•              Setelah berkotbah disebuah pulau terpencil, para misionaris itupun naik kapal untuk melanjutkan mewartakan agamanya ke tempat lain. Dan setelah kapal yang ditumpangi para misionaris itu agak ketengah lautan, betapa terkejut dan herannya para misionaris itu melihat orang-orang penghuni pulau terpencil itu yang pada berlarian diatas air laut mengejar para misionaris itu. Dan setelah berhasil mencapai kapal dan berhadapan lagi dengan para misionaris itu, para penghuni pulau terpencil itu hanya minta untuk dikotbahi lagi, soalnya mereka sudah lupa dengan kotbah panjang yang barusan didakwahkan di pulau.
                 Begitulah kurang-lebihnya ringkasan cerita dari penulis Rusia, Leo Tolstoy. Cerita yang dalam dunia Islam barangkali bisa dimasukkan dalam cerita yang bernafaskan sufisme. Ada nada subversive-paradokkal memang dalam cerita simbolik itu. Bagaimana seorang penghuni pulau terpencil yang notabene tidak mengenal agama, justru bisa berjalan diatas air.  Sementara para misionaris yang tahu dan menguasai agama tidak bisa melakukan hal yang demikian. Kemampuan berjalan diatas air yang dalam teologi Kristiani sebagai perlambang keutuhan iman. Yesus utuh imannya maka beliau bisa berjalan diatas air. Petrus setengah imannya, dia turun ke air tapi tenggelam. Sementara sebelas rasul lainnya tak berani turun ke air, karena imannya sudah pudar begitu melihat badai yang menggila.
             Pesan moral cerita diatas sebenarnya juga sederhana, yaitu perlunya kita-kita ini untuk memelihara sikap rendah hati. Karena Tuhan itu memang tidak bisa dimonopoli. Tuhan juga bisa memberi rahmat dan kebijaksanaannya pada siapa saja, tidak hanya pada mereka-mereka yang kenal agama saja. Dalam bahasa post-modernnya, agama adalah grand narrative yang ketika didakwahkan diluar habitat sebelumnya, ia akan bersentuhan dengan narasi-narasi kecil seperti lokalitas, tradisi atau budaya setempat. Dan seprimititif apapun masyarakat itu, sebelum agama datang ketempat tersebut, mereka dengan eksostisme budayanya tentu telah memiliki Wellstanchauung, pandangan hidup yang sudah esktablished. Dalam masyarakat tradisonal, pada umumnya budaya lisannya memang lebih kuat dan menonjol, dengan kecerdasan alamiahnya mereka bangun tradisi lisan seperti mantra, dongeng, kidung dan upacra-upacara. Yang disebagian kalangan, kesemuanya itu seringkali dipandang semacam pengotoran ketika dihadapkan pada peradapan agama yang telah memiliki tradisi tulisan ratusan tahun.
                Hampir senafas dengan Leo Tolstoy, A.A. Navis dalam bukunya “Robohnya Surau Kami” juga bercerita tentang agamawan formal-ritualis bernama haji Saleh yang yakin bakal masuk Surga tapi ternyata malah masuk Neraka. Mungkin kita tidak perlu memvonis sejauh itu, tapi bahwa banyak manusia punya sikap dan pemikiran seperti haji Salehnya A.A. Navis itu ada disekitar kita, jelas hal itu tidak akan bisa kita bantah. Seperti seorang haji tetanggaku misalnya, sebut saja namanya juga haji Saleh, karena penampilannya seperti orang yang saleh, jenggot panjang, kopiah dikepala dan baju gamis selalu beliau kenakan. Beliau juga amat murah kasih nasihat,  saking murahnya orang yang baru dikenalnya di angkotpun bisa langsung dikotbahinya. Dalam urusan do’a-do’a, selamatan dan aneka ritus agamis beliau berada di depan.
               Haji kita ini jelas ilmu agamanya tak sedalam yang beliau bayangkan sendiri, tapi jelas dia santri fanatic. Semua orang kampung menghormatinya, tapi jika mau jujur, sekaligus orang kampung juga takut padanya, karena beliau suka mengancam, siapa tak turuti omongannya nanti bakalan tidak kebagian kavling di Surga, siap tak patuhi perintahnya pasti beliau cap kafir. Kalau sholat jama’ah beliau tidak ditunjuk jadi imam beliau juga tersinggung. Dan inilah yang ingin saya garis bawahi, bahwa rasa hormat orang yang ketakutan itu biasanya tidak tulus. Jadi entah sadar atau tidak haji kita ini sesungguhnya telah mengajarkan kemunafikan ditengah masyarakat Masyarakat memang membungkuk dihadapan beliau, tapi sebenarnya membungkuk sambil kentut.
