Spiritual yang baik itu tidak memberi petunjuk, perintah, apalagi
mengancam dan menghakimi. Spiritual yang terbaik itu hanya akan menumbuhkan
potensi yang baik dalam diri seseorang. Itulah salah satu kesimpulan yang aku
dapat, setelah belajar meditasi pada seorang petani sederhana yang sangat
inspiratif bagiku dan nyentrik menurut banyak orang.
Kenyentrikan pertama, sebagai petani beliau menolak menggunakan
traktor (symbol manusia modern?) yang
biasa di iklankan di televise bisa menambah produktivitas pertanian?. Selain
mahal, traktor jika rusak berarti biyaya, karena harus masuk bengkel. Ceceran
oli traktor juga merusak tanah. Maka pak tani inipun lebih suka tetap
menggunakan ternak sapinya untuk mengolah tanahnya. Selain bisa beranak,
kotoran sapi juga bias jadi pupuk.
Pak tani ini
sebenarnya hanya melakukan hal biasa yang sudah dilakukan turun-temurun. Tapi
di zaman kapitalisme global ini, sepertinya memang ingin mendesakkan suatu pola
umum, dimana semua orang harus mengikuti tren. Zamannya petani pakai traktor,
semua petani juga harus pakai traktor?. Zamannya orang pakai bahan kimia, semua
harus pakai bahan kimia?. Zamannya orang beragama, semua juga harus beragama
pula?. Karena tidak ikut mainstream, apa yang sebenarnya hal biasa dilakukan
pak tani itu, jadi seperti pengertian yang menggugat, penuh hipokrasi,
membingungkan dan dipersoalkan.
Yah, banyak orang mempersoalkan dan mengatakan pak tani
ini penganut animisme yang sesat. Ketika hal itu aku tanyakan, beliau hanya
tertawa dan ngomong, “Emangnya kenapa kalau penganut keyakinan animisme?. Bagiku,
keyakinan itu tidak butuh cap, merk atau pengakuan orang lain. Keyakinan itu ada disini (pak tani tunjuk
hatinya), kita hanya perlu jujur, uklas
dn menjalani apa yang jadi kehendakNya. Selama keyakinan kita itu tidak
mengganggu dan merugikan orang lain, jika kau memang merasa menemukan kebahagiaan
karena menyembah batu. Ya, sembah saja batu itu. Tidak masalah buatku. Apa
bedanya kita sembah Allah, dewa-dewa, kitab suci, orang suci, samudera, gunung
dan sebagainya?. Tidak ada bedanya!
Ekalaya berguru pada PATUNG pendeta Durna,
ternyata bisa lebih mahir memanah daripada Arjuna yang LANGSUNG berguru
pada pendeta Durna. Dan Kurawa yang juga berguru LANGSUNG pada
pendeta Durna, ternyata juga tidak jadi
manusia luhur budi berjiwa kesatria seperti Arjuna. Coba renungkan, itu artinya
apa?”
Yah, saat ini memang kebanyakan orang sudah merasa bangga
karena beragama. Mereka lupa, bahwa agama itu bukan realita. Agama itu utopia.
Dan nilai seorang spiritualis bukanlah pada utopia, agamanya, nabinya, kitab
sucinya, atau gurunya. Tapi pada sikap
hidup, tingkah-laku dan perbuatannya sehari-hari, nilai seorang spiritualis
itu. Apa artinya suka terik-teriak mengagung-agungkan kebesaran nama llah dan
mengaku penganut agama yang suci, kalau kelakuannya seperti Kurawa yang
ekspansif, arogan, fanatic, licik, pemuja kekerasan dan suka menumpahkan darah sesama.
Yah, memang masih baikkan jadi Ekalaya yang menyembah patung, tapi punya
kerendahan hati dan sikap bermartabat. Selalu jujur, terbuka, toleran dan bisa merasakan
kebahagiaan dengan hidupnya.
