- Saat ini banyak orang Islam yang bermimpi di siang bolong, ingin kembali menghidupkan zaman ke khalifahan. Orang-orang yang meromantikkan ingin membangun Islam yang tunggal. Islam yang murni?. Yang terwujud dalam ekspresi sosio-budaya pemeluknya dalam bentuk yang tunggal dan monolitik. Mau menyeragamkan ekspreai social-budaya-politik-keagamaan umat manusia dalam menterjemahkan Islam. Bagaimana mungkin mimpi seperti itu akan jadi kenyataan? Hanya kekecewaan dan kemarahan akhirnya pasti yang akan didapat. Itu ahistoris. Romantika itu sendiri sebenarnya juga palsu, sebab romantika itu sengaja hendak memaksakan diri berbicara melalui fungsi jiwa kita yang paling lemah serta kabur arah dan penangkapannya, yaitu sentimen kita.
Memang pantas disayangkan, di Negara kita yang mayoritas penduduknya beragama
Islam ini pendidikan agama Islamnya pada umumnya hanya diajarkan lewat satu
sisi cara pandang (ini bibit sentiment/fanatisme). Sementara aliran dan
mazhab-mazhab lainnya pada umumnya tidak diajarkan atau diperkenalkan,
akibatnya pandangan masyarakat kita tentang agama pada umumnya jadi sempit,
mudah melecehkan dan mengkafirkan mereka-mereka yang tidak segolongan/sepaham.
Karena dalam keyakinannya, hanya ajaran Islam yang dipelukinya itulah yang
paling benar.
Al’quran dan hadist memang ajaran yang absolute sifatnya bagi umat Islam. Tapi
begitu ajaran dasar itu di tafsirkan, hasil ijtihad atau pemikiran ulama itu
sudah jadi relative sifatnya. Maka disini, perbedaan interprestasi adalah
sesuatu hal yang wajar terjadi. Perbedaan bahkan pertentangan memang menjadi
hal yang tak mungkin terelakan lagi. Seperti misalnya, menurut mazhab Syafi’I,
ludah anjing itu najis, sementara menurut mazhab Maliki ludah anjing itu tidak
najis.
Disinilah kebesaran jiwa dan kelapangan dada kita diuji dalam kemampuannya
menerima realita yang beraneka-ragam itu sebagai rahmat. Tuhanlah yang
menciptakan semua keaneka-ragaman ini, Maka siapa tidak bisa menerima dan
menghormati keanekaragaman (pluralisme), berarti orang itu juga tidak
menghormati dan menerima Dia yang menciptakan keanekaragaman itu, yaitu Tuhan
YME.
Orang yang beriman pada Tuhan, akan selalu ada satunya antara yang di hati,
mulut dan perbuatannya. Maka jika ada orang yang ngomong “Tuhan maha pengasih”
tapi kelakuannya bengis, percaya Tuhan maha pema’af tapi orangnya pendendam,
Percaya Tuhan maha mendengar, tapi paling suka teriak-teriak memanggil namaNya
lewat pengeras-suara, percaya Tuhan maha pemurah, tapi tiap hari do’anya hanya
minta/mengemis ini-itu padaNya. Manusia paradokal seperti itu
sesungguhnya hanyalah para penipu munafik dan pemuja berhala yang bernama
Agama!. Maka tidak usah heran, jika sesama orang Islam saja mereka saling
melecehkan, mengkafirkan bahkan bunuh-bunuhan seperti kejadian di warga Syiah
Sampang ataupun terjadi pada warga Ahmadiyah. Karena dalam Islam sendiri
sebenarnya memang ada banyak sekali aliran-aliran dan mazhab-mazhabnya.
Inilah aliran-aliran dan mazhab-mazhab yang ada dalam Islam, dalam bidang
akidah ada aliran Khawarij, Maturidiah, Mu’tazilah, Asy’iriah, Murji’ah dan
Syi’ah. Dajam bidang ibadah serta fikih mu’amallah, ada mazhab Maliki, Hambali,
Hanafi dan Syafi’i. Dalam tasawuf ada aliran Sunni dan Syi’ah. Dalam bidang
falsafah ada aliran Al’farabi dan aliran Al’ghazali. Dalam bidang politik ada
aliran Khawarij, syi’ah dan Sunni.
Dan semua aliran dan mazhab-mazhab itu bagiku hanya kotak berhala yang
sering dijadikan topeng belaka. Kebanyak orang saat ini memang suka bertopeng
kesucian dan kesakralan agama. Tidak punya lagi keberanian jadi dirinya sendiri
seperti apa adanya. Saat ini memang banyak agamawan/spiritualis yang hanya
seperti kuburan yang di labur putih (pinjam kata-kata Yesus ketika mengomentari
para ahli kitab) putih bersih memang luarnya, tapi bau bangkai busuk isinya,
Bukalah topengmu, maka kau khan lihat luas dan indahnya warna-warni kehidupan.
Bukalah topengmu dan berkacalah, maka kau khan sadari; topeng memang banyak
menyembunyikan keindahan namun tak pernah mampu menutupi keburukan jiwa. Orang
yang beriman pada Tuhan akan jadi dirinya sendiri. Orang yang beriman pada
Tuhan, bukanlah orang yang hapal isi kitab suci, tapi orang yang mampu dan
berani terus belajar tentang keterbatasannya. Maka jika ada orang mengaku
percaya pada Tuhan, tapi hidupnya penuh paradokal, munafik, sok suci, merasa
paling tahu, benar dan sempurna sendiri. Maka tidak usah heran, jika
orang-orang macam itu mulutnya paling fasih mengutip ayat-ayat dari kitab suci.
Karena orang-orang macam itu sesungguhnya di hatinya bukan memuja Tuhan, tapi
memuja BERHALA YANG BERNAMA AGAMA!.
.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar