Diantara manusia, hanya pendeta, penyair dan prajurit
yang agung………………………..Lainnya, hanya bagus buat dicambuk (Charles Baudelaire,
dalam Mon Coeur mis a nu}.
Agung? Saya tahu betul, betapa omong-kosongnya itu. Menurut definisiku,
keagungan seseorang itu tidak terletak pada profesi, jabatan, garis keturunan,
kekayaan, ataupun dalam kata dan pemikirannya. Keagungan seseorang itu terletak
pada kebesaran jiwanya, bukan pada kecerdasan otaknya. Manusia agung itu
manusia yang tidak ingin menguasai dan dikuasai. Manusia agung sejati tidak
pernah mau diagung-agungkan. Tidak pula pernah berhasrat meletakkan
pandangannya yang bijaksana pada pribadinya. Manusia agung adalah manusia yang bias
mengatasi ruang di jiwanya dari himpitan benda-benda, karena dia menghendaki
suatu kebebebasan yang lebih punya arti. Manusia agung adalah manusia yang bias
hidup bahagia sebagai dirinya sendiri apa-adanya. Manusia agung adalah manusia
yang bekerja untuk akhirat, seolah ia akan mati esok hari. Dan bekerja untuk
dunia, seolah ia akan hidup untuk selama-lamanya, tapi tidak dengan “keserakahan”
untuk dirinya sendiri.
Bicara tentang keserakahan, Michael Maccoby, dalam
bukunya The Gamesmen, berkisah dengan bagus tentang para eksekutif dan manejer
pada perusahaan-perusahaan besar di Amerika yang bergelut dalam rimba bisnis
dengan idiologi jugle fighter. Dalam hidup dan kerjanya yang ada hanya
memakan atau dimakan, merontokkan atau dirontokkan, siapa yang tidak kuat akan
binasa (Darwinisme). Ini buku memang berisi kisah orang-orang jenius yang
berhasil menumpuk materi. Dengan kecerdasannya, memakan perusahaan-perusahaan
kecil dengan sekali telan. Tapi ironisnya, disisi lain ini buku juga berkisah
tentang cinta yang layu dan hati yang beku. Dalam kesuksessan materi, ternyata
kasih-sayang, idialisme, kepekaan hati mereka tumpul. Mereka sangat inovatif
dalam teknik baru dibidang industry dan keuangan- asal meningkatkan laba. Tak
peduli hubungan dengan bisnis hanya merupakan cerita tentan manipulasi, rayuan
dan penghianatan. Mereka adalah para egomaniak dan megalomaniak yang siap
menghalalkan segala cara untuk mendapatkan apa yang diinginkannya.
The Gamesmen, adalah kisah para raja Midas modern yang
diberi mujijat (kecerdasan lebih) oleh Tuhan, hingga apapun yang disentuhnya
akan berubah menjadi emas. Sampai suatu saat sang raja mencium anak
kesayangannya, barulah dia tahu arti keserakahan. Ada proses
penghancuran/pembusukan dalam keserakahan, dan itu bukan orang lain, tapi dalam
diri kita sendiri dan orang orang disekitar kita yang akan jadi korbannya.
Bahagiakah raja Midas dengan hidupnya?
Idialisme tanpa pijakan realitas menjadikan orang pemimpi
sekaligus pembohong. Sedang realism tanpa nilai-nilai idial, akan menjadikan
orang hidup tanpa kerendahan hati dan martabat.
Hidup ini singkat.
Manusia juga terdiri dari daging dan roh, kesadaran itulah yang mendorong saya
mencari hal-hal yang sifatnya spiritualistic. Dan beruntung, saya pernah
bertemu dengan seorang petani tua sederhana, tapi masuk dalam definisiku
sebagai manusia agung. Pak tani ini gaptek, jadi secara teoritis aku merasa
lebih pintar daripada beliau> Di zaman digital ini, adakah kitab suci yang
lebih sempurna/lengkap dari kitab Google?. Tinggal klik, semua tanya terjawab. Tapi spiritual bukanlah soal pintar-pintaran
kotbah teori atau banyak-banyakkan pengetahuan. Masalah utamanya adalah; Laku
spiritual aku itu bikin hidup aku bahagia tidak?. Lahir-bathin aku jadi tentram
atau tidak? Mengajari aku untuk mengenal dan jadi dirik aku sendiri atau
tidak?.
Jujur, aku merasa teknologi seringkali terasa sebagai
jebakan. Kian lama kian rumit dan mahal. Apalagi kita hanya sebagai pembeli
bukan pembuat. Kita jadi ketergantungan/kecanduan. Kesimpulannya: Manusia
digital yang berkitab Google ataupun orang beragama yang berkitab suci,
ujung-ujungnya sama juga, hanya jadi manusia pongah yang pintar berteori tapi
hampa jiwanya. Dengan bendera ilmu dan iman, semua jadi seperti rumus ilmu
pasti, semua diterima dengan taklid. Tingggal klik atau buka kitab, semua Tanya
terjawab?. Spiritual yang instan, enak memang. Tapi betapa dangkalnya spiritual
macam itu!.
