Setiap hari-raya Idul Adha atau hari-raya Haji, hati saya selalu miris, melihat
budaya kekerasan (pedangkalan iman) yang dibungkus kesolehan ritual dalam
bentuk penyembelihan massal hewan ternak. Kata pak Ustad, ritual itu untuk
mengingat dan menaulani, kecintaan nabi Ibrahim kepada Allah yang lebih besar
dari apapun, termasuk pada anaknya sendiri. Maka Tuhanpun lalu menguji
kecintaan nabi Ibrahim itu dengan menyuruhnya menyembelih anaknya sendiri.
Ibrahim dalam versi Islam. Dalam versi Kristiani disebut Abraham, dengan
julukannya yang terkenal, sebagai Bapak Segala Bangsa. Beliau ini memang jadi
cikal-bakal dari ketiga agama besar yang ada saaat ini, yaitu yahudi, Kristiani
dan islam. Dan yang menjadi pertanyaan, kenapa ritual penyembelihan korban itu
hanya ada dalam ajaran agama islam saja?. Dalam kitab Perjanjian Lama,
Nabi Musa justru mengutuk dan menentang segala bentuk persembahan korban
seperti itu dengan mengatas-namakan ALLAH!.
`Kalau mau jujur, bagaimana kita bisa yakin bahwa ritual penyembelihan hewan
itu sudah betul, atau sudah merupakan manifestasi protektif dari laku spiritual
yang baik, jika ritual itu hanya karena didasari dari satu sudut pandang
saja. Ironis memang, dalam Islam itu sendiri banyak para cendikiawan dan
orang-orang bijaknya yang setiap hari memuja-muji akan kemaha-pengasih dan
penyayangnya Tuhan itu. Tapi ketika Idul Adha, semua kompak mendukung
pembantaian massal hewan ternak. Untuk menyenangkan Tuhan?. Untuk membuktikan
kecintaan kita pada Tuhan? Atau untuk menyogok/suap Tuhan? Agar kita bisa
menikmti kemewahan Surga?.
Bukankah hewan-hewan itu juga mahkluk ciptaan Tuhan?. Jadi sungguh tidak bisa
masuk di logika saya,, bagaimana kita bisa mengekspresikan kecintaan kita pada
Tuhan, dalam bentuk pembantaian hewan/mahkluk ciptaannya. Jika kita memang
benar-benar cinta Allah, tidakkah seharusnya, dalam prakteknya justru
kita harus mencintai dan menghormati semua mahkluk-mahkluk ciptaanNya?.
Benih apa yang kita tanam di jiwa, dapat kita lihat buahnya dalam
tingkah-laku dan perbuatan kita. Dan menurut aku, ritual penyembelihan hewan di
hari raya Idul Adha itu, hanya menunjukkan dengan jelas benih apa yang
tertanam dalam ajaran itu, yaitu KETAKUTAN!. Dan secara ilmu psikologis, memang
benar; Orang yang ketakutan biasanya memang jadi bengis!. Orang takut miskin,
jadi tega rampok-bunuh, orang takut kehilngan jabatan, jadi tega melibas
lawan-lawan politiknya, Orang takut tidak dihargai, jadi tega menipu diri
dengan berlagak sok suci, Fir’aunpun tega bunuh bayi-bayi tak
berdosa-berdaya karena ketakutan dengan ramalan adanya bayi yang akan
mengguncang kekuasaannya. Dan dalam kontek pembantaian hewan di bulan haji,
yang saya lihat hanyalah ekspresi dari orang-orang yang ketakutan tidak
kebagian kavling di Surga!.
Spiritual/agama yang didasari ketakutan pasti nilainya tidak dalam. Kalau mau
berani, kita harus punya banyak pengetahuan dan kalau mau jadi bijak, harus mau
mengenal kebanyakan orang dengan segala kompleksitasnya secara lebih baik. Dan
pedangkalan iman itu yang membuat kebanyakan orang islam takut perubahan.
Padahal makna spiritual itu sendiri sebenarnya adalah perubahan. Prubahan dan
perubahan menuju ke hal yang lebih baik. HIKMAH (KEBIJAKSANAAN) ADALAH BARANG
MILIK ORANG BERIMAN YANG HILANG, MAKA DIMANAPUN KAU TEMUI PUNGUTLAH!.
Tuhan juga memberi kita kemampuan membedakan mana barang bernilai dan
mana sampah. Dengan sedikit saja kemampuan berpikir kritis, jika kita mau dan
berani jujur, kita pasti bisa menilai; Budaya penyembelihan hewan di bulan haji
itu sebenarnya sesuatu yang bernilai ataukah hanya ajaran sampah?.
Orang yang biasa menguyah ajaran sampah kekerasan, akan cenderung jadi manusia
sombong, arogan, pemarahan, otoriter, pendendam dan suka membalas. Ada studi
memperlihatkan, seorang penindas belajar kekerasan dari orang-tuanya. Orang
yang suka melakukan kekerasan adalah orang yang punya kepribadian neurosis. Dia
akan mencari legitimasi dari agama, dari idiologi atau dari apapun. Prahara
sosial yang terjadi di tahun 1966 ataupun di tahun 1997/1998 ataupun beberapa
tindak kekerasan bernuansa SARA yang mudah meledak akhir-akhir ini. Menurut
saya, semua itu terjadi karena mainstream sistem pendidikan kita yang lebih
menekankan pada kepatuhan yang dilandasi oleh ketakutan belaka! Contoh kecil
dalam keluarga, bagi saya, suami yang mengurung rapat istrinya dan memaksa
istrinya di rumah dan tidak boleh keluar rumah, adalah jenis manusia yang punya
masalah di dalam jiwanya.
Ketika pendidikan formal lebih banyak bertumpu pada scientific modern
yang terkotak-kotak dan tak melibatkan emosi. Maka menurut saya, pendidikan di
keluarga adalah benteng terakhir untuk pembentukan karakter anak. Kalau dari
awal anak di didik karakter yang bagus, anak pasti akan jadi manusia yang
terbuka dan toleran. Jika anak di limpahi kasih-sayang, saya kira anak juga
akan tumbuh jadi anak yang penuh kasih-sayang. Tapi kalau kita memang ingin
punya anak-anak/generasi penerus yang suka korup dan kekerasan, ya suapi saja
anak-anak kita dengan sampah kekerasan dan ketakutan!.
Kesalahan
yang terus-menerus dilakukan, pada akhirnya akan menjadi kebiasaan (imun)
yang tak lagi dirasa/anggap sebagai kesalahan. Tapi efeknya paradoknya akan bisa
kita lihat, contohnya bisa kita lihat; Orang suka teriak-teriak, “Tuhan maha
pengasih dan penyayang!” Tapi kelakuannya bengis dan kejam, suka meneror dan
memuja kekerasan.
Atas
nama agama sekarang membunuh binatang untuk dapatkan Surga. Tidak menutup
kemungkinan, besok_besok jika ada ulama yang berfatwa “Bahwa kavling di Surga
bisa dibeli dengan darah manusia!!!” Saya percaya, mereka tidak akan segan-segan pula untuk membunuh
sesama manusia.
Sebagai
penutup, disini saya hanya mau bertanya, “Masihkah kita secara hati nurani dan
akal sehat, bisa membenarkan BUDAYA KEKERASAN DI BULAN HAJI, itu, meskipun
hanya pada binatang??????????????”