Tomas de
Torquemada yang hidup di Spanyol pada abad 15, bisa jadi salah satu contoh dari
pelaku spiritual para bigot. Masa ketika gereja menghendaki ajaran yang murni
dan penguasa menginginkan rakyat yang takluk. Dan hasilnya, 2000 orang mati
dibakar atas titahnya. Bahkan seorang pastor Dominikan Bartolome de Caranza,
harus mendekam di penjara selama 17 tahun karena dianggap berpikiran tidak
cocok dengan garis resmi.
Dan satu contoh seperti diatas, memang tidak cuma
berlaku untuk gereja Katolik di Spanyol saja. Beberapa sekte agama di As.
Eropa, Jepang, kawasan Timur-Tengah, juga di Indonesia, menunjukkan adanya
kenyataan yang seperti itu. Sejak abad pertengahan, agama memang sering jadi monopoli para sultan
dan kalangan gereja. Dan tak jarang, mereka mengklaim dirinya sebagai tentara
Tuhan. Dan puncaknya, mereka bisa dengan santai membunuh orang-orang yang tidak
sepaham-segolongan dengan mereka. Dan itu dianggap sebagai puncak ibadahnya
kepada Tuhan?.
Seorang
bigot, adalah seorang pemuja berhala baru yang bernama AGAMA!. Seorang bigot,
adalah orang yang merasa Tuhan, agama dan kebenaran ada bersamanya. Karena itu,
siapa yang tidak sependapat dengannya dianggap kafir, sesat,musyrik dan
pengikut Iblis yang hanya pantas di beri
dua pilihan; bertaubat atau dibabat. Seorang bigot, adalah orang yang
berpandangan hitam-putih. Orang-orang yang fanatic, sok suci, arogan, suka
kekerasan dan hidupnya penuh paradokal. Maka jika ada institusi agama yang
tidak punya lagi kerendahan hati, yang diwakili oleh orang-orang yang suka
mengutip ayat-ayat suci dan meneriak-neriakkan kebesaran nama Allah. Dan tak
sadar, bahwa mereka telah menggantikan Tuhan yang maha tahu, benar, suci dan
sempurna, dengan aku atau golonganku lah yang paling benar, suci dan sempurna
sendiri. Jika anda lihat gerombolan orang-orang macam itu, CAP BIGOT pantas
anda tempelkan di kening mereka!.
Doktrin orang
beragama yang mengatakan; Bahwa Tuhan
telah cukup memberi petunjuk lewat kitab suci dan contoh ketauladanan lewat
laku hidup para nabi. Doktrin inilah sesungguhnya yang jadi akar utama
permasalahannya, memberi keterbatasan pada Tuhan yang maha tak terbatas. Yang
entah sadar atau tidak, telah menjadikan agama itu sebagai berhala baru
pengganti berhala batu.
Orang
disebut beragama itu karena punya dua hal yang mendasar, yaitu kitab suci dan
nabi. Dan sekarang coba kita lihat kehidupan para nabi itu sendiri. Mereka jadi
nabi bagi dirinya sendiri, dan kitab suci? Bukankah tersusun-cipta setelah para
nabi itu sendiri wafat?.Dengan demikian, para nabi itu sendiri tidak bisa di
kata sebagai orang yang beragama, karena tidak punya nabi dan kitab suci. Para
nabi itu tidak beragama tapi beriman. Beragama itu tidak identik dengan
beriman. Dalam bahasanya kaum Budhis, kita harus bisa bedakan antara agama
Budha dengan apa itu yang di maksud dengan Budha Dharma. Jika diibaratkan agama
itu sebagai sangkar emas, keimanan itu sarang sederhana. Meskipun sama-sama
sebagai tempat tinggal, jelas ada
perbedaaan yang mendasar antara tinggal di sangkar dengan di sarang.
Jika anda
mewarisi api semangat para nabi, anda akan jadi orang yang beriman. Jika anda hanya
ingin mewarisi abu semangat para nabi, anda akan jadi orang beragama dan ahli kitab . Dan moga anda sadar, Kitab
suci tidaklah ditulis dalam metodologi penulisan sejarah yang benar dan jujur.
