Selasa, 09 Oktober 2012

SPIRITUAL ORANG BINGUNG

  • Aku tak punya agama
    Tapi beriman
    Seperti Adam telanjang di tengah padang
    Sebelum tanah disekat-sekat dan rumah mewah jadi kebanggaan
    Agama mempesonaku memang
    Tapi keimanan membebaskanku

    Dengan gaya humornya yang khas, dai sejuta umat, almarhum bapak KH. Zainudin MZ, dalam  salah satu kaset dakwahnya pernah menyentil soal  orang-orang yang tak beragama. Dalam kotbahnya kurang-lebih  beliau katakan begini, “Orang ini (orang-orang tak beragama) memandang agama tidaklah lebih dari baju dan celana. Dan karena menurut pandangannya, semua baju dan celana yang dilihatnya itu semua sama baik dan benarnya, orang ini jadi bingung sendiri. Karena kebingungannya itulah, akhirnya orang ini malah pilih tak pakai baju dan celana, alias telanjang!”
    Semua yang dengar kotbah itupun langsung tertawa, tak terkecuali saya. Tapi saya tertawanya cuma setengah, sebab apa yang dikotbahkan bang Zainudin diatas, menurut saya kebenarannya juga cuma setengah.
    Pendapat bang Zainudin yang mengatakan orang-orang tak beragama itu sebagai orang-orang yang telanjang, itu memang benar adanya. Dan bagi saya, pernyataan itu justru saya rasakan sebagai sebuah sanjungan yang membuat besar kepala saya saja. Sebab bukankah semua agama pada dasarnya mengajarkan akan haqiqat diri manusia yang sesungguhnya memang telanjang? La haula quata illa billah {tiada daya dan tiada kekuatan kecuali dari Allah}. Bang Zainudin sendiri ketika pertama kali dilahirkan tentu juga tidak dibawa-pakaiin Tuhan,  kopiah, baju koko dan sarung khan? Tapi terlahir telanjang. Begitupun dengan baju/jubah  yang pongah-mahal yang sering jadi pertanda status social dan tingkat kesucian moral kita? Tidakkah pada saat-saat mempribadi, baju/jubah kebanggaan kita itu kita tanggalkan juga?
    Yesus juga pernah berkotbah, ”Manusia tidak akan pernah bisa masuk Surga, jika tidak lebih dulu bisa menjelmakan diri jadi anak kecil.” Anak kecil dimaksud, bukankah artinya polos, jujur, tulus atau telanjang? Budha juga mengajarkan, bagaimana mencapai kebahagiaan Nirwana dengan jalan mengatasi ruang-jiwanya dari himpitan benda-benda dan hasrat diri, melalui jalan mengosongkan diri. Telanjang. Ilmu tasawuf yang oleh imam Al-Ghazali dikatakan sebagai ilmu yang tertinggi, begitu kita selami lebih dalam itu ilmu, bukankah disitupun pada akhirnya kita hanya akan ditelanjangi? Dikembalikan keasal-muasal kita yang seperti bayi suci yang terlahir telanjang.
    Jadi entah sadar atau tidak, dalam hal ini secara tidak langsung bang Zainudin sebenarnya telah menyanjung orang-orang tak beragama itu sebagai orang-orang yang telah bisa menempatkan dirinya sebagai hamba Tuhan yang sejati. Orang-orang telanjang yang berarti orang-orang yang telah bisa dan berani bersikap laku jujur dan tulus. Keberanian bertelanjang diri yang dalam orang beragama hanya masih jadi impian serta retorika belaka? Maka disini saya hanya bisa berdo’a, moga ketelanjang diri/kejujuran itu masih jadi mata uang yang berlaku dia agama manapun.
    Dan ini pendapat bang Zainudin yang saya tidak setuju, yang mengatakan orang-orang tak beragama itu sebagai orang yang “bingung”. Untuk mudahnya, saya buat gambaran ketika zaman orde baru dulu. Pada saat itu ada dua parpol dan satu golongan, dan kita harus memilih satu diantara ketiga pilihan legal-formal yang ada itu. Sementara diluar ketiga pilihan itu ada partai liar atau golput, orang bilang. Pertanyaannya disini, benarkah golput itu partainya orang bingung? Bingung karena melihat ketiga pilihan diatas itu semua sama baik dan benarnya? Ataukah justru sebaliknya, orang-orang masuk golput itu sebagai sebuah ekspresi kekecewaan dan ketidak puasan dahaga berpolitik mereka dengan ketiga pilihan legal-formal yang ada? Dengan kata lain, orang-orang golput itu sebenarnya orang-orang yang kritis.