             Selama yang memimpin masyarakat hanya agamawan-agamawan seperti haji saleh itu, masyarakat tidak akan pernah jadi  matang secara spiritual dan cerdas secara intelektual. Agamawan formal-ritualis yang biasa berbusa-busa kotbah soal agama, tapi dalam penghayatan realita kongkritnya tidak terlihat nafas spiritualnya. Justru sebaliknya makin materialistic, rasional-pragmatis, arogan, dingin, robotik dan menakutkan. Sikap keagamaan seperti inilah yang sering membuat mereka-mereka yang awam agama, kaum marginal, kalau meminjam rumusannya lifford Geertz, sebagai orang abangan, suka memandang sinis para agamawan seperti itu sebagai orang yang sok suci! Sementara mereka-mereka yang bergerak dalam asketik keagamaan juga biasa mencemooh dan menghina orang-orang marginal itu sebagai kafir, animism, tahayul dan penuh keberhalaan.
               Jika kita mau merunut kebelakang khususnya di Jawa, perseteruan yang menurut Clifford Geertz dalam bukunya, “The Religion of Java”, yaitu perseteruan antara golongan santri versus kaum abangan itu sebenarnya sudah terjadi dan ada sejak zaman kerajaan Demak beberapa abad silam. Dan sampai kini perseteruan yang demikian ini belum pudar sepenuhnya. Dari kenyataan ini kita bisa simpulkan, bahwa kita selama ini sebenarnya tidak mengalami kemajuan/perkembangan apa-apa dalam dunia religiusitas. Spiritual kita tetap begitu-begitu seperti beberapa abad silam. Kita tak kunjung belajar jadi manusia dewasa dan matang dalam spiritual. Sampai disini kita memang pantas bertanya, terutama kepada para tokoh-tokohnya, “Komitmen social apa? Contoh ketauladanan macam apa pula yang ditunjukkan oleh para tokoh-tokoh kita itu, kalau wajah spiritual yang tampak itu hanya saling curiga, berantem, bersitegang, arogansi dan sadar akan kehebatan diri belaka.”
              Disinilah mungkin perlunya rekonsiliasi sebagai salah atu alternative penyelesaian konvlik dan kekerasan bagi sebagian kalangan masyarakat kita yang mungkin masih terasa perihnya dan masih terlihat bekas lukanya akibat perbenturan keyakinan yang demikian ini. Bersama-sama kita dudukkan persoalannya secara proporsional dalam perspektif akal sehat, bukannya dalam warna kecurigaaan dan kemarahan yang tentu tidak akan produktif. Di titik inilah, dialog antar iman menjadi sesuatu  hal yang wajar. Dialog tidak hanya akan mengurangi prasangka yang menyertai keberadaan kita, tapi juga akan memekarkan kepekaan kita pada persoalan bersama. Karena toh iman yang lain juga mempersoalkan berbagai persoalan dasar dan mencari hidup yang luhur seperti halnya iman kita juga?
            Dengan dialog kita juga bisa semakin meneguhkan upaya penemuan makna religiusitas kita. Dengan kita-kita bias dan berani kembali menelaah dasar-dasar religious kita. Kembali ke titik nol.  Dengan terbuka dan jujur berani dan bisa mengakui kelemahan-kelemahan pada diri kita, sembari membuat komitmen baru demi kemajuan bersama. Hanya dengan begitu, kita bisa berharap akan terjadinya suatu perjumpaan yang tulus dan berbuah. Tanpa kita harus menggadaikan jatidiri kita, tanpa kita harus menindas ataupun merasa ditindas. Hingga akhirnya perdamaian yang kita jumpaipun bukan sekedar perdamaian semu atau perdamaian penindasan dan terror, tapi perdamaian yang membebaskan atau perdamaian kepuasan.