Dan hal-hal yang dangkal dan instan itu yang kini tengah
laku di pasaran. Lihat di toko buku, buku-buku yang laris terjual adalah
buku-buku panduan untuk bisa jadi spiritualis dalam semalam, cara cepat kaya
dalam sekejap dan sebagainya. Bahkan ada agamawan yang ngasih petunjuk cara
cepat masuk surga dan mengawini para bidadari secara instan dengan cara
meledakkan diri. Tidak ketinggalan para dukun dan paranormal pasang iklan
menjual hal yang sama, Tidak perlu puasa atau lakukan ritual yang berat-berat,
asal ada uang anda akan bisa jadi sakti mandraguna dalam semalam. Dan itu semua
tidak ada yang salah, karena ini memang zaman pragmatisme, dimana segalanya
serba diukur dari capaian materi.
Akupun dulu pernah juga terjebak cinta dan pemujaan pada
hal-hal yang bersifat instan dan dangkal seperti itu. Sampai aku bertemu pak
tani tua sederhana yang aku lihat sedemikian tenang hidupnya tapi pada dasarnya
riang. Kepalanya yang senantiasa tegak, seakan sikap yoga yang telah menyatu
dengan dirinya. Sekalipun tak pernah kudengar beliau bicara ayat, tapi
kurasakan benar kehangatan rohaninya. Padanyalah akhirnya ku belajar spiritual
dari sudut yang lebih sederhana, mempribadi dan jujur. Bukan dari cara pandang
mainstream yang selalu bersifat massal, instan dan sering bertunpu pada
perhitungan untung-rugi atau alku tidak laku (dagang).
Meskipun aku belajar padanya, pak
tani itu tak pernah mau aku panggil guru. Beliau lebih suka dianggap sebagai
teman dialog. Ada proses sharing, berbagi, belajar dan mengajar. Kata beliau, “Kita
semua ini sejatinya sama, hanya murid yang masih sama-sama belajar dan berguru
pada sang guru sejati, yaitu Tuhan YME”.
Karena bagi beliau spiritual itu bukan dagangan, penampilan beliau juga
apa adanya seperti umumnya petani. Tak pernah berjubah atau berlagak sok suci
seperti kebanyakan spiritualis/agamawan yang suka kotbah tentang
keindahan/keidealan kehidupan akhirat dan sepertinya menajiskan kehidupan
duniawi. Tapi ironisnya, orang-orang yang lagaknya seperti tidak doyan
kehidupan duniawi itu, hidupnya sendiri lebih banyak ditopang dari dana yang
dihimpun dari sumbangan umat!!!.
Pak tani ini kalibernya menyumbang, bukan hidup dari sumbangan umat.
Beliau memang bukan orang miskin (paling tidak secara spiritual). Dan menurut
beliau, memang tidak masalah spiritualis itu hidup dalam kemewahan, selama
tidak terpenjara olehnya, beliau tidak pernah mempertentangkan ide dan materi.
Tapi mendamaikan, menyatukan sebagai sarana menuju takwa dan penyerahan diri
yang lebih total pada Tuhan. Segala gebyar harta duniawi, baginya hanyalah
alat, sarana, satu jalan untk memperluas kemungkinan. Jadi bukan tujuan.
Banyak sekali pelajaran kebajikan hidup yang aku peroleh dari beliau.
Tapi intinya, AKU HARUS JADI DIRIKU SENDIRI!. Mengidolakan seseorang itu tidak
jelek, tapi kalau alu lebih suka percaya pada diri sendiri. Dan Tuhan? Tuhan
tidaklah untuk ditakuti, tapi dicintai. Tuhan itu maha indah, maka dekatkanlah
selalu dirimu padaNya, maka kaupun akan bias melihat keindahan disetiap
langkahmu. Dan hidup dengan keindahan itu yang akan membuat kita bersyukur,
merasa cukup tanpa harus menjadi serakah. Tuhan juga tidak butuh puja-puji
umatnya, tidak pula pernah memberi beban umatnya dengan tetk-bengek ritual yang
aneh-aneh dan berat. Tuhan membebaskan umatnya dalam beribadah.
Dan ini ajaran sederhana beliau yang aku praktekkan hingga kini, “Eling
lah selalu pada Tuhanmu setiap waktu. Tapi jika kau memang ingin memberi waktu
khusus untuk beribadah/meditasi, bermeditasilah kau menjelang tidur sampai kau
tertidur. Bermeditasilah, seakan-akan kau hendak memasuki keabadian pintu
kubur. Dan bermeditasilah kau ketika bangun tidur, seolah olah kau baru
terlahir dan akan memulai langkah hidupmu dengan kemurnian jiwa layaknya bayi
yang baru terlahir.”
Ajaran
yang sangat sederhana sekali. Tapi butuh kesabaran karena merupakan proses