Senin, 22 Oktober 2012

BUDAYA KEKERASAN DI BULAN HAJI

-->




            Setiap hari-raya Idul Adha atau hari-raya Haji, hati saya selalu miris, melihat budaya kekerasan (pedangkalan iman) yang dibungkus kesolehan ritual dalam bentuk penyembelihan massal hewan ternak. Kata pak Ustad, ritual itu untuk mengingat dan menaulani, kecintaan nabi Ibrahim kepada Allah yang lebih besar dari apapun, termasuk pada anaknya sendiri. Maka Tuhanpun lalu menguji kecintaan nabi Ibrahim itu dengan menyuruhnya menyembelih anaknya sendiri.
            Ibrahim dalam versi Islam. Dalam versi Kristiani disebut Abraham, dengan julukannya yang terkenal, sebagai Bapak Segala Bangsa. Beliau ini memang jadi cikal-bakal dari ketiga agama besar yang ada saaat ini, yaitu yahudi, Kristiani dan islam. Dan yang menjadi pertanyaan, kenapa ritual penyembelihan korban itu hanya ada dalam ajaran agama islam saja?. Dalam kitab Perjanjian Lama,  Nabi Musa justru mengutuk dan menentang segala bentuk persembahan korban seperti itu dengan mengatas-namakan ALLAH!.
            `Kalau mau jujur, bagaimana kita bisa yakin bahwa ritual penyembelihan hewan itu sudah betul, atau sudah merupakan manifestasi protektif dari laku spiritual yang baik, jika ritual itu hanya karena didasari dari satu sudut pandang saja.  Ironis memang, dalam Islam itu sendiri banyak para cendikiawan dan orang-orang bijaknya yang setiap hari memuja-muji akan kemaha-pengasih dan penyayangnya Tuhan itu. Tapi ketika Idul Adha, semua kompak mendukung pembantaian massal hewan ternak. Untuk menyenangkan Tuhan?. Untuk membuktikan kecintaan kita pada Tuhan? Atau untuk menyogok/suap Tuhan? Agar kita bisa menikmti kemewahan Surga?.
            Bukankah hewan-hewan itu juga mahkluk ciptaan Tuhan?. Jadi sungguh tidak bisa masuk di logika saya,, bagaimana kita bisa mengekspresikan kecintaan kita pada Tuhan, dalam bentuk pembantaian hewan/mahkluk ciptaannya. Jika kita memang benar-benar cinta Allah,  tidakkah seharusnya, dalam prakteknya justru kita harus mencintai dan menghormati semua mahkluk-mahkluk ciptaanNya?.
             Benih apa yang kita tanam di jiwa, dapat kita lihat buahnya dalam tingkah-laku dan perbuatan kita. Dan menurut aku, ritual penyembelihan hewan di  hari raya Idul Adha itu, hanya menunjukkan dengan jelas benih apa yang tertanam dalam ajaran itu, yaitu KETAKUTAN!. Dan secara ilmu psikologis, memang benar; Orang yang ketakutan biasanya memang jadi bengis!. Orang takut miskin, jadi tega rampok-bunuh, orang takut kehilngan jabatan, jadi tega melibas lawan-lawan politiknya,  Orang takut tidak dihargai, jadi tega menipu diri dengan berlagak sok suci,  Fir’aunpun tega bunuh bayi-bayi tak berdosa-berdaya karena ketakutan dengan ramalan adanya bayi yang akan mengguncang kekuasaannya. Dan dalam kontek pembantaian hewan di bulan haji, yang saya lihat hanyalah ekspresi dari orang-orang yang ketakutan tidak kebagian kavling di Surga!.
            Spiritual/agama yang didasari ketakutan pasti nilainya tidak dalam. Kalau mau berani, kita harus punya banyak pengetahuan dan kalau mau jadi bijak, harus mau mengenal kebanyakan orang dengan segala kompleksitasnya secara lebih baik. Dan pedangkalan iman itu yang membuat kebanyakan orang islam takut perubahan. Padahal makna spiritual itu sendiri sebenarnya adalah perubahan. Prubahan dan perubahan menuju ke hal yang lebih baik. HIKMAH (KEBIJAKSANAAN) ADALAH BARANG MILIK ORANG BERIMAN YANG HILANG, MAKA DIMANAPUN KAU TEMUI PUNGUTLAH!.
             Tuhan juga memberi kita kemampuan membedakan mana barang bernilai dan mana sampah. Dengan sedikit saja kemampuan berpikir kritis, jika kita mau dan berani jujur, kita pasti bisa menilai; Budaya penyembelihan hewan di bulan haji itu sebenarnya sesuatu yang bernilai ataukah hanya ajaran sampah?.
            Orang yang biasa menguyah ajaran sampah kekerasan, akan cenderung jadi manusia sombong, arogan, pemarahan, otoriter, pendendam dan suka membalas. Ada studi memperlihatkan, seorang penindas belajar kekerasan dari orang-tuanya. Orang yang suka melakukan kekerasan adalah orang yang punya kepribadian neurosis. Dia akan mencari legitimasi dari agama, dari idiologi atau dari apapun. Prahara sosial yang terjadi di tahun 1966 ataupun di tahun 1997/1998 ataupun beberapa tindak kekerasan bernuansa SARA yang mudah meledak akhir-akhir ini. Menurut saya, semua itu terjadi karena mainstream sistem pendidikan kita yang lebih menekankan pada kepatuhan yang dilandasi oleh ketakutan belaka! Contoh kecil dalam keluarga, bagi saya, suami yang mengurung rapat istrinya dan memaksa istrinya di rumah dan tidak boleh keluar rumah, adalah jenis manusia yang punya masalah di dalam jiwanya.
            Ketika pendidikan formal lebih banyak bertumpu  pada scientific modern yang terkotak-kotak dan tak melibatkan emosi. Maka menurut saya, pendidikan di keluarga adalah benteng terakhir untuk pembentukan karakter anak. Kalau dari awal anak di didik karakter yang bagus, anak pasti akan jadi manusia yang terbuka dan toleran. Jika anak di limpahi kasih-sayang, saya kira anak juga akan tumbuh jadi anak yang penuh kasih-sayang. Tapi kalau kita memang ingin punya anak-anak/generasi penerus yang suka korup dan kekerasan, ya suapi saja anak-anak kita dengan sampah kekerasan dan ketakutan!.
            Kesalahan  yang terus-menerus dilakukan,  pada akhirnya akan menjadi kebiasaan (imun) yang tak lagi dirasa/anggap sebagai kesalahan. Tapi efeknya paradoknya akan bisa kita lihat, contohnya bisa kita lihat; Orang suka teriak-teriak, “Tuhan maha pengasih dan penyayang!” Tapi kelakuannya bengis dan kejam, suka meneror dan memuja kekerasan.
            Atas nama agama sekarang membunuh binatang untuk dapatkan Surga. Tidak menutup kemungkinan, besok_besok jika ada ulama yang berfatwa “Bahwa kavling di Surga bisa dibeli dengan darah manusia!!!” Saya percaya,  mereka tidak akan segan-segan pula untuk membunuh sesama manusia.
           
Sebagai penutup, disini saya hanya mau bertanya, “Masihkah kita secara hati nurani dan akal sehat, bisa membenarkan BUDAYA KEKERASAN DI BULAN HAJI, itu, meskipun hanya pada binatang??????????????”

Foto Saya

Tidak ada komentar:

Posting Komentar