             Intropeksi. Kalau kita mau menyelami ketitik-titik dasar ajaran agama (religi perenis) disitupun kita juga akan sadar dan pahami, bahwa etika moral spiritual itu sebenarnya juga dekat dengan etika moral dengan apa yang kini kita kenal dengan isitlah demokrasi. Dalam spiritual kita semua diajarkan keinsafan sebagai manusia yang lemah. Kesadaran itulah yang mendasari perlunya kita memelihara sikap rendah hati. Kerendahan hati yang kemudian diekspresikan dalam kehidupan bermasyarakat dengan sikap toleran dan terbuka. Sementara sikap toleran dan terbuka itu, tidakkah yang jadi etika dari budaya demokrasi itu sendiri?.
               Sementara demokrasi dalam pengertian yang lebih jauh, yaitu memberi kemungkinan perluasan ruang untuk bertukar fikiran dan berganti alternative. Dengan demikian tumbuh kesadaran pula dalam diri kita, bahswa masa depan memang tidak bisas dimonooli. Jadi memang benar sekali jika dalam agama-agama itu diterangkan, bahwa manusia tanpa terkecuali itu sesungguhnya semua sama dihadapan Tuhan. Tapi tidak hanya sama seharkatnya sebagai citra Allah yang sederajat, tapi sama pula sebagai pribadi-pribadi yang berhak menentukan dirinya sendiri masing-masing. Persis seperti apa yang diajarkan oleh sang Budha, “O, ananda jadilah kau pelita bagi dirimu sendiri.” Sebab pada akhirnya nanti, kita semua memang tidak akan mempertanggung-jawabkan dosa dan diri kita secara massal, tapi kita semua akan berjalan dan mempertanggung-jawabkan diri kita sendiri-sendiri di hadapan Tuhan kelak.
             Jadi kesimpulannya, kematangan spiritual seseorang itu bisa kita lihat pula dari kematanganya berlaku-sikap demokratis. Tuhanlah yang menciptakan segala keaneka-ragaman di dunia ini, maka jika seseorang itu semakin dekat dengan Tuhannya, otomatis orang itu akan semakin lapang dada dalam menerima warna-warni pelangi kehidupan yang pluralis ini.
                Jadi rasanya memang tidak ada salah, dosa atau haramnya andai kita dalam hal ini coba pahami paradigma religius kaum marginal. Siapa tahu ini bisa jadi terobosan atau langkah awal terbukanya wacana baru dialog antar iman yang lebih cerdas dan dewasa. Paling tidak, ya bisa untuk memperkaya khasanah rohani kita dengan hal-hal yang mungkin tidak kita setujui, tapi dan hidup disebagian masyarakat kita keyakinan yang demikian ini. Spiritual  kaum marginal  yang merasa menemukan tanda-tanda transedensi justru dalam pergulatan manusia dengan pengalaman hidup sehari-harinya. Kaum marginal yang selama ini selalu dipojokkan oleh mayoritas karena keinginannya berasimilasi. Keterpojokkan yang justru seringkali merangsang pemikiran, pencarian dan kemampuan memahami aneka sisi cara pandang yang saling seberang-menyeberang. Menguntip kata Danrendorf, dalam bukunya, “Reflection On The Revolution In Europe”; Bila kita ingin maju dan mengembangkan diri, kita harus mau menerima cakrawala keterbukaan yang compang-camping dan antagonis, namun memberikan dorongan dan semangat yang sangat mengagumkan.”
               Jadi disamping memelihara kontinuitas, sekaligus juga melakukan diskontinuitas terhadap pemikiran teologis formal-ritualis yang telah dominan selama berabad-abad. Dalam hal ini, kaum marginal barangkali termasuk dalam clever people yang mengetahui dengan persis bagaimana hidup ditengah-tengah kehidupan yang hiruk-pikuk, plural, global, saling pengaruhi dan sepertinya tak ada kepastian ini. Serta bagaimana pula cara menyiasati. Dan bagi kaum marginal sendiri, agama memang dipandang hanya salah satu dari sekian banyak fasilitas yang ada dalam masyarakat yang bisa dipakai untuk menolong diri. Tidak diterima secara absolute. Maka tak usah heran atau marah, jika kita melihat cara beragama kaum marginal yang sepertinya beragama hanya sekenanya saja. Dan etika marginal yang seperti itu juga memiliki keindahannya sendiri, juga keabsahan yang tidak dapat ditolak oleh siapapun, kecuali barangkali oleh agamawan formal-ritualis berpandangan sempit yang tidak dapat menerima selain kebenaran muntlak dari agama yang dipeluknya.
                 Coba simak percakapan saya dan mbah Samin berikut ini:
                 “Nanti sholat jum’attan dimana, mbah” Tanya saya.
                  “Ya, tergantung badan, nak. Kalau badan lagi seger, jumatan di masjid barat {masjid orang Muhamdiyah}. Kalau lagi kurang sehat, jumatannya di masjid timur {masjid orang NU}.”
                   “Kenapa begitu, mbah?”
                   “Soalnya di masjid barat kalau kotbah lamaaaaaaaaaaaa betul. Kalau di masjid timur, kotbahnya sebentar saja hahahaaaaa……………”
                   “Kamu itu orang Nu apa Muhamadiyah, mbah?”
                    “Saya netral. Mau ngaku orang NU, ngak bisa ngaji. Mau ngaku orang Muhamdiyah, ngak bisa baca.”
                       “La kalau tak tahu ilmu agama begitu, terus berdo’anya gimana, Mbah?”
                       “Ya nyebut {mengucap nama Tuhan} sambil pasrah saja. Berdo’a itu bagiku seperti naik mobil dengan Tuhan sebagai sopirnya. Tuhan khan tak pernah tidur, juga maha tahu dan lebih paham jalanan kehidupan, jadi ya pasrah saja mau Beliau bawa kemana bis yang saya tumpangi ini. ”
                      “Wah, tidak bisa begitu, mbah. Coba Tanya orang NU atau orang Muhamdiyah, do’a itu ada aturannya, urut-urutannya dan hitungannya.”
                      “Ah, Tuhan saja ngasih rezeki saya ngak pakai hitungan, masak saya harus berdoa pakai hitungan segala. Lagipula Tuhan khan bukan cuma milik orang NU dan Muhamdiyah . Apa menurutmu Tuhan juga cuma tahu bahasa Arab doang?”
                      “Kalau begitu mbah Samin namanya cuma Islam KTP.”
                      “Terserah orang mau cap aku apa, yang jelas nanti kalau mati kita tidak akan bawa KTP menghadap Tuhan. Tapi hanya amal ibadahnya yang bisa kita bawa.”
                    Dari orang sederhana semacam mbah samin itulah akhirnya saya justru lebih banyak belajar masalah spiritual. Spiritual yang tak pernah terjebak dalam logika penalaran yang formal, teknis dan kering. Walau secara pemahaman tekstual sangat terbatas, tapi dibalik keterbatasannya itu justru menyimpan kehangatan dan dan kekayaan rohani yang luar biasa. Belajar spiritual pada orang seperti mbah samin juga terasa lebih cair, egaliter, demokratis, banyak canda dan sebenarnya juga sangat cerdas dan kritis; Mbah samin suka menertawai tingkah-laku agamawan yang berlagak serius dalam kesalehan formal-ritualis. Padahal menurut mbah samin, yang harus lebih diseriusi itu masalah kesalehan sosialnya, sementara kesalehan ritualnya bisa dibawa sambil main-main/canda. Kesalehan social, suatu bentuk kesolehan yang tak Cuma ditandai dengan rukuk dan sujud, melainkan juga oleh cucuran keringat dalam praktis hidup keseharian kita. Bekerja juga ibadah!
               Dari mbah Samin itulah akhirnya aku pahami, bahwa spiritual itu sebenarnya indah, manusiawi, penuh warna dan bisa dibawa sambil canda. Jadi aku rasa memang ada satu hal  vital yang lupa ditulis di hampir semua kitab suci yang ada, yaitu selera humor!. Orang dewasa/matang secara spiritual adalah orang yang telah bisa dan berani menertawai dirinya sendiri. Saya percaya 100%, para nabi itu adalah orang-orang yang telah matang/dewasa secara spiritual. Jadi secara logis, para nabi itupun orang yang suka bercanda dan tertawa-tawa seperti kita-kita juga. Jadi kitab suci itu sebenarnya memang lebih mewakili sudut pandang dari penulisnya. Jadi dari sudut pandang sang nabinya sendiri bisa jadi lain. Sayang memang tak ada nabi yang menulis kitab sucinya sendiri, bahkan nabi Muhamad hanya seperti mbah Samin Buta huruf!
                Ini masih cerita tentang mbah Samin.
                       Suatu hari mbah Samin panjat pohon kelapa dan terjatuh, hingga kakinya patah. Ketika aku jengkuk di rumah-sakit, beliau tersenyum menyambutku dan berujar, “Untung jatuhnya kakinya dulu, coba kepalanya dulu…………..apa jadinya?”