Pak tani yang tidak mau pakai traktor dan hanya tertawa
dicap sebagai penganut animism. Rasanya itu memang bukan sikap yang hampa,
sebab jika ada yang dipilih disitu, maka itu adalah pilihan yang mendasar, yaitu;
KEBERANIAN BERPIKIR BEBAS!. Bukan
sekedar berani menghadapi pikiran lawan yang dianggap bebal. Tapi berani pula
menghadapi kesimpulan kawan sepaham dan diri kita sendiri yang sering-kali
merasa paling pintar dan benar sendiri.
Dan lewat meditasilah, pak tani ini belajar mawas-diri.
Meditasi yang sederhana tapi dalam sekali, cara meditasi yang teramat mudah
diucapkan tapi butuh kesabaran yang luar-biasa untuk bias menjalanninya.
Meditasi yang hanya dengan berzdikir menyebut nama sang pencipta semesta, dalam
kepasrahan yang totalitas pada segala kehendakNya. Persis yang diajarkan,
Imanuel, “BIARLAH SEMUA TERJADI MENURUT KEHENDAKNYA, BUKAN MENURUT KEHENDAKKU”.
Meditasi yang
hanya berbekal ketulusan, kemurnian dan keiklasan jiwa. Tanpa rapalan doa dan pamrih
macam-macam. Jadi tidak bermeditasi dengan pamrih, agar sakti, dapat wahyu,
kejayaan, dapat membuka cakra, bias melihat alam ghoib dan sebagainya. Tidak!
Tapi meditasi untuk mendekatkan diri pada Illahi dan lebih bias mengenal akan
kesejatian dirinya. Belajar berani dan bias
melihat kenyataan diri yang memang tidak sempurna. Dan ketidak sempurnaan itu
bukan jadi alas an untuk terus-menerus menghalalkan kerakusan dan keserakahan.
Justru kesadaran akan ketidak sempurnaan diri itu yang jadi alas an kita untuk
bersedia ditegur, mengerti rasa malu dan dosa. Meditasi yang melembutkan ego
diri, meditasi yang akan membuat rendah hati, bukannya jumawa diri, meditasi
yang akan membuat bisa berperasaan, bukannya jadi berperasaan bisa!.
Dan laku meditasi, penghayatan langsung, pengetahuan
intuitif dari pak tani itu bukanlah sesuatu yang ghoib, aneh atau tidak masuk
akal. Sebab intuisilah sebenarnya yang mendasari pengenalan laku hidupnya
sehari-hari. Laku asketisisme (asceticism) dan meditasi itu hanya seperti
membangkitkan kembali naluri-naluri primitive yang cenderung melemah, bahkan
mungkin sudah mati dalam diri manusia modern. Olah batin itu semacam program
revitalisasi rasa. Hingga tiap gerak tubuh kita sehari-hari semua diyakini
adalah ibadah. Waktu duduk, berjalan, baring, bekerja, tidur, semua digunakan
sebagai sarana untuk memahami identitas diri, daya hidup dan pengenalan haqiqat
kesejatian Tuhan.
Jadi bukan sesuatu yang ajaib, bila pak tani ini bisa mendengar
kotbah Allah hanya lewat daun yang berguguran. Bukan berarti sakti, bila bisa merasakan
kehadiran Allah lewat segala ciptaaNya. Dan mampu menerjemahkan bahasa alam
lewat isyarat alam. Kenapa banjir gampang datang dan air mudah meluap
kemana-mana?. Karena di hulu, dengan serakahnya hutan digunduli dan terjadi penyempitan/pedangkalan
sungai karena sampah dan tanah resapan
telah jadi permadani beton.
Di zaman modern ini, kenapa banjir kebencian
mudah datang dan amuk massa mudah meluap di mana-mana?. BELAJARLAH PADA ALAM!.
