Minggu, 30 Juni 2013

REVITALISASI SPIRITUAL NUSANTARA



              Di tempat saya pernah tumbuh cukup pesat ajaran kebatinan. Beberapa tahun kemudian saya merantau, dan ketika pulang kampung lagi, ternyata ajaran itu telah habis pemeluknya. Dari situlah saya jadi bertanya-tanya, “Kenapa ajaran yang mendidik kita menjadi insan yang berbudi pekerti luhur (budi-pada hati, untuk membentuk pekerti-pada lahir) bisa sedemikian cepatnya kehilangan pemeluknya. Kenapa ajaran spiritual nusantara ini, kini bisa menjadi seperti orang asing di negerinya sendiri?. Padahal ini ajaran bisa jadi pondasi dalam pembentukan karakter dan mental  seseorang. Lebih luasnya lagi bisa jadi jati-diri kita dalam berbangsa.”
            Ajaran kebatinan sebenarnya sudah ada jauh sebelum agama-agama formal-terorganisis terbentuk. Ketika manusia menyadari, bahwa didirinya terdiri dari raga dan jiwa (batin), Saat itu orang sudah menjadi seorang kebatinan. Kebatinan berasal dari bahasa Arab, asal katanya adalah bathin (dengan huruf Bhaa & Thaa & Nun). Bathin adalah lawan kata dari zhahir, yang dalam lidah kita menjadi lahir dan batin.
             Jadi zaman animisme-dinamisme itupun ajaran kebatinan sudah tumbuh, yang membuahkan beberapa kearifan local. Ketika agama-agama mengekspansi negeri ini, mereka juga masih bicara soal kebatinan, tapi cenderung lebih kuat dalam mengibarkan bendera formalitas dogma agamanya. Dalam Islam khususnya, mungkin hanya mereka yang mngajarkan ilmu tasawuf yang masih mengajarkan kebatinan (pencarian haqiqat kesejatian diri) secara mendalam. Dengan tokohnya  yang terkenal bernama Al-Hallag, yang wafat secara  tragis oleh orang-orang Islam sendiri. Di kita ada Syeh Siti Jenar, yang jika ditarik benang merahnya, sadar atau tidak ada hubungannya dengan ajaran Neo Platonisme!.
             Jadi baik secara intelektual ataupun spiritual, kita ini sesungguhnya bangsa yang cerdas. Sejak zaman animisme, dengan kecerdasan alamiahnya mereka membangun tradisi lisan, bahasa, dongeng, nyanyian, upacara-upacara dan sebagainya. Yang kesemuanya itu sekarang sering dianggap sebagai kebudayaan liar yang selalu ingin meletup tapi tertekan dibawah  ajaran agama yang resmi dan adikuasa?. Ketika kebudayaan lisan dihadapakan pada kebudayaan tulisan (teks agama), kebudayaan lisan kesannya memang menjadi seperti pengotoran.
            Dari sinilah saya bisa menarik empat kesimpulan yang menyebabkan ajaran kebatinan itu bisa cepat kehilangan pemeluknya:
            1. Kurang komunikatif.
            2. Masih kuatnya budaya lisan
            3. Masih kuatnya budaya feodal dan paternalisik (ketokohan)
            4.  Masih lemahnya dalam struktur berorganisasi
            Jadi melorotnya penganut ajaran kebatinan saat ini, bukan karena salah atau tidak berkualitasnya itu ajaran. Tapi karena cara penyampaiannya yang kurang komunikatif. Masih terlalu banyak menggunakan medium-medium lama seperti tembang, wejangan, kiasan, dongeng dan sebagainya. Itu tidak salah. Tapi ketika hal itu diaplikasikan pada generasi digital saat ini, jelas teramat sulit untuk bisa nyambung.
            Ikatlah ilmu dengan menulisnya, kata orang bijak. Dan ajaran kebatinan pada umumnya memang menjadi ajaran lisan. Dan  budaya lisan itu memang rapuh, gampang bias, kabur dan hilang. Budaya tulis jelas lebih kuat bertahan dan bisa diakses oleh siapapun lebih akurat, lengkap dan utuh.
            Orang sering katakan, bahwa ajaran kebatinan itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Bagi saya tidak! Yang ketinggalan zaman itu budayanya yang pernah menyertai, yaitu budaya feodal dan paternalistic. Jadi jika kita berani ganti gaya/ganti budaya yang lebih demokratis, dialogis, kritis dan egaliter, maka kita akan tetap bisa melihat ruh/inti ajaran kebatinan yang sebenarnya universal dan lintas zaman.
             Dalam ajaran ilmu Kejawen, ada istilah ilmu kanoman (muda) dan ilmu kasepuhan (Tua). Yang masuk ilmu kanoman itu sebangsa ilmu kanuragan-jaya kawijayan, seperti kebal bacok, bisa meramal, bisa mengobati, bisa melihat mahkluk-mahkluk ghoib dan sebagainya. Sementara yang masuk ilmu kasepuhan itu yang berhungan dengan masalah ketuhanan, moralitas, kesucian jiwa, kebijaksanaan, pencarian haqiqat kesejatian diri dan sebagainya.       