    Jadi ketika kita menyorot tentang orang-orang yang tak beragama, disitu memang ada dua kemungkinan. Pertama, orang tak beragama karena orang itu memang belum kenal atau tahu agama.  Kedua, orang tak beragama karena merasa dahaga rohaninya tak terpuaskan oleh agama-agama yang ada, Seperti fenomena yang terjadi di Eropa dan Amerika dengan apa yang dinamai gerakan new age. Mereka yang mengikuti gerakan ini,  umumnya orang-orang dari kalangan menengah keatas. Jadi secara ekonomi dan intelektual mereka adalah orang-orang yang berkecukupan. Jadi untuk mendapatkan kitab suci atau pengetahuan agama, bukanlah hal yang sulit bagi mereka. Tapi karena agama-agama formal-terorganisasi tidak bisa memenuhi akan dahaga rohaninya dan dirasa-pandang sering kurang toleran dengan keyakinan-keyakina diluarnya. Sebagai konsekwensinya, gerakan new age menjauh dari agama-agama formal, kearah agama-agama timur, agama-agama pribumi Amerika atau keyakinan-keyakinan/kepercayaan yang lebih feminis.
    Kembali kesoal orang-orang yang tak beragama. Seperti halnya golput di zaman orde-baru atau gerakan new age di Eropa atau Amerika, itu juga suatu pilihan yang didalamnya juga ada konpensasinya yang menuntut tanggung-jawab dan keberanian bersikap. Apalagi disini mengaku sebagai orang yang tak beragama, tidak masuk mainstream, sangat berat itu tanggung-jawab dan beban mental yang harus diembannya. Salah-salah bisa dituduh kafir, atheis, abangan, klenik, paranormal, PKI dan aneka tuduhan konyol dan ngawur lainnya.
    Jadi memang suatu hal yang mustahil, jika ada orang bingung kok punya keberanian bertangung-jawab dan bersikap sebagai dirinya sendiri. Sebab orang bingung itu memang orang yang tidak tahu dan berani jadi dirinya sendiri. Orang bingung itu orang yang ketakutan membuka dan mengakui realita yang ada dalam diri pribadi dan masyarakatnya. Orang bingung itu orang yang selalu mencari patokan-patokan yang pasti. Kemana angin bertiup, kesitu orang bingung menuju. Orang bingung itu bukan burung bersayap yang bebas terbang kemana, tapi kuda pedati. Dan begitu orang berwibawa/kharismatik datang, orang bingung itu paling mudah untuk dikendalikan.
     Diperintah apapun orang bingung tidak akan pernah mempertanyakan apalagi berani membentah. Sekalipun perintah itu hanya bersifat simbolik belaka, seperti panjangkan jenggot dan pakai jubah. Orang bingung pasti akan dengan takzim akan mengikuti itu perintah. Karena pada dasarnya, orang bingung itu memang orang yang mengalami semacam krisis identitas. Mereka butuh identitas, eksistensinya ingin diakui. Maka pakai baju-celana atau simbol-simbol kesucian agamapun menjadi hal yang dianggap sangat penting bagi mereka. Karena corak-warna baju-celana yang mereka kenakan itu akan menunjukkan eksistensinya.
    Orang bingung memang akan menemukan semacam ketentraman disitu. Karena terlepas dari keharusan bersikap dan berfikir sendiri. Jadi sikap sectarian dan fanatisme dalam beragama itupun sebenarnya salah satu dari cirri-ciri pribadi yang bingung dalam menghadapi kehidupan bermasyarakat yang hiruk-pikuk, pluralis dan saling mempengaruhi ini. Sebagai konsekwensi dari kebingungannya itu, akhirnya orang-orang inipun jadi bersikap eksklusif. Jika hal yang demikian ini tidak disertai adanya kesadaran analisa diri dan keberanian berfikir, memang biasa menjerumuskan seseorang pada sikap-sikap yang ekstrem. Pandanganya jadi simplistic, membeku, dogmatis dan tak punya lagi kerendahan hati, yang ada justru rendah diri. Dan sudah menjadi pemandangan yang umum, untuk menutupi rasa rendah diri atau keminderannya itu, orang  lalu suka mengagungkan budaya kekerasan dan  bersikap over. Berani mati, mengangap diri paling suci, benar dan sempurna sendiri. Sementara diluar  diri dan kelompoknya dipandang  hanyalah dunia yang sudah rusak tempat orang-orang sesat beranak-pinak. Sampai titik ini, akhirnya religiusitasnya hanyalah lebih banyak didorong oleh semangat berkelompok dan kekecutan hati andai harus kehilangajn arti saja. Takut jadi manusia telanjang!
    Dari uraian diatas, disini dapat kita tarik suatu kesimpulan; Pada siapakah sebenarnya kata ”BINGUNG”  itu lebih pantas untuk kita kalungkan?

    Apa yang mesti aku lakukan. O, Muslim?
    Aku tak mengenal diriku sendiri
    Aku bukan Kristen, bukan Yahudi, bukan Gabar, bukan Muslim

    Begitulah tulis sufi Muslim besar Jallaludin Rumi, dalam sebuah sajaknya. Dan benarkah sajak diatas mencerminkan kebingungan penulisnya? Ataukah justru sebaliknya menunjukkan akan keluasan wawasan dan kedalaman pemahamannya tentang spiritualitas. Dalam bahasa verbalnya mungkin beliau ingin katakan,”Tak masalah orang itu mau pakai baju-celana merah, putih atau hitam, yang penting orang itu punya ahklak/iman.”

    Hatiku telah mampu untuk setiap bentuk:
    Dialah padang bagi kijang dan sebuah biara bagi Nasrani
    Dialah pura bagi berhal dan Ka’abah bagi berhaji
    Dialah lembar dari Taurat dan kitab Qur’an yang suci

    Itulah sepotong sajak dalam “Tarjumah Al-Ashwag” karya sufi Muslim termasyhur, Ibn’Arabi. Yang menyatakan diri sebagai pengikut agama Cinta dan Kasih: “Kemanapun unta-unta cinta itu pergi, kesana pulalah agama dan imanku lekat.”
    Benarkah sajak Ibn’Arabi diatas juga hanya menunjukkan akan kebingungan penulisnya yang tak jelas apa agamanya? Ataukah justru sebaliknya, menunjukkan kecerdasan dan kebrlianan spiritual penulisnya?  Dalam bahasa verbalnya, mungkin beliau ingin katakan, “komitmen saya pada isi, bukan pada baju dan celana!’
    Dengan kata lain, baik Rumi maupun Ibn’Arabi diatas sebenarnya adalah orang-orang besar yang telah bisa mendekati kebenaran hidup yang hakiki, yang didekatinya dengan kepribadian yang menyeluruh, seimbang dan harmonis. Orang-orang yang telah bisa keluar dari kepompong sutra emas agama dan terbang sebagai kupu-kupu indah di taman kemanusian yang utuh.
    Dan orang-orang yang telah bisa beriman dengan melampaui atau keluar kotak agama. Orang-orang yang telah bisa lebih mencintai Tuhan daripada agama, Ukhuwah/kerukuran merekapun jadinya bukan lagi sekedar ukhuwah Islamiyah lagi. Hanya rukun pada sesama Muslim saja. Tapi ukhuwah mereka sudah setingkat lebih tinggi dan luas, yaitu ukhuwah imaniah atau ukhuwah basyariah. Rukun dengan sesama orang beriman dan sesama umat manusia.
Facebook © 2012 · Bahasa Indonesia
Tentang · Buat Iklan · Buat Halama

2 komentar:

  1. salam damai selalu..

    sepertinya sendy pernah mengalami sebagian kecil apa yang Bung Erdus sampaikan di atas..
    dan akhirnya sekitar 2 tahun yll.. sendy memilih telanjang dan membuka topeng.. dan lebih ekstrim lagi, kebebasan yang sebenarnya baru sendy pahami dan berani lakukan sekitar 6 bulan yang lalu..

    dan justru saat terkungkung semua dogma, benar2 menjdikan diri ini bingung, tiap detik tiap saat, hanya membandingkan diri dgn yg lain. Ternyata hanya membuat diri semakin munafik..
    dan sekrng, semoga kebebasan menyelimuti jiwa raga sendy selamanya...

    thanks alot sudah berbagi tulisan yang indah ini..

    ,, (^_^) ,,

    BalasHapus
  2. Bolehkan tulisan Kang Pemanti Jenar ini saya share via FB ? Tulisan yang mencerahkan. Maturnuwun

    BalasHapus