Senin, 15 Oktober 2012

SATRIO PININGIT, SIAPA ITU?

  • Dewasa ini, kita sedang mengalami die neue unubrsichlichkeit atau ketidak jelasan baru (Jurgen Habermas). Kita sama-sama tidak tahu, mengapa masalah terjadi dan bagaimana sesuatu itu bisa diatasi. Mengapa orang bisa berteriak Tuhan maha pengasih, sekaligus berkelakuan bengis? Mengapa kerusuhan massal mudah meledak, hanya karena hal-hal yang sangat sepele?. Mengapa nilai rupiah mendadak anjlok dan sebagainya. Dan dalam momentum-momentum besar, ketika terjadi krisis kepemimpinan atau saat rakyat merasa tertindas hidupnya, banyak orang suka menyebut dan mengharapkan hadirnya sang SATRIO  PININGIT!.
                Piningit (bahsa Jawa) artinya tersembunyi/misteri. Karena kemisteriusannya itu, maka aneka tafsirpun bermunculan mengenai satria yang satu ini. Dan yang paling banyak diyakini masyarakat, satria ini merujuk pada salah satu sosok atau tokoh. Tokoh suci, manusia ideal semacam nabi baru yang akan membawa/menuntun umat manusia kepada keadaan yang lebih baik?.
                Saya termasuk orang yang percaya, akan datangnya massa Satrio Piningit seperti yang tertulis di Jangka Jayabaya itu. Tapi menurut saya, Satrio Piningit itu tidak dalam bentuk sosok manusia, tapi dalam bentuk system atau tatanan baru yang lebih bersifat memanusiakan manusia. Karena jika aspirasi Satrio piningit itu dalam bentuk sosok manusia, itu akan menjebak dan menjerat kita pada pengkultusan nabi baru. Nabi baru yang harus diikuti ketauladanannya? Ajaran-ajarannyapun kemudian disusun sebagai kitab suci? Lalu disebar-luaskan layaknya agama?.
                Dalam suatu krisis yang gawat, memang biasa lahir seorang pemimpin yang komplek. Bukan hanya pemimpin politik, tapi juga seorang manejer kebersamaan sekaligus sebuah mercu-suar moral sekelas nabi.  Tapi realitas sejarah juga mengajarkan kepada kita, Agama demi agama turun ke bumi, tapi dosa toh tetap saja terus mengalir. Banyak orang percaya agama itu mulia, tapi sejarah toh ternyata tidak banyak mencatat adanya penguasa yang mulia. Banyak orang kagum dan menziarahi keindahan kuburan Saladin di Damaskus atau kuburan Richard Lionheart di Fontevraud, Prancis. Tapi tahukah anda, berapa ribu orang yang mati sia-sia tanpa kuburan demi perang konyol yang katanya suci itu? Pernahkah anda dengar kisah, Ingmar Bergman, dalam The Seventh Seal? Kisah tentang Antonius Blok yang pulang dari perang salib/suci, yang ditemui ternyata bukan orang-orang yang menjadi suci, justru yang ditemui hanyalah orang-orang yang ketakutan dan karena itu jadi bengis.
                Dengan kata lain, kekuasaan yang bersandar pada moralita/agama itu tidak memadai. Bahkan punya kekacoannya sendiri. Moralitas seorang pemimpin memang bisa punya kekuatan sebagai tauladan. Tapi hanya sampai disitu. Dan begitu sang nabi wafat, lihat apa yang terjadi dalam agama Islam misalnya. Masih satu agama saja pada saling bunuh, merasa paling benar dan rebutan kekuasaan begitu nabi Muhamad wafat.
                Jadi bagiku, orang yang mendambakan hadirnya Satro Piningit dalam ujud sosok manusia, hanyalah orang-orang yang sudah terjangkiti penyakit masyarakat modern yang cenderung suka mencari penyelesaian masalah secara instan. Kita itu tidak hanya punya problem moral, politik dan ekonomi. Tapi yang paling mendasar, kita itu punya problem pengetahuan. Karena tidak tahu, kita jadi mudah terjerumus dalam penyelesaian yang dangkal dan instan. Kebutaan pengetahuan itu, selain membuahkan pemahaman yang dangkal, sekaligus juga mencerminkan ketidak-mampuan kita untuk mengerti permasalahan MENDASAR  kita sendiri.
