Didalam Indonesia
merdeka, kita merdekakan rakyatnya, kita merdekakan jiwanya (bung Karno}.
Seperti halnya revolusi sosial, selalu dimulai dari
kenyataan-kenyataan/ketimpangan social yang dirasakan oleh orang banyak dan
disadarkan oleh satu-dua orang diantara orang banyak. Begitupun dengan revolusi
spiritual, dimulai dari kenyataan-kenyataan/ketimpangan spiritual yang
dirasakan oleh orang banyak, dan disadarkan oleh satu-dua orang diantara orang
banyak.
Dan sekarang kita lihat, bagaimana kenyataan-kenyataan spiritual yang dirasakan
oleh orang banyak pada umumnya saat ini?.Apakah rakyat kita kebanyakan sudah
merasakan hidup merdeka didalam kemerdekaan? Sebagai parameter hal itu bisa
kita lihat pada mereka-mereka yang masuk golongan minoritas. Apakah mereka
sudah merasa aman, bebas dan nyaman sebagai rakyat Indonesia?. Melihat
kenyataan seperti Ahmadiyah, Syia’ah, ataupun kepercayaan-kepercayaan
local-tradisional yang ada saat ini. Saya bisa katakan, sebagian besar
rakyat kita sesungguhnya belum merasakan hidup merdeka didalam kemerdekaan.
Bagaimana dengan jiwanya? Lebih parah lagi. Penuh paradokal. Orang ngaku
beragama/spiritualis, bukannya jadi rendah hati, terbuka, toleran, percaya
diri. Justru jadi arogan, fanatic, tertutup dan hanya bisa membebek.
Orang mengaku percaya Tuhan maha mendengar, tapi masih juga suka
teriak-teriak lewat pengeras suara memanggil-manggil namaNya. Percaya
Tuhan maha tahu dan pemurah, tapi tiap berdo’a isinya hanya
mendikte dan mengemis-ngemis melulu. Minta naik pangkat, naik gaji,
lancar rejeki, tambah kaya, sepertinya Tuhan itu kepala kepegawaian di
kantor kita saja. Allah kita sembah puja-puji segala kebesaranNya, lalu
kita perah rejeki dan berkahnya tanpa rasa malu.
Paradokal spiritual seperti itu, sesungguhnya menunjukkan dengan jelas,
bahwa keyakinan yang seperti itu sesungguhnya hanya ada di mulut saja. Belum
sampai di hati. Teriakkan dan permintaan-permintaan macam itu, dengan jelas
juga menunjukkan keserakahan jiwa pelakunya yang sesungguhnya masih buta dan
tuli akan segala ke maha mendengaran dan maha pemurahnya Tuhan itu.
Karena itu tidak usah heran, jika di negeri ini jadi sarangnya para koruptor.
Karena dari hal yang paling mendasar, yaitu ibadah. Kitapun sudah terbiasa
diajar untuk bermental korup, serakah dan tidak jujur. Kita diajar doktrin
pengetahuan (teori) bahwa Tuhan itu maha segala-galanya, tapi kita tidak pernah
diajar mengenal sejatinya Allah itu seperti apa. Kita tidak pernah diajar untuk
berani berlaku jujur. Kalau memang belum kenal sejatinya Allah itu seperti apa,
ya katakan saja apa adanya. Begitupun jika kita sudah percaya dan mengakui akan
segala kebesaranNYa. Mestinya apa yang keluar dari mulut kita itu, bukan cuma
cerminan kemampuan intelektual kita saja, tapi memang pengalaman dari
pergulatan batin yang telah menyaksikan sendiri akan segala kebesaranNya.
Karena hanya dengan demikian, akan selalu ada satunya antara yang di hati,
mulut dan perbuatan kita.
Ini zaman, memang dimana orang lebih suka memuja kebisingan,
omong-kosong, iklan dan pencitraan ornamen-ornamen luar yang dangkal, seperti surban,
jubah dan jilbab yang rapat. Daripada menghargai ketulusan jiwa. Saat ini
banyak orang yang suka asal bunyi (asbun), bahwa agamanya yang paling baik,
benar, suci dan sempurna sendiri. Pertanyaan saya; Apa gunanya kita punya agama
yang sempurna, kalau kelakuan kita penuh paradokal?. Sama dengan
pertanyaan; Apa gunanya kita punya computer canggih, kalau kita tidak bisa
mengoperasikan dan memberi manfat bagi keseharian hidup kita?. Agamapun
akhirnya hanya jadi alat menyebalkan, sebagai kesempurnaan yang mengganngu
saja?.