Kitab suci itu di tulis secara liar dan tidak toleran dengan kebenaran sejarah
yang ada. Didalamnya, penuh campuran data, dongeng, pelipur lara, pewarisan
nilai-nilai, petuah-petuah (wahyu?) dan pembenaran kekuasaan. Dan kitab
amburadul-acakadut seperti itulah yang saat ini banyak di puja berhalakan
banyak orang. Dan coba anda tanya, alas an umum orang beragama? Jawabnya pasti
karena ingin menggapai kenikmatan Surgawi. Nah, ketahuan khan motif dasarnya,
hanya ingin memuaskan hasrat syahwat nafsu keduniawian belaka.
Pamrih atas nama rohani, tetaplah pamrih. Dan
betapa piciknya, jika orang beriman pada Tuhan hanya karena dilandasi pamrih
untuk mendapatkan Surga. Nikmat surgawi yang banyak dibayangkan para agamawan
itu sangat badaniah, padahal saat kita mati, kita tidak membawa tubuh kita.
Memang sulit bicara tentang alam kematian tanpa menggunakan metafora. Dan surga
neraka itu hanyalah metafora.
Seorang
bigot itu juga paling mudah tersinggung dan marah, jika agama, berhala atau
tuhannya (dengan huruf t kecil) itu dikritisi. Dan itu bisa saya maklumi,
karena hampir semua agama itu lahir di zaman feodalisme. Dan dalam system feodalisme
itu memang tidak memberi tempat bahkan mengharamkan adanya budaya kritik.
Dalam spiritual yang kita butuhkan itu bukan
nabi atau kitab suci. Para nabi sudah mati, dan anjing hidup lebih berarti
daripada singa mati. Dan kitab suci? Itu bisa dipelintir, sobek, ketinggalan di
rumah dan bagi orang yang buta huruf apalah artinya itu kitab suci.
Dalam spiritual yang kita butuhkan adalah
keterbukaan jiwa yang mau terus belajar darimana saja, ketulusan jiwa menghargai sesama, kerendahan
hati dan punya empati pada penderitaan sesama. Apa guna punya nabi dan kitab
suci kalau kelakuan kita seperti seorang bigot yang suka berkotbah, “Percayalah
pada apa yang saya percayai atau tuhan akan melaknatmu!” yang dalam prakteknya
menjadi, “percayalah apa apa yang aku percayai, atau aku akan membunuhmu!”
Jadi
sesekali kita memang perlu intropeksi-mawas diri. Kenapa Tuhan yang kita
citrakan begitu maha baik, sementara disii lain bisa melahirkan umat yang
begitu buruk. Tuhan yang di puja sebagai maha pengasih, bisa melahirkan umat
yang begitu bengis, Tuhan yang di citrakan sebagai maha penyayang, bisa melahirkan
pengikut yang begitu buas seperti binatang?
Dan menurut aku, penyebab paradokal itu adalah
karena mereka mengenal Tuhan hanya lewat bacaan, kitab suci atau teori.
Spiritual mereka hanya berhenti pada kemampuan intelektual belaka, tidak sampai
di pergulatan batin yang benar-benar sejatinya mengenal Allah itu seperti apa.
Dan saat ini memang banyak sekali ahli spiritual/agama yang pintar-pintar.
Pintar kotbah, pintar jualan, pintar ngapalin kitab suci, pintar nipu diri
sendiri maupun orang banyak. Dan celakanya, yang dibutuhkan untuk bisa mendekatkan
diri pada Tuhan itu bukanlah kepintaran, tapi ketulusan jiwa.
Kita selama ini terlalu banyak membicarakan,
berdebat bahkan bertengkar tentang keberadaan Tuhan. Tapi kita tidak pernah mau
mencari dan ngomong langsung pada Tuhan. Ngelmu iku kelakone kanti laku, kata
orang Jawa. Anda tidak mungkin akan bisa
menemukan sejatinya Allah, jika anda hanya mengandalkan intelektual dan membaca
kitab suci saja. Jika diibaratkan anda mau jadi perenang, anda tidak akan bisa jadi
perenang hanya karena sudah hapal membaca kitab petunjuk yang judulnya bermula
dengan, how to…………. Kalau anda ingin bisa berenang ya harus berani terjun
langsung di air.
Anda tidak bisa mengenal sejatinya
Allah hanya karena membaca tulisan saya, hapal kitab suci, ataupun klik di www.