                 Di zaman digital-globalisasi saat ini, sejarah memang berubah secara drastic, cepat dan tidak terduga. Terjadi semacam lompatan kualitatif yang menyebabkan perubahan cultural secara global pula. Terjadi transformasi cultural yang menciptakan suatu realita baru. Banyak orang beranggapan,  kemajuan teknologi hanya menyebabkan dekandensi moral. Saya sendiri, termasuk orang yang optimis bahwa kita sedang menuju dunia baru. Dan yang diperlukan dalam dunia baru itu, bukanlah ajaran baru, agama baru atau datangnya Satrio Piningit dalam ujud manusia sebagai nabi baru. Tidak!.
                Yang diperlukan, bukanlah nabi baru, tapi keberanian kita untuk intropeksi diri. Mawas-diri dengan jujur. Dan mau menyelami lebih dalam agama masing-masing hingga bisa melihat apa yang disebut dengan relio perennis yaitu aspek-aspek abadi dalam agama.  Dan di dasar semua ajaran agama itu, yang akan diketemukan hanyalah satu dan sama; yaitu,  BAHWA TUHAN ITU MAHA TERSEMBUNYI, MAHA MISTERI, MAHA PININGIT!.
                Tuhan yang tidak bisa dimonoli atau diklaim milik nabi, golongan atau bangsa tertentu. Tuhan yang universal. Dan kita akan bisa melihat kesejatian Tuhan yang seperti itu, jika kita lebih dulu berani menanggalkan sikap dan benteng-benteng dogmatis yang sedemikian lama mengurung dan membutakan pengetahuan kita. Dan dari kesadaran/kepercayaan akan Tuhan Yang Maha Misteri itu, dari situ akan menumbuhkan diI jiwa kita sikap rendah hati, terbuka dan toleran dan menghargai proses pencarian yang terus-menerus.
                 Agama atau nabi baru tidak akan mungkin dapat mennyelesaikan masalah di zaman global-digital ini sendirian. Inovasi tidak datang dari agama. Inovasi terjadi karena dialog. Di zaman Satrio Piningit,  agama yang bersifat dogmatis-ritualis pasti akan kehilangan pamornya. Tapi bukan berarti agama akan kehilangan perannya sama sekali. Agama akan tetap punya peran, selama tidak berpegang pada arogansi lama dan menjauhkan diri dari nafsu intervensi.
                Dan tahukah anda? Inilah ajaran spiritual nenek-moyang bangsa kita yang luar-biasa sekaligus terlupakan. Ajaran spiritual yang tak pernah meletakkan Tuhan dalam kotak mati dogmatis-ritualis yang bernama AGAMA!, Tidak pernah mencipta-puja   berhala yang bernama AGAMA!. Ngelmu iku kelakone kanti laku. Spiritual itu hidup, mengalir terus seperti air. Spiritual yang terus berproses. Spiritual yang timbul dari suara kebenaran/tuntunan Allah yang berintikan penyadaran sendiri bukan tiruan dari dogma atau dogtrin belaka.
                Kita kenal filsafat Yunani, filsafat, Romawi, Filsafat Jerman, tapi filsafat bangsa sendiri kita tidak kenal? Bagaimana kita akan jadi bangsa besar? Kalau dengan kepribadian bangsanya sendiri kita tidak kenal. Kita memuja-muji kesempurnaan ajaran agama dari negeri seberang, seolah-olah Tuhan cuma bermukim disana dan milik mereka. Padahal Tuhan juga ada disini.  Dan kesempurnaan juga hanya milik Allah, bukan milik bangsa Arab atau yahudi. Bagaimana mungkin bangsa lain akan menghargai kita, kalau sebagai bangsa kita tidak punya karakter/percaya diri dan lebih suka membebek atau membeo belaka.
                 Jadi memang pantas dicuriagai sikap agamawan yang sok suci, sok tahu dan sok pasti itu. Menurut saya, kebanyakan agamawan saat ini, kelakuannya tidaklah lebih daripada seorang Marxis, yang suka menyombong; Bahwa segala sesuatu sudah ada jawabnya pada kami!. Hanya bedanya, yang Marxis menyombongkan  dealitika pemikiran kritisnya, sementara yang agamawan menyombongkan kesempurnaan agama/kitab sucinya yang bisa menjawab semua pertanyaan?. Karena kedua-duanya juga memberhalakan hal yang sama, yaitu materi, yang satu dalam bentuk pemikiran dan satunya dalam bentuk dogma.  Maka lihat saja kalau ketemu, keduanya pasti akan memperlihatkan sifat dasarnya yang sama pula’ Suka intervensi dan emosian. Suka melecehkan, berkelahi, bahkan berkelakuan bengis demi tuhannya ( dengan ’t’ kecil).