Dan celakanya, saat ini kebanyakan yang beredar adalah agamawan/spiritualis
asbun. Spirituali asbun itu memang paling suka beredar dan narsis abis.
Orang-orang sok suci dan sok tahu yang lidahnya paling fasih mengutip ayat-ayat
dari kitab suci, untuk melegitimasi atas segala yang diucapkannya. Dan
ujung-ujungnya kalau sudah terkenal, hanya akan jadi bintang iklan. Jadi corong
budaya instan, konsumenrisme dan hedonis.
Dan umat hanyalah jadi objek/konsumen yang
dieksplotasi dan dijejali hasutan-hasutan doktrin yang tak boleh di kritik
apalagi di bantah. Hingga umat tak tahu lagi dirinya sendiri. Lihat saja di
bulan ramadhan/puasa yang seharusnya jadi bulan penghematan. Kenyataannya,
justru terbalik/paradok, jadi bulan pengeluaran belanja yang lebih besar.
Ironis sekali, bulan Ramadhan yang di kotbahkan dengan berbusa-busa sebagai
bulan suci-spiritualis. Tapi dalam prakteknya, mengikuti ajaran Mark dan
Engels, yang di tahun 1848 merumuskan, bahwa sang maha pengatur manusia
adalah capital alias modal. Dinamika agama ekonomi ini, menciptakan akumulasi
laba dan modal alias uang sebagai dogma dasar yang amat mempengaruhi perilaku
manusia secara meluas saat ini.
Kehidupan berbangsa saat ini yang morat-marit penuh
paradokal, kemunafikan, kesejangan social, penindasan, krisis ketauladanan,
dekandensi moral, korupsi, maraknya budaya kekerasan dan inferior dihadapan
bangsa lain. Semua itu sesungguhnya merupakan cerminan dari sebagian besar jiwa
manusia-manusia Indonesia yang belum merdeka. Dan siapa yang menjajah
bangsa ini, dengan tegas saya katakana AGAMA!. Agama yang senantiasa
mengajarkan spiritual yang bersifat massal, legal, formal, ritual, tekstual dan
normative belaka. Hingga orangpun merasa tidak malu dan berdosa korupsi, selama
secara legal-formal tidak bisa dibuktikan di pengadilan?.
Kita telah jadi bangsa diatas kertas (penipu); Beras hasil
import di kotbahkan kita surplus pangan. Kita telah jadi bangsa tak
berdaulat/punya harga diri; Hasil bumi dikeruk keluar negeri, kita hanya bisa
mengemis-ngemis minta tambahan komisi. Kita tak punya lagi budaya malu;
suka berbaju gamis dan sok suci, tapi kelakuannya seperti preman jalanan. Kita
telah jadi bangsa pengecut, yang selalu berkiblat pada bangsa lain dan tak
punya lagi kebanggaan sebagai orang Indonesia.
Inilah masalah mendasar bangsa kita saat ini, yaitu masalah
mental. Dan melihat kenyataan-kenyataan spiritual bangsa kita yang penuh
paradokal dan ketimpangan itu, menurut aku, memang sudah saatnya untuk terjadi
revolusi spiritual itu. Revolusi mental, revolusi jilid dua, revolusi tanpa
pertumpahan darah. Dan jika kita memang ingin mendapatkan jawaban yang
mendasar, suka atau tidak suka, kita harus berani mengkritisi agama. Karena
agama itu yang jadi mainstream ajaran spiritual yang ada saat ini, yang
logisnya juga paling bertanggung-jawab menciptakan mental masyarakat kita yang
seperti saat ini.
Dan tegas saya katakana, kesalahan mendasar kita saat
ini adalah, entah sadar atau tidak, kita telah menjadikan AGAMA ITU SEBAGAI
BERHALA BARU!. Agama yang sebenarnya hanyalah ALAT menuju Tuhan. Tapi
agama justru kini dijadikan tujuan hidup itu sendiri. Bahkan
dikalangan orang Islam, ada yang tidak bisa lagi membedakan antara agama Islam
dengan budaya Arab. Mereka menganggap belum sempurna Islamnya, kalau
belum tampil dengan meng-Arabkan diri. A’u tidak boleh dibaca angu, dzubi tidak
boleh dibaca dubi, ain tidak boleh dibaca ngain. Guru bahasa Arabkupun pernah
membentakku,”Bahasa Arab itu tidak senbarangan, salah bunyi lain, bisa-bisa dosa
kamu mengubah Al’quran.”
