Sabtu, 22 September 2012

SPIRITUAL PARA BIGOT


            Tomas de Torquemada yang hidup di Spanyol pada abad 15, bisa jadi salah satu contoh dari pelaku spiritual para bigot. Masa ketika gereja menghendaki ajaran yang murni dan penguasa menginginkan rakyat yang takluk. Dan hasilnya, 2000 orang mati dibakar atas titahnya. Bahkan seorang pastor Dominikan Bartolome de Caranza, harus mendekam di penjara selama 17 tahun karena dianggap berpikiran tidak cocok dengan garis resmi.
             Dan satu contoh seperti diatas, memang tidak cuma berlaku untuk gereja Katolik di Spanyol saja. Beberapa sekte agama di As. Eropa, Jepang, kawasan Timur-Tengah, juga di Indonesia, menunjukkan adanya kenyataan yang seperti itu. Sejak abad pertengahan,  agama memang sering jadi monopoli para sultan dan kalangan gereja. Dan tak jarang, mereka mengklaim dirinya sebagai tentara Tuhan. Dan puncaknya, mereka bisa dengan santai  membunuh orang-orang yang tidak sepaham-segolongan dengan mereka. Dan itu dianggap sebagai puncak ibadahnya kepada Tuhan?.
            Seorang bigot, adalah seorang pemuja berhala baru yang bernama AGAMA!. Seorang bigot, adalah orang yang merasa Tuhan, agama dan kebenaran ada bersamanya. Karena itu, siapa yang tidak sependapat dengannya dianggap kafir, sesat,musyrik dan pengikut Iblis  yang hanya pantas di beri dua pilihan; bertaubat atau dibabat. Seorang bigot, adalah orang yang berpandangan hitam-putih. Orang-orang yang fanatic, sok suci, arogan, suka kekerasan dan hidupnya penuh paradokal. Maka jika ada institusi agama yang tidak punya lagi kerendahan hati, yang diwakili oleh orang-orang yang suka mengutip ayat-ayat suci dan meneriak-neriakkan kebesaran nama Allah. Dan tak sadar, bahwa mereka telah menggantikan Tuhan yang maha tahu, benar, suci dan sempurna, dengan aku atau golonganku lah yang paling benar, suci dan sempurna sendiri. Jika anda lihat gerombolan orang-orang macam itu, CAP BIGOT pantas anda tempelkan di kening mereka!.
            Doktrin orang beragama yang mengatakan;  Bahwa Tuhan telah cukup memberi petunjuk lewat kitab suci dan contoh ketauladanan lewat laku hidup para nabi. Doktrin inilah sesungguhnya yang jadi akar utama permasalahannya, memberi keterbatasan pada Tuhan yang maha tak terbatas. Yang entah sadar atau tidak, telah menjadikan agama itu sebagai berhala baru pengganti berhala batu.
            Orang disebut beragama itu karena punya dua hal yang mendasar, yaitu kitab suci dan nabi. Dan sekarang coba kita lihat kehidupan para nabi itu sendiri. Mereka jadi nabi bagi dirinya sendiri, dan kitab suci? Bukankah tersusun-cipta setelah para nabi itu sendiri wafat?.Dengan demikian, para nabi itu sendiri tidak bisa di kata sebagai orang yang beragama, karena tidak punya nabi dan kitab suci. Para nabi itu tidak beragama tapi beriman. Beragama itu tidak identik dengan beriman. Dalam bahasanya kaum Budhis, kita harus bisa bedakan antara agama Budha dengan apa itu yang di maksud dengan Budha Dharma. Jika diibaratkan agama itu sebagai sangkar emas, keimanan itu sarang sederhana. Meskipun sama-sama sebagai tempat tinggal,  jelas ada perbedaaan yang mendasar antara tinggal di sangkar dengan di sarang.
            Jika anda mewarisi api semangat para nabi, anda akan jadi orang yang beriman. Jika anda hanya ingin mewarisi abu semangat para nabi, anda akan jadi orang beragama  dan ahli kitab . Dan moga anda sadar, Kitab suci tidaklah ditulis dalam metodologi penulisan sejarah yang benar dan jujur. Kitab suci itu di tulis secara liar dan tidak toleran dengan kebenaran sejarah yang ada. Didalamnya, penuh campuran data, dongeng, pelipur lara, pewarisan nilai-nilai, petuah-petuah (wahyu?) dan pembenaran kekuasaan. Dan kitab amburadul-acakadut seperti itulah yang saat ini banyak di puja berhalakan banyak orang. Dan coba anda tanya, alas an umum orang beragama? Jawabnya pasti karena ingin menggapai kenikmatan Surgawi. Nah, ketahuan khan motif dasarnya, hanya ingin memuaskan hasrat syahwat nafsu keduniawian belaka.