Jawabnya sama. Karena di hulu yang ada hanya keserakahan! Dengan rakus dan
serakahnya orang melahap semua isi ajaran agama, dilibas-makan habis semua jadi
hapalan di luar kepala. Tanpa sadar, dengan hapal kitab suci, justru egonya
jadi setinggi langit. Merasa telah suci, benar sendiri dan paling dekat Illahi.
Padahal ketika kita beragama hanya berhenti pada penghapalan masalah hukum dan
peraturan tingkah laku (syare’at/normative) semata. Dan melupakan pengolahan
jiwa/laku batin, yang menyebabkan tumpul rasa terhadap sekitar. Itu artinya
telah terjadi pendangkalan Agama/spiritual. Pinjam istilahnya Mangkunegoro IV,
dalam bukunya WEDHATAMA , orang beragama seperti itu, hanyalah
spiritualis pongah yang pintar berteori, tapi tidak paham bahwa, NGELMU IKU
KELAKONE KANTI LAKU!.
Karena diawali dengan keserakahan. Elan atau semangat
yang menggebu-gebu dari hulu itu, ketika sampai/bersinggungan dengan realita
kehidupan yang penuh sampah. Karena
KEDANGKALAN DAN KESEMPITAN agama/spiritualnya, orang macam ini hanya
akan jadi dua jenis manusia yang sama-sama busuknya. 1. Jadi manusia fanatic,
tertutup, sok suci, merasa benar sendiri dan menganggap orang diluar
golongannya hanyalah sampah-kafir yang pantas untuk dibinasakan. 2. Ikut-ikutan
jadi manusia sampah, dengan tetap
bertudung kesucian agama.
Maka kita tidak perlu heran lagi, jika melihat ada orang
suka berteriak-teriak menyebut kebesaran nama Allah, sambil mengacung-acungkan
pedang atau pentungan untuk menakut-nakuti mereka-mereka yang tidak sepaham
dengan mereka. Kita juga tidak perlu heran, jika ternyata di kementrian agama
korupsi merajalela, bahkan pengadaan kitab sucipun di korupsi juga. BEGITULAH
JIWA YANG TAK PERNAH DI DIDIK MENGENAL TUHANNYA. Spiritual itu memang bukan
soal pinta-pintaran kotbah atau banyak-banyakkan menghapal kitab.
Apa yang kita lakukan, itulah cerminan dari batin kita.
Dan pak tani yang rndah hati diatas
tidak merasa perlu berlagak. Hanya orang rendah diri atau minder yang suka
berlebihan berlagak! Sok suci, merasa benar sendiri dan suka ngotot dengan
prinsip tertentu. Bagi pak tani, spiritual itu masalah pribadi dan urusan ketulasan hati yang tak perlu
dipamerkan. Spiritual itu sesuatu yang intim dengan sekitar dan kesehariannya. Jadi
bagian dari nafas dan hidupnya tiap detik untuk bias selalu ELING. Spiritual itu hanya seperti petani yang
mengolah tanah, memilih-milah benih yang bagus,
menyemai di lahan yang terolah dengan benar, di pupuk, disiram, dirawat
dan kelak akan menuai hasilnya. Yang kesemuanya itu dilakukan dengan penuh
kesabaran keiklasan dan kecintaan.
Spiritual yang sangat sederhana, tapi indah dan dalam.
Menentramkan, sekaligus membebaskan. Maka, jika ada orang yang mencintai dan menghormati sang Maha Pencipta
yang di implementasikan dalam bentuk praktek mencintai dan menghormati alam
semesta itu di cap penganut ANIMISME. Atau
jika ada orang meyakini Roh/suara Allah itu ada pada segala ciptaanNya, baik
dalam bentuk mahkluk hidup atau benda mati, keyakinan yang seperti itu
dikategorikan keyakinan ANIMISME. Maka dengan senang hati, saya akan mengisi
kolom agama di KTP saya dengan; ANIMISME!