Gila! Mau belajar malah nyari dosa, pikirku. Dalam
spiritual, jika pengujapan tajwid yang sempurna lebih utama daripada ketulusan
jiwa. Ya, seperti yang kita lihat saat ini, hanya orang Arab dan mereka yang
suka meng-Arabkan diri saja yang sepertinya punya otoritas atas agama. Kalau
Tuhan tahunya juga cuma bahasa Arab, ya hanya orang Arab dan mereka yang suka
meng-Arabkan diri saja yang punya kavling di Surga.
Jadi pencarian dan pengenalan akan Tuhanlah yang seharusnya
jadi laku utama dalam kehidupan beragama/spiritual. Bukannya pengenalan wacana
agama secara sempurna formal-ritualis. Sayang memang, dunia sufisme yang
mengajarkan dan praktek pengenalan langsung akan haqiqat Tuhan itu sejak abad
18 sudah ditolak dan ditentang oleh gerakan Islam puritan yang rasional dan
anti mistik. Islampun kemudian lebih nampak sebagai gerakan
social-politik yang mencoba melawan keterdesakan dari dunia/budaya barat.
Karena itu tidak mengherankan, jika kehidupan beragamapun kemudian lebih hanya
banyak digerakkan oleh semangat pakaian seragam belaka. Kesatuan, kekuatan,
massa, militansi, seakan jadi ajaran utama agama. Dan ketika perlawanan menjadi
hala yang terpenting, orang memang akan selalu cenderung berpikiran
hitam-putih. Fanatik, siapa yang tidak bersama kami adalah musuh kami.
Begitulah akibatnya, jika orang menjadikan agama
sebagai tujuan, bukannya alat. Menjadikan agama sebagai berhala, bukan sekedar
peta. Hatinya akan jadi buta dan otaknya jadi tumpul. Tidak bisa lagi
menyadari, bahwa hubungan manusia dan Tuhannya itu sesungguhnya bersifat
privat/mempribadi. Karena bersifat privat, ibadahpun sifatnya menjadi KEBUTUHAN
bukan lagi KEWAJIBAN!. Karena jika ibadah kita terima sebagai suatu
kewajiban, pasti akan bersifat massal, mekanik, menindas dan mudah melecehkan.
Ada tukang becak yang pernah ngeluh padaku begini, “Kalau puasa ngak kuat
narik. Kalau tidak puasa dikatai kafir dan tidak Islami.”
Begitulah akibatnya jika spiritual dibawah ikatan agama,
hasilnya hanya epigonisme yang hanya berujung paradokal dan keluh-kesah melulu.
Lain jika ibadah bisa kita terima sebagai kebutuhan yang bersifat privat.
Ibadahpun akan lebih bersifat jujur mewakili wajah diri kita. Seperti kita
butuh makan, tiap orang punya selera dan kapasitasnya masing-masing. Jadi hanya
ketika ibadah telah bisa kita terima sebagai suatu kebutuhan, sikap TOLERAN
akan tumbuh dengan sendirinya dari situ. Karena kita sadar, bahwa untuk hidup
tidak semua orang memang harus makan nasi (ikut mainstream). Jadi memang tidak
adil, bahkan merupakan penindasan, kesewenang-wenangan dan penjajahan
spiritual, ketika seorang tukang becak yang bekerja keras memeras keringat,
diwajibkan menjalankan ibadah puasa sama dengan tukang kotbah yang kerjanya
Cuma jualan abab!.
Jadi bukan karena dilandasi egoentris, jika aku mencampakkan
agama dan lebih suka mendalami-menjalani ajaran laku spiritual bangsa sendiri.
Bukan karena di bangsa ini ada ajaran yang lebih baik, ada nabi yang lebih
mulia atau ada kitab yang lebih tebal-sempurna. Tidak. Kekuatan utama ajaran
spiritual bangsa kita, justru karena tidak menempatkan spiritual itu dalam
bentuk kotak besi kaku-dogmatis dengan nama agama. Spiritual itu seperti air
yang mengalir, spiritual yang terbuka, hidup dan terus berproses. Spiritual
yang menekankan kesadaran, bahwa hubungn manusia dan Tuhannya itu bersifat
mempribadi.
Inilah kecerdasan intelektual-spiritual bangsa kita, yang
tidak pernah menciptakan agama (consensus kebenaran?) yang selalu berasumsi
bahwa apa yang ada dalam agama itu selalu benar. Sekalipun itu hanya ilusi. Dan
seperti dibuktikan dalam sejarah, agama adalah proyek kekuasaan. Komunikasipun
dibetot dari rohnya, pelan-pelan demi consensus. Dengan bendera iman, semua
jadi seperti rumus ilmu past yang harus diterima dengan taklid. Entah sadar
atau tidak, disini telah terjadi pemberhalaan agama yang ditopang oleh kekuatan
dan kekuasaan, baik dalam bentuk modal, tahta maupun senjata.