Google.com. Tidak. Anda tidak bisa mengenal sejatinya Allah, jika anda tidak
lebih dulu kenal siapa diri anda sendiri. Dan anda juga tidak mungkin akan
kenal siapa diri anda sendiri, sebelum anda mau mengenal orang kebanyakan. Maka
jika anda benar-benar ingin mengenal sejatinya Allah, jadilah orang yang
terbuka jiwa dan pikirannya. Karena fanatic pada kitab suci dan mengkultuskan
nabi, itu justru akan jadi tempurung diri.
Tak seorangpun menemukan penyelamatan lewat ajaran/kitab
suci!. Itulah ucapan Sidharthanya Herman Hense ketika meniggalkan sang Budha
Gautama. Pergi bukan untuk menjadi mualaf atau untuk menemukan ajaran atau
doktrin lain yang lebih baik, suci, benar dan sempurna. Tidak. Sidhartha pergi memang untuk meninggalkan
semua doktrin dan guru-guru sucinya, untuk bisa menemukan jatidirinya atau
mati.
Pada
akhirnya, Sidhartha justru lebih suka bersahabat dan tinggal dengan Vasudeva,
seorang tukang perahu yang buta huruf dan sederhana, tapi luhur budinya. Dan seperti Vasudeva, Sidharthapun
akhirnya belajar tentang hidup hanya
dari suara arus air sungai. Memahami maknanya keheningan dan diam yang ternyata
bisa berkisah sedemikian banyak dan indahnya. Dan kearifan (wisdom) orang kecil
seperti Vasudeva itu, tidakkah sesungguhnya sama nilainya dengan metodologi
para idiolog dan teolog? Tapi dihadapan agamawan formal-ritualis, laku spiritual
seperti Vasudeva itu pasti dianggap, sesat, musyrik, keberhalaan, animisme dan
sebagainya.
Orang yang
sudah dekat Allah, akan penuh kedamaian dan ketentraman jiwanya. Dan hanya dari
jiwa yang damai, akan melahirkan kejujuran. Orang yang sudah dekat Allah, akan
selalu ada satunya antara yang di hati, mulut dan perbuatannya. Dan segala
kebesaran Allah yang keluar dari mulutnya, bukan merupakan puja-puji untukNya.
Tapi sebuah pengakuan, karena sudah melihat dan merasakan sendiri atas segala
kebesaranNya. Dan pengakuan seperti itu memang tidak perlu digembar-gemborkan, ataupun dihapal-nyanyikan.
Karena Tuhan juga tidak butuh dan gila pujian, orang-orang yang suka
meneriak-neriakkan segala kebesaran Allah itulah sesungguhnya yang gila pujian.
Kematangan,
kwalitas dan kedekatan manusia dengan Tuhannya, tidaklah bisa dinilai hanya
dari omongannya, tulisannya ataupun pemikirannya. Tapi nilai seorang spiritualis
adalah pada ahklak perbuatannya dan laku hidupnya. Sekalipun orang itu hapal
kitab suci, tapi kalau kelakuannya seperti seorang bigot, orang seperti itu
sesungguhnya hanya cerdas secara intelektual, sementara jiwanya busuk dan
sakit. Mulutnya memang teriak-teriak memuja-muji Tuhan, tapi hatinya sebenarnya
memuja-muji berhala yang bernama agama.
Tapi meskipun orang itu sederhana seperti
Vasudeva yang tak pernah memberi nama pada sang penciptanya dan tak jelas juga
apa agamanya. Selama orang itu bahagia
dengan dirinya sendiri, rendah hati, jujur, terbuka, toleran, punya rasa malu,
punya empati pada penderitaan sesama, dan selalu ada satunya antara yang di
hati, mulut dan perbuatannya. Orang-orang macam Vasudeva itulah sejatinya
orang-orang yang sudah dekat dengan Ilahi.
Sekolam pengetahuan tidaklah sama nilainya
dengan setetes budi. Spiritual itu seperti sex, tidak hanya untuk dipikirkan,
tapi untuk dilakukan. Hapal-baca kitab Kamasutra, tentu beda rasanya dengan
ketika kita bersentuhan langsung dengan orang yang kita cintai. Begitupun
bersentuhan langsung dengan apa yang dalam literature sufi Jawa disebut “kasunyatan”
atau sejatinya realita Tuhan. Itu jauh
kebih indah, menggetarkan dan benarnya, dibandingkan mendapat pengetahuan
tentang Tuhan cuma lewat konklusi debat ataupun membaca kitab para nabi.
Rahayu.