             Pamrih atas nama rohani, tetaplah pamrih. Dan betapa piciknya, jika orang beriman pada Tuhan hanya karena dilandasi pamrih untuk mendapatkan Surga. Nikmat surgawi yang banyak dibayangkan para agamawan itu sangat badaniah, padahal saat kita mati, kita tidak membawa tubuh kita. Memang sulit bicara tentang alam kematian tanpa menggunakan metafora. Dan surga neraka itu hanyalah metafora.
            Seorang bigot itu juga paling mudah tersinggung dan marah, jika agama, berhala atau tuhannya (dengan huruf t kecil) itu dikritisi. Dan itu bisa saya maklumi, karena hampir semua agama itu lahir di zaman feodalisme. Dan dalam system feodalisme itu memang tidak memberi tempat bahkan mengharamkan adanya budaya kritik.
             Dalam spiritual yang kita butuhkan itu bukan nabi atau kitab suci. Para nabi sudah mati, dan anjing hidup lebih berarti daripada singa mati. Dan kitab suci? Itu bisa dipelintir, sobek, ketinggalan di rumah dan bagi orang yang buta huruf apalah artinya itu kitab suci.
             Dalam spiritual yang kita butuhkan adalah keterbukaan jiwa yang mau terus belajar darimana saja,  ketulusan jiwa menghargai sesama, kerendahan hati dan punya empati pada penderitaan sesama. Apa guna punya nabi dan kitab suci kalau kelakuan kita seperti seorang bigot yang suka berkotbah, “Percayalah pada apa yang saya percayai atau tuhan akan melaknatmu!” yang dalam prakteknya menjadi, “percayalah apa apa yang aku percayai, atau aku akan membunuhmu!”
            Jadi sesekali kita memang perlu intropeksi-mawas diri. Kenapa Tuhan yang kita citrakan begitu maha baik, sementara disii lain bisa melahirkan umat yang begitu buruk. Tuhan yang di puja sebagai maha pengasih, bisa melahirkan umat yang begitu bengis, Tuhan yang di citrakan sebagai maha penyayang, bisa melahirkan pengikut yang begitu buas seperti binatang?
             Dan menurut aku, penyebab paradokal itu adalah karena mereka mengenal Tuhan hanya lewat bacaan, kitab suci atau teori. Spiritual mereka hanya berhenti pada kemampuan intelektual belaka, tidak sampai di pergulatan batin yang benar-benar sejatinya mengenal Allah itu seperti apa. Dan saat ini memang banyak sekali ahli spiritual/agama yang pintar-pintar. Pintar kotbah, pintar jualan, pintar ngapalin kitab suci, pintar nipu diri sendiri maupun orang banyak. Dan celakanya, yang dibutuhkan untuk bisa mendekatkan diri pada Tuhan itu bukanlah kepintaran, tapi ketulusan jiwa.
             Kita selama ini terlalu banyak membicarakan, berdebat bahkan bertengkar tentang keberadaan Tuhan. Tapi kita tidak pernah mau mencari dan ngomong langsung pada Tuhan. Ngelmu iku kelakone kanti laku, kata orang Jawa.  Anda tidak mungkin akan bisa menemukan sejatinya Allah, jika anda hanya mengandalkan intelektual dan membaca kitab suci saja. Jika diibaratkan anda mau jadi perenang, anda tidak akan bisa jadi perenang hanya karena sudah hapal membaca kitab petunjuk yang judulnya bermula dengan, how to…………. Kalau anda ingin bisa berenang ya harus berani terjun langsung di air.