Jadi disini aku tidak ingin menuntut adanya perubahan ajaran
agama. Disini aku hanya ingin MENYADARKAN kita semua, perlunya paradigm baru
dalam memandang agama. Agama hanyalah alat yang juga sering dan bisa
ketinggalan zaman. Seperti dalam sejarah gereja Khatolik misalanya, struktur
masyarakat telah berubah dari masyarakat agraris menuju masyarakat industry,
sementara ajaran gereja Khatolik masih berpegang pada system feodal-agraris.
Baru dibawah Paus Leo XIII, gereja mencoba mengeluarkan ajaran social baru
karena perubahan struktur masyarakat beserta implikasinya terhadap keadilan
social.
Dan di zaman global-digital yang serba cair ini, menurut aku
agama juga lagi-lagi terlambat bangun. Yang diwakili agamawan formal-ritualis
yang otaknya masih feodal-tradisional; Spiritual hanya untuk mencari dan
mempertahankan kekuasaan. Padahal ini zaman, komunikasilah yang banyak
menyelesaikan masalah, bukannya kekuasaan. Sudah bukan zamannya saat ini sikap
idiologis {baca; merasa benar sendiri} sikap yang berorentasi dakwah eksklusif,
yang memandang keyakinan yang dianut orang lain sebagai salah dan harus
ditaubatkan dari keyakinannya.
Memang diperlukan adanya paradigm baru dalam spiritual saat
ini. Kata paradigma menjadi populair sejak Thomas Kuhn menerbitkan
bukunya, THE STRUCTURE OF SCIENTIFIC REVOLUTION. Kata paradigm
adalah semacam grundmodell (model dasar) yang digunakan untuk memandang dan
merancang sesuatu. Jadi kata pardigma itu mengandung makna yang dinamis bahkan
revolutif. Sudah bukan zamannya sekarang seorang spiritualis itu terjebak dalam
pemikiran yang dogmatis-formalis. Kita harus pakai otak sebagai karunia Tuhan,
dan tidak menghujamkan segalanya hanya pada apa kata kitab suci jika menemui
masalah social di dunia ini. Jadi bagaimana membuat iman kita pada Tuhan itu
berarti dan apa relevansi iman itu bagi masalah ketidak-adilan yang kita hadapi.
Jadi spiritual justru harus bisa jadi pembebas dari tata-nilai
membelenggu-dogmatis yang hanya akan membuat kita jadi manusia kerdil, bodoh
dan sempit wawasan.
Kita tidak mungkin akan bisa menghargai bangsa
sendiri, sebelum kita bisa menghargai diri kita sendiri. Kita juga tidak
mungkin akan bisa mengenal sejatinya Tuhan, sebelum kita bisa dan mau mengenal
siapa sejatinya diri pribadi kita sendiri. Jadi memang perlu kita itu untuk
bisa mengenal siapa diri kita itu. Dan itu tidak pernah diajarkan, bahkan
ditentang oleh agama. Tahu kenapa? Karena jika kita bisa mengenal diri sendiri,
kita akan jadi punya percaya diri. Dan jika kita bisa mengenal sejatinya Ilahi,
sebagai alat, otomatis agama akan tidak laku lagi alias bangkrut. Dan hal
seperti itu jelas tidak pernah diinginkan oleh mereka-mereka yang suka
MEMBERHALAKAN AGAMA.Karena mereka bisa hidup karena jualan agama, bisa menjajah
bangsa lain karena bendera agama, bisa berkuasa karena bersenjata agama.
Akan panjang sekali ceritanya jika kita kupas relasi antara
agama dan kekuasaan itu. Mungkin lebih baik kita mulai saja dari hal yang
paling mendasar dan sederhana; yaitu jika kita mati kelak, kita juga harus
berjalan sendiri. Kita tidak bisa lagi membawa dan hapal kitab suci, para nabi
dan orang suci juga tidak mungkin bisa nemani kita lagi. Karena itu kita memang
butuh punya kepercayaan diri dengan jalan mengenal sang diri pribadi, yang akan
berujung pada pengenalan haqiqat Tuhan itu sendiri. Sebagai spiritualis, kita
tentunya percaya, hanya Tuhanlah yang akan bisa jadi pebimbing sejati kita,
baik di dunia ataupun di alam nanti. Dan hanya orang-orang yang mencintai Tuhan
diatas rasa cintanya pada apapun termasuk agama, yang akan berani selalu
merevolusi jiwanya setiap saat.
Sekarang semua kembali kepada kita masing-masing,
merasa perlukah kita perubahan atau revolusi spiritual itu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar