Kamis, 04 Oktober 2012

REVOLUSI SPIRITUAL


        Didalam Indonesia merdeka, kita merdekakan rakyatnya, kita merdekakan jiwanya (bung Karno}.

            Seperti halnya revolusi sosial, selalu dimulai dari kenyataan-kenyataan/ketimpangan social yang dirasakan oleh orang banyak dan disadarkan oleh satu-dua orang diantara orang banyak. Begitupun dengan revolusi spiritual, dimulai dari kenyataan-kenyataan/ketimpangan spiritual yang dirasakan oleh orang banyak, dan disadarkan oleh satu-dua orang diantara orang banyak.
            Dan sekarang kita lihat, bagaimana kenyataan-kenyataan spiritual yang dirasakan oleh orang banyak pada umumnya saat ini?.Apakah rakyat kita kebanyakan sudah merasakan hidup merdeka didalam kemerdekaan? Sebagai parameter hal itu bisa kita lihat pada mereka-mereka yang masuk golongan minoritas. Apakah mereka sudah merasa aman, bebas dan nyaman sebagai rakyat Indonesia?.  Melihat kenyataan seperti Ahmadiyah, Syia’ah, ataupun kepercayaan-kepercayaan local-tradisional yang ada saat ini. Saya bisa katakan, sebagian  besar rakyat kita sesungguhnya belum merasakan hidup merdeka didalam kemerdekaan.
            Bagaimana dengan jiwanya? Lebih parah lagi. Penuh paradokal. Orang ngaku beragama/spiritualis, bukannya jadi rendah hati, terbuka, toleran, percaya diri.  Justru jadi arogan, fanatic, tertutup dan hanya bisa membebek. Orang mengaku percaya Tuhan maha mendengar, tapi masih juga suka  teriak-teriak lewat pengeras suara memanggil-manggil namaNya. Percaya Tuhan maha tahu dan pemurah,  tapi tiap berdo’a isinya hanya  mendikte dan mengemis-ngemis melulu. Minta naik pangkat,  naik gaji, lancar rejeki, tambah kaya, sepertinya Tuhan itu kepala kepegawaian  di kantor kita saja. Allah kita sembah puja-puji segala kebesaranNya,  lalu kita perah rejeki dan berkahnya tanpa rasa malu.
             Paradokal spiritual seperti itu, sesungguhnya menunjukkan dengan jelas, bahwa keyakinan yang seperti itu sesungguhnya hanya ada di mulut saja. Belum sampai di hati. Teriakkan dan permintaan-permintaan macam itu, dengan jelas juga menunjukkan keserakahan jiwa pelakunya yang sesungguhnya masih buta dan tuli akan segala ke maha mendengaran dan maha pemurahnya Tuhan itu.
            Karena itu tidak usah heran, jika di negeri ini jadi sarangnya para koruptor. Karena dari hal yang paling mendasar, yaitu ibadah. Kitapun sudah terbiasa diajar untuk bermental korup, serakah dan tidak jujur. Kita diajar doktrin pengetahuan (teori) bahwa Tuhan itu maha segala-galanya, tapi kita tidak pernah diajar mengenal sejatinya Allah itu seperti apa. Kita tidak pernah diajar untuk berani berlaku jujur. Kalau memang belum kenal sejatinya Allah itu seperti apa, ya katakan saja apa adanya. Begitupun jika kita sudah percaya dan mengakui akan segala kebesaranNYa. Mestinya apa yang keluar dari mulut kita itu, bukan cuma cerminan kemampuan intelektual kita saja,  tapi memang pengalaman dari pergulatan batin yang telah menyaksikan sendiri akan segala kebesaranNya. Karena hanya dengan demikian, akan selalu ada satunya antara yang di hati, mulut dan perbuatan kita.
             Ini zaman, memang dimana orang lebih suka memuja kebisingan, omong-kosong, iklan dan pencitraan ornamen-ornamen luar yang dangkal, seperti surban, jubah dan jilbab yang rapat. Daripada menghargai ketulusan jiwa. Saat ini banyak orang yang suka asal bunyi (asbun), bahwa agamanya yang paling baik, benar, suci dan sempurna sendiri. Pertanyaan saya; Apa gunanya kita punya agama yang sempurna, kalau kelakuan kita penuh paradokal?.  Sama dengan pertanyaan; Apa gunanya kita punya computer canggih, kalau kita tidak bisa mengoperasikan dan memberi manfat bagi keseharian hidup kita?. Agamapun akhirnya hanya jadi alat menyebalkan, sebagai kesempurnaan yang mengganngu saja?.