            Anda tidak bisa mengenal sejatinya Allah hanya karena membaca tulisan saya, hapal kitab suci, ataupun klik di www. Google.com. Tidak. Anda tidak bisa mengenal sejatinya Allah, jika anda tidak lebih dulu kenal siapa diri anda sendiri. Dan anda juga tidak mungkin akan kenal siapa diri anda sendiri, sebelum anda mau mengenal orang kebanyakan. Maka jika anda benar-benar ingin mengenal sejatinya Allah, jadilah orang yang terbuka jiwa dan pikirannya. Karena fanatic pada kitab suci dan mengkultuskan nabi, itu justru akan jadi tempurung diri.
             Tak seorangpun menemukan penyelamatan lewat ajaran/kitab suci!. Itulah ucapan Sidharthanya Herman Hense ketika meniggalkan sang Budha Gautama. Pergi bukan untuk menjadi mualaf atau untuk menemukan ajaran atau doktrin lain yang lebih baik, suci, benar dan sempurna. Tidak.  Sidhartha pergi memang untuk meninggalkan semua doktrin dan guru-guru sucinya, untuk bisa menemukan jatidirinya atau mati.
            Pada akhirnya, Sidhartha justru lebih suka bersahabat dan tinggal dengan Vasudeva, seorang tukang perahu yang buta huruf dan sederhana, tapi luhur budinya.  Dan seperti Vasudeva, Sidharthapun akhirnya  belajar tentang hidup hanya dari suara arus air sungai. Memahami maknanya keheningan dan diam yang ternyata bisa berkisah sedemikian banyak dan indahnya. Dan kearifan (wisdom) orang kecil seperti Vasudeva itu, tidakkah sesungguhnya sama nilainya dengan metodologi para idiolog dan teolog? Tapi dihadapan agamawan formal-ritualis, laku spiritual seperti Vasudeva itu pasti dianggap, sesat, musyrik, keberhalaan, animisme dan sebagainya.
            Orang yang sudah dekat Allah, akan penuh kedamaian dan ketentraman jiwanya. Dan hanya dari jiwa yang damai, akan melahirkan kejujuran. Orang yang sudah dekat Allah, akan selalu ada satunya antara yang di hati, mulut dan perbuatannya. Dan segala kebesaran Allah yang keluar dari mulutnya, bukan merupakan puja-puji untukNya. Tapi sebuah pengakuan, karena sudah melihat dan merasakan sendiri atas segala kebesaranNya. Dan pengakuan seperti itu memang tidak  perlu digembar-gemborkan, ataupun dihapal-nyanyikan. Karena Tuhan juga tidak butuh dan gila pujian, orang-orang yang suka meneriak-neriakkan segala kebesaran Allah itulah sesungguhnya yang gila pujian.
            Kematangan, kwalitas dan kedekatan manusia dengan Tuhannya, tidaklah bisa dinilai hanya dari omongannya, tulisannya ataupun pemikirannya. Tapi nilai seorang spiritualis adalah pada ahklak perbuatannya dan laku hidupnya. Sekalipun orang itu hapal kitab suci, tapi kalau kelakuannya seperti seorang bigot, orang seperti itu sesungguhnya hanya cerdas secara intelektual, sementara jiwanya busuk dan sakit. Mulutnya memang teriak-teriak memuja-muji Tuhan, tapi hatinya sebenarnya memuja-muji berhala yang bernama agama.
              Tapi meskipun orang itu sederhana seperti Vasudeva yang tak pernah memberi nama pada sang penciptanya dan tak jelas juga apa agamanya.  Selama orang itu bahagia dengan dirinya sendiri, rendah hati, jujur, terbuka, toleran, punya rasa malu, punya empati pada penderitaan sesama, dan selalu ada satunya antara yang di hati, mulut dan perbuatannya. Orang-orang macam Vasudeva itulah sejatinya orang-orang yang sudah dekat dengan Ilahi.
             Sekolam pengetahuan tidaklah sama nilainya dengan setetes budi. Spiritual itu seperti sex, tidak hanya untuk dipikirkan, tapi untuk dilakukan. Hapal-baca kitab Kamasutra, tentu beda rasanya dengan ketika kita bersentuhan langsung dengan orang yang kita cintai. Begitupun bersentuhan langsung dengan apa yang dalam literature sufi Jawa disebut “kasunyatan” atau sejatinya realita Tuhan.  Itu jauh kebih indah, menggetarkan dan benarnya, dibandingkan mendapat pengetahuan tentang Tuhan cuma lewat konklusi debat ataupun membaca kitab para nabi.
            Rahayu.