dilakukan tiap hari raya Idul-adha untuk mengenang akan kebesaran cinta kasih nabi Ibrahim pada Tuhan dan anaknya[sesamanya] itu?”
    Jika pertanyaan itu untukku jawabku pasti,”Ecrasez I’infame Idul Adha!!!”