            Dan celakanya, saat ini kebanyakan yang beredar adalah agamawan/spiritualis asbun. Spirituali asbun itu memang paling suka beredar dan narsis abis. Orang-orang sok suci dan sok tahu yang lidahnya paling fasih mengutip ayat-ayat dari kitab suci, untuk melegitimasi atas segala yang diucapkannya. Dan ujung-ujungnya kalau sudah terkenal, hanya akan jadi bintang iklan. Jadi corong budaya instan, konsumenrisme dan hedonis.
 Dan umat hanyalah jadi objek/konsumen yang dieksplotasi dan dijejali hasutan-hasutan doktrin yang tak boleh di kritik apalagi di bantah. Hingga umat tak tahu lagi dirinya sendiri. Lihat saja di bulan ramadhan/puasa yang seharusnya jadi bulan penghematan. Kenyataannya, justru terbalik/paradok, jadi bulan pengeluaran belanja yang lebih besar. Ironis sekali, bulan Ramadhan yang di kotbahkan dengan berbusa-busa sebagai bulan suci-spiritualis. Tapi dalam prakteknya, mengikuti ajaran Mark dan Engels, yang di tahun 1848  merumuskan, bahwa sang maha pengatur manusia adalah capital alias modal. Dinamika agama ekonomi ini, menciptakan akumulasi laba dan modal alias uang sebagai dogma dasar yang amat mempengaruhi perilaku manusia secara meluas saat ini.
 Kehidupan berbangsa saat ini yang morat-marit penuh paradokal, kemunafikan, kesejangan social, penindasan, krisis ketauladanan, dekandensi moral, korupsi, maraknya budaya kekerasan dan inferior dihadapan bangsa lain. Semua itu sesungguhnya merupakan cerminan dari sebagian besar jiwa manusia-manusia  Indonesia yang belum merdeka. Dan siapa yang menjajah bangsa ini, dengan tegas saya katakana AGAMA!. Agama yang senantiasa mengajarkan spiritual yang bersifat massal, legal, formal, ritual, tekstual dan normative belaka. Hingga orangpun merasa tidak malu dan berdosa korupsi, selama secara legal-formal tidak bisa dibuktikan di pengadilan?.
Kita telah jadi bangsa diatas kertas (penipu); Beras hasil import di kotbahkan kita surplus pangan. Kita telah jadi bangsa tak berdaulat/punya harga diri; Hasil bumi dikeruk keluar negeri, kita hanya bisa mengemis-ngemis minta tambahan komisi.  Kita tak punya lagi budaya malu; suka berbaju gamis dan sok suci, tapi kelakuannya seperti preman jalanan. Kita telah jadi bangsa pengecut, yang selalu berkiblat pada bangsa lain dan tak punya lagi kebanggaan sebagai orang Indonesia.
Inilah masalah mendasar bangsa kita saat ini, yaitu masalah mental. Dan melihat kenyataan-kenyataan spiritual bangsa kita yang penuh paradokal dan ketimpangan itu, menurut aku, memang sudah saatnya untuk terjadi revolusi spiritual itu. Revolusi mental, revolusi jilid dua, revolusi tanpa pertumpahan darah. Dan jika kita memang ingin mendapatkan jawaban yang mendasar, suka atau tidak suka, kita harus berani mengkritisi agama. Karena agama itu yang jadi mainstream ajaran spiritual yang ada saat ini, yang logisnya juga paling bertanggung-jawab menciptakan mental masyarakat kita yang seperti saat ini.
 Dan tegas saya katakana, kesalahan mendasar kita saat ini adalah, entah sadar atau tidak, kita telah menjadikan AGAMA ITU SEBAGAI BERHALA BARU!.  Agama yang sebenarnya hanyalah ALAT menuju Tuhan. Tapi  agama justru kini dijadikan tujuan  hidup itu sendiri. Bahkan dikalangan orang Islam, ada yang tidak bisa lagi membedakan antara agama Islam dengan budaya Arab.  Mereka menganggap belum sempurna Islamnya, kalau belum tampil dengan meng-Arabkan diri. A’u tidak boleh dibaca angu, dzubi tidak boleh dibaca dubi, ain tidak boleh dibaca ngain. Guru bahasa Arabkupun pernah membentakku,”Bahasa Arab itu tidak senbarangan, salah bunyi lain, bisa-bisa dosa kamu mengubah Al’quran.”
Gila! Mau belajar malah nyari dosa, pikirku. Dalam spiritual, jika pengujapan tajwid yang sempurna lebih utama daripada ketulusan jiwa. Ya, seperti yang kita lihat saat ini, hanya orang Arab dan mereka yang suka meng-Arabkan diri saja yang sepertinya punya otoritas atas agama. Kalau Tuhan tahunya juga cuma bahasa Arab, ya hanya orang Arab dan mereka yang suka meng-Arabkan diri saja yang punya kavling di Surga.
Jadi pencarian dan pengenalan akan Tuhanlah yang seharusnya jadi laku utama dalam kehidupan beragama/spiritual. Bukannya pengenalan wacana agama secara sempurna formal-ritualis. Sayang memang, dunia sufisme yang mengajarkan dan praktek pengenalan langsung akan haqiqat Tuhan itu sejak abad 18 sudah ditolak dan ditentang oleh gerakan Islam puritan yang rasional dan anti mistik. Islampun kemudian  lebih nampak sebagai gerakan social-politik yang mencoba melawan keterdesakan dari dunia/budaya barat. Karena itu tidak mengherankan, jika kehidupan beragamapun kemudian lebih hanya banyak digerakkan oleh semangat pakaian seragam belaka. Kesatuan, kekuatan, massa, militansi, seakan jadi ajaran utama agama. Dan ketika perlawanan menjadi hala yang terpenting, orang memang akan selalu cenderung berpikiran hitam-putih. Fanatik, siapa yang tidak bersama kami adalah musuh kami.
 Begitulah akibatnya, jika orang menjadikan agama sebagai tujuan, bukannya alat. Menjadikan agama sebagai berhala, bukan sekedar peta. Hatinya akan jadi buta dan otaknya jadi tumpul. Tidak bisa lagi menyadari, bahwa hubungan manusia dan Tuhannya itu sesungguhnya bersifat privat/mempribadi. Karena bersifat privat, ibadahpun sifatnya menjadi KEBUTUHAN bukan lagi  KEWAJIBAN!.  Karena jika ibadah kita terima sebagai suatu kewajiban, pasti akan bersifat massal, mekanik, menindas dan mudah melecehkan. Ada tukang becak yang pernah ngeluh padaku begini, “Kalau puasa ngak kuat narik. Kalau tidak puasa dikatai kafir dan tidak Islami.”
Begitulah akibatnya jika spiritual dibawah ikatan agama, hasilnya hanya epigonisme yang hanya berujung paradokal dan keluh-kesah melulu. Lain jika ibadah bisa kita terima sebagai kebutuhan yang bersifat privat. Ibadahpun akan lebih bersifat jujur mewakili wajah diri kita. Seperti kita butuh makan, tiap orang punya selera dan kapasitasnya masing-masing. Jadi hanya ketika ibadah telah bisa kita terima sebagai suatu kebutuhan, sikap TOLERAN akan tumbuh dengan sendirinya dari situ. Karena kita sadar, bahwa untuk hidup tidak semua orang memang harus makan nasi (ikut mainstream). Jadi memang tidak adil, bahkan merupakan penindasan, kesewenang-wenangan dan penjajahan spiritual, ketika seorang tukang becak yang bekerja keras memeras keringat, diwajibkan menjalankan ibadah puasa sama dengan tukang kotbah yang kerjanya Cuma jualan abab!.
Jadi bukan karena dilandasi egoentris, jika aku mencampakkan agama dan lebih suka mendalami-menjalani ajaran laku spiritual bangsa sendiri. Bukan karena di bangsa ini ada ajaran yang lebih baik, ada nabi yang lebih mulia atau ada kitab yang lebih tebal-sempurna. Tidak. Kekuatan utama ajaran spiritual bangsa kita, justru karena tidak menempatkan spiritual itu dalam bentuk kotak besi kaku-dogmatis dengan nama agama. Spiritual itu seperti air yang mengalir, spiritual yang terbuka, hidup dan terus berproses. Spiritual yang menekankan kesadaran, bahwa hubungn manusia dan Tuhannya itu bersifat mempribadi.
Inilah kecerdasan intelektual-spiritual bangsa kita, yang tidak pernah menciptakan agama (consensus kebenaran?) yang selalu berasumsi bahwa apa yang ada dalam agama itu selalu benar. Sekalipun itu hanya ilusi. Dan seperti dibuktikan dalam sejarah, agama adalah proyek kekuasaan. Komunikasipun dibetot dari rohnya, pelan-pelan demi consensus. Dengan bendera iman, semua jadi seperti rumus ilmu past yang harus diterima dengan taklid. Entah sadar atau tidak, disini telah terjadi pemberhalaan agama yang ditopang oleh kekuatan dan kekuasaan, baik dalam bentuk modal, tahta maupun senjata.