                Selain PEMBERHALAAN AGAMA, saat ini juga banyak orang yang MEMBERHALAKAN PEMIKIRANNYA. Filsafat modern telah menempatkan akal sebagai pusat dalam setiap subyek manusia. Pkiran dinobatkan sebagai satu-satunya penguasa yang berwenang sebagai penentu segala arah, cikal dan muasal segala gerak. Seorang Marxis berpandangan, bahwa yang ada atau menjadi asas cuma materi, dan apa yang dinamakan nyawa, roh atau Tuhan itu hanya tipuan angan-angan atau produk materi belaka.
                Seperti agamawan yang merasa menemukan kesempurnaan wajah tuhan dalam kitab suci. Ilmuwan Stephen hawking yang kondang sedunia itupun ingin bisa mencipta/temukan suatu teori yang sempurna (Agama pemikiran?). yang dapat dipakai semua orang untuk menjawab pertanyaan mengenai, mengapa kita dan jagat-raya ini ada. Kesimpulan beliau, jika teori macam itu bisa diketemukan, itulah kemenangan terakhir manusia, karena berarti kita telah tahu pikiran Tuhan!. Luar-biasa! Sama-sekali tidak ada bedanya khan kesombongan orang Marxis dan agamawan dogamatis-ritualis itu?.
                Kecerdasan, kreatifitas, dan pemikiran maju, bagiku itu hanyalah semacam mujijat  karunia Tuhan yang turun di zaman digital ini. Dan seorang spiritualis tidak akan memuja mujijat, tapi memuja yang memberi mujijat, yaitu Tuhan YME. Siapa dikaruniai mujijat oleh Allah, memang akan menjadi semacam dewa diantara sesamanya. Dan hanya orang yang masih mempercayai adanya Tuhan,  yang akan terhindar dari kesombongan. Kita boleh saja punya hasrat melakukan perubahan social secara radikal, tapi tetap perlu demensi spiritual  (kerendahan hati) itu agar tidak terjatuh dalam Totalitarianisme! Baik atas nama agama atau demi kepentingan orang banyak.
                Nenek moyang bangsa kita mengajarkan, Bahwa kesejatian Tuhan itu tidak bisa didekat/pahami dengan kecerdasan otak. Otak itu terbatas. Tuhan tidak pula bisa didekati/pahami dengan kesombongan penguasaan agama secara sempurna. Kesejatian Tuhan hanya bisa dipahami/dekati dengan ketulusan, kemurnian, dan kesucian jiwa.  Maka jika Deskrates katakan, Aku berfikir maka aku ada. Orang beragamapun juga sama; Aku beragama maka aku ada. Seorang spiritualis justru akan mengatakan,  AKU BERTUHAN MAKA AKU TIDAK ADA (luluh egonya) yang ada hanyalah Allah.
                Jadi bagiku, massa satrio Piningit adalah massa ketika kita kembali menggali ajaran-ajaran luhur bangsa kita sendiri. Massa ketika kecerdasan intelektual berpadu dengan kearifan spiritual, yang akan bermuara pada pencapaian haqiqat kebahagiaan dan kesejatian hidup di dunia. Massa ketika orang tidak lagi mempermasalahkan soal suku, ras, agama, gender, orientasi sexsual ataupun status social ekonomi, yang penting orang itu baik, jujur, terbuka, toleran, dan punya empati pada penderitaan sesama.
                 Jadi bagiku, satrio Piningit itu tidaklah merujuk pada salah satu tokoh atau orang. Kalau toh kita mempercayai, Satrio piningit itu dalam ujud sosok manusia yang baik, mengapa tidak kita semua berlomba-lomba untuk menjadi Satrio Piningit? Berlomba-lomba menjadi orang baik tanpa harus mengaku-aku sebagai satrio Piningit! Dan hal seperti ini pula yang aku harapkan/percaya: Bahwa massa satrio piningit itu akan datang karena dari adanya koalisi besar dan murni dari seluruh komponen bangsa yang bersifat lintas sektoral, lintas agama, lintas golongan, lintas ras dan etnik. Koalisinya orang-orang yang mencintai sejatinya Tuhan (terserah apa anda memberi nama) diatas rasa cintanya terhadap harta, tahta, agama, nama besar dan sebagainya. Koalisinya orang-orang yang mendapat tuntunan dari Allah. Koalisinya orang-orang yang sadar dan percaya, bahwa Tuhan itu maha tak terbatas, maha misteri, maha piningit!.
                 

1 komentar:

  1. salam damai selalu, Bung Edrus..

    sendy setuju sekali dengan pemaparan tulisan di atas..

    ,, (^_^) ,,

    BalasHapus