                       Hebat khan? Sudah patah kakinya saja masih merasa beruntung. Sementara diluar sana, ada orang sudah dapat jabatan menteri saja merasa masih rugi. Dan untuk menutupi kerugiannya, lalu nyari untuk lewat jalan korupsi. Dalam bahasanya Khalil Gibran, orang seperti mbah samin itu orang yang telah bisa menghadapi penderitaan tanpa harus merasa menderita. Jadi menurut saya, cirri-ciri orang yang telah bisa dekat dengan Tuhan itu ada pada orang macam mbah Samin itu, rendah hati, tulus jiwanya, terbuka, toleran,  bahagia sebagai dirinya dan selalu mensyukuri disetiap langkah hidupnya.
                Coba kita bandingkan dengan kehidupan spiritual haji Saleh, kepada Tuhanpun pada dasarnya dia berdagang. Tiap hari raya Idul Adha, beliau selalu sembelih sapi untuk korban. Alasannya, sapi itu nanti bisa dia naiki untuk jalan-jalan kalau kalau masuk Surga. Kata mbah Samin, “Kenapa dia tidak tak berkorban dengan potong kakinya sendiri, biar nanti bisa jalan-jalan dengan kakinya sendiri di Surga.”
                 Soal memuja-muji Tuhan, haji Saleh juga paling jago dan kuat melakukannya semalaman. Tapi setelah itu, dia juga akan melaporkan daftar panjang keinginannya, ingin panjang umur, ingin naik pangkat, ingin tambahan rezeki, ingin anaknya pintar, ingin ini, ingin itu tiada habis-habisnya  seperti Nobita ketemu Doraemon saja.
               Spiritual haji saleh adalah spiritual pedagang, bukan spiritual ketulusan jiwa. Spiritual haji Saleh adalah spiritual paradokal, Mulut teriak Tuhan maha pemurah, tapi masih minta ini-itu. Teriak Tuhan maha mendengar, tapi masih perlu pengeras suara untuk memanggil-manggil namaNya. Teriak Tuhan maha tahu, tapi masih ngatur ini-itu yang harus dilakukan Tuhan dan sebagainya. Dan ini catatan saya; Siapa berdagang dengan Tuhan, dia akan seperti orang kehausan yang meminum air laut. Dan siapa beribadah dalam ketulusan jiwa padanya, orang itu akan seperti ikan yang dilepas di lautan bebas. Dan di lautan luas, kitapun akan sadari akan kenyataan diri ini yang sesungguhnya memang sangat kecil dan tiada arti di hadapan lautan kasihNya yang tak bertepi.
                Jadi spiritual memanglah bukan sekedar persoalan keTuhanan, janji-janji keselamatan, ritual-ritual, monopoli kebenaran dan urusan Surga-Neraka belaka. Tapi spiritual berarti juga peduli pada lingkungan hidup, peka social dan masa depan kemanusiaan. Yang kesemuanya itu dibingkai etika spiritual yang paling dasar, yaitu kerendahan hati. Seperti yang ditauladankan ulama besar Abu hanifah, yang dalam berfatwa selalu berkata, “Inilah pendapat dari Abu Hanifah, dan ini yang sebaik-baiknya sepanjang pertimbangan kami. Barangsiapa yang dating kemudian dengan membawa keterangan yang lebih baik, dialah yang utama diikuti dengan benar.”
                    Nah, jika ulama sebesar Abu Hanifah saja mau merendahkan hati yang sedemikian, masak kita-kita yang baru bisa baca alip, ba, tha……………….. Sudah berlagak-lagu layaknya seorang nabi yang segala omongannya mesti diterima sebagai suatu kepastian yang tidak bisa untuk ditawar-tawar lagi.
                    Kerendahan hati. Sekali lagi kerendahan hati. Kerendahan hati dan spiritual adalah dua gambar dalam satu mata uang. Tak terpisahkan. Tapi jujur harus kita akui, kotbah soal spiritual memang mudah sekali. Tapi untuk bisa punya kerendahan hati? Seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Apalagi jika kita kuat secara politk, kaya dalam ekonomi dan beranggapan telah sempurna dalam beragama. Menghadapi orang yang demikian ini, mungkin jalan yang paling sederhana adalah dengan mengajak orang itu ke empang atau kolam, sekedar untuk melihat kemampuannya dalam berjalan diatas air.