Jadi disini aku tidak ingin menuntut adanya perubahan ajaran agama. Disini aku hanya ingin MENYADARKAN kita semua, perlunya paradigm baru dalam memandang agama. Agama hanyalah alat yang juga sering dan bisa ketinggalan zaman. Seperti dalam sejarah gereja Khatolik misalanya, struktur masyarakat telah berubah dari masyarakat agraris menuju masyarakat industry, sementara ajaran gereja Khatolik masih berpegang pada system feodal-agraris. Baru dibawah Paus Leo XIII, gereja mencoba mengeluarkan ajaran social baru karena perubahan struktur masyarakat beserta implikasinya terhadap keadilan social.
Dan di zaman global-digital yang serba cair ini, menurut aku agama juga lagi-lagi terlambat bangun. Yang diwakili agamawan formal-ritualis yang otaknya masih feodal-tradisional; Spiritual hanya untuk mencari dan mempertahankan kekuasaan. Padahal ini zaman, komunikasilah yang banyak menyelesaikan masalah, bukannya kekuasaan. Sudah bukan zamannya saat ini sikap idiologis {baca; merasa benar sendiri} sikap yang berorentasi dakwah eksklusif, yang memandang keyakinan yang dianut orang lain sebagai salah dan harus ditaubatkan dari keyakinannya.
Memang diperlukan adanya paradigm baru dalam spiritual saat ini. Kata paradigma menjadi populair sejak Thomas Kuhn menerbitkan bukunya,  THE STRUCTURE OF SCIENTIFIC REVOLUTION.  Kata paradigm adalah semacam grundmodell (model dasar) yang digunakan untuk memandang dan merancang sesuatu. Jadi kata pardigma itu mengandung makna yang dinamis bahkan revolutif. Sudah bukan zamannya sekarang seorang spiritualis itu terjebak dalam pemikiran yang dogmatis-formalis. Kita harus pakai otak sebagai karunia Tuhan, dan tidak menghujamkan segalanya hanya pada apa kata kitab suci jika menemui masalah social di dunia ini. Jadi bagaimana membuat iman kita pada Tuhan itu berarti dan apa relevansi iman itu bagi masalah ketidak-adilan yang kita hadapi. Jadi spiritual justru harus bisa jadi pembebas dari tata-nilai membelenggu-dogmatis yang hanya akan membuat kita jadi manusia kerdil, bodoh dan sempit wawasan.
 Kita tidak mungkin akan bisa menghargai bangsa sendiri, sebelum kita bisa menghargai diri kita sendiri. Kita juga tidak mungkin akan bisa mengenal sejatinya Tuhan, sebelum kita bisa dan mau mengenal siapa sejatinya diri pribadi kita sendiri. Jadi memang perlu kita itu untuk bisa mengenal siapa diri kita itu. Dan itu tidak pernah diajarkan, bahkan ditentang oleh agama. Tahu kenapa? Karena jika kita bisa mengenal diri sendiri, kita akan jadi punya percaya diri. Dan jika kita bisa mengenal sejatinya Ilahi, sebagai alat, otomatis agama akan tidak laku lagi alias bangkrut. Dan hal seperti itu jelas tidak pernah diinginkan oleh mereka-mereka yang suka MEMBERHALAKAN AGAMA.Karena mereka bisa hidup karena jualan agama, bisa menjajah bangsa lain karena bendera agama, bisa berkuasa karena bersenjata agama.
Akan panjang sekali ceritanya jika kita kupas relasi antara agama dan kekuasaan itu.  Mungkin lebih baik kita mulai saja dari hal yang paling mendasar dan sederhana; yaitu jika kita mati kelak, kita juga harus berjalan sendiri. Kita tidak bisa lagi membawa dan hapal kitab suci, para nabi dan orang suci juga tidak mungkin bisa nemani kita lagi. Karena itu kita memang butuh punya kepercayaan diri dengan jalan mengenal sang diri pribadi, yang akan berujung pada pengenalan haqiqat Tuhan itu sendiri. Sebagai spiritualis, kita tentunya percaya, hanya Tuhanlah yang akan bisa jadi pebimbing sejati kita, baik di dunia ataupun di alam nanti. Dan hanya orang-orang yang mencintai Tuhan diatas rasa cintanya pada apapun termasuk agama, yang akan berani selalu merevolusi jiwanya setiap saat.
Sekarang semua kembali kepada  kita masing-masing, merasa perlukah kita perubahan  atau revolusi spiritual itu?
  •  
Top of Form

    •  
    • http://profile.ak.fbcdn.net/hprofile-ak-ash4/275742_100000305339212_722972788_q.jpg

Tidak ada komentar:

Posting Komentar