            Jadi memang tidak sepenuhnya salah, opini yang terbentuk selama ini yang mengatakan ajaran kejawen itu tidak lebih daripada ilmu kanuragan dan keparanormalan belaka. Karena memang ada sejarahnya. Dan celakanya, sel;ama ini yang banyak diekspos memang hal-hal yang bersifat ilmu kanoman yang aneh-aneh seperti itu. Sementara ilmu kasepuhannya yang mendidik manusia menjadi insan yang berbudi pekerti luhur, hampir seperti terlupakan. Padahal dalam ilmu kasepuhan itu haqiqat dan martabat hidup manusia sesungguhnya terkandung. Banyak nilai luhur budaya bangsa yang terlahir dari ilmu kasepuhan. Banyak karya satra yang indah dan sangat dalam mengungkap haqiqat hidup dan kehidupan, karena didasari para penulisnya yang mendalami ilmu kasepuhan.
             Celakanya, para pelaku ilmu kasepuhan itu pada umumnya orang-orang yang tidak suka banyak omong. Diam itu emas?. Sementara di zaman ini yang saya saksikan, ketika kebenaran telah digantikan diam, kejujuranpun akan semakin kabur dan sulit untuk bisa kita temui. Karena itu saya pilih bicara dan menulis. Manusia harus pakai akalnya dan tidak hanya menghujamkan segalanya pada Tuhan jika menemui masalah social di dunia. Jadi bagaimana membuat iman kita pada Tuhan itu berariti dan apa relevansi iman itu bagi masalah yang sedang kita hadapi.
            Kecerdasan adalah karunia Tuhan. Jadi tidak ada salahnya kita pergunakan karunia itu untuk mengatasi permasalahan yang sedang kita hadapi. Selama kita tidak mengagung-agungkan/menuhankan intelektual/rasionalitas. Di zamannya, lewat ilmu kanoman/kanuragan para spiritualis menarik umat untuk mau mendalami ilmu kasepuhan. Dan di zaman ini, lewat ilmu kanoman baru/intelektual, kita bisa memperkenalkan ilmu kasepuhan. Sekaligus mengupas permaslahannya, kenapa ajaran spiritual nusantara ini kini bisa seperti orang asing di negerinya sendiri.
            Dan lewat refleksi dan pengetahuan itu, saya bisa melihat lemahnya budaya paternalistic-feodalisme. Ketika hadir tokoh yang cerdas, berani dan berwibawa, ajaran kebatinanpun dengan cepatnnya banyak pemeluknya. Tapi begitu sang tokoh figu panutan wafat, habis juga itu para pemeluknya. Tidak ada regenerasi.
             Dalam budaya feodal-paternalistik, yang ada adalah monolog, komunikasi satu arah atau semacam kotbah. Dan generasi zaman ini, sudah muak dan bosan dengar kotbah iman dan kepercayaan yang berbusa-busa, namun dalam penghayatan dan realita kongkretnya menandai dunia yang makin materialistic.
             “Perbuatan lahir yang disertai dengan senantiasa mendengarkan suara batin, dalam tindakannya tentu serba jujur dan suci. Penuh dengan perikemanusiaan dan lepas dari kepentingan bagi diri sendiri. Bila kebatinan tidak disertai dengan tindakan kelahiran, akan menelesipkan arti kebatinan itu sendiri. Dan bila demikian, patutlah kita ini hanya mendapat sebutan tukang suwuk, tukang dzikir dan tukang duduk ongkang-ongkang”. (wejangan bapak Sukeno dari Madiun).
             Jadi ilmu kebatinan, pada ujungnya harus ada pengaruhnya dalam masyarakat. Kalau zaman dulu, orang mempelajari ilmu kebatinan dengan memutus hubungan dengan masyarakat banyak dengan jalan bertapa di gua, gunung atau tepi pantai. Zaman sekarang sebaliknya, orang bisa dan harus mendalami ilmu kebatinan dengan bertapa di hiruk-pikuk keramaian masyarakat. Jika bertapa di tempat-tempat keramat/sepi, paling yang ganggu Cuma mahkluk-mahkluk halus, kalau bertapa di di keramaian kehidupan masyarakat, pengganggunya lebih riil dan komplek, bisa tidak kita tidak korupsi, selingkuh, mencuri, menyakiti sesama, pemarahan, dan sebagainya. Disitulah kematangan spiritual kita diuji.
             Ilmu kebatinan itu seperti air yang mengalir, tidak bisa dihentikan dalam bentuk dogma. Tidak bisa pula di formal-organisir. Tapi dalam hubungan  manusia dengan manusianya, suka atau tidak suka, organisasi sangat diperlukan oleh para pelaku ilmu kebatinan.
            Ada kisah nyata, seorang pelaku ilmu kebatinan yang wafat. Karena tidak jelas apa agama orang ini, jasad orang inipun jadi terkantung-katung tidak tahu harus dimakamkan dengan prosesi pemakaman seperti apa. Suasana duka itupun berubah menjadi acara perguncingan berkepanjangan yang mempermalukan keluarga yang ditinggalkan. JIka ada organisasi yang menaunginya, tentu hal seperti itu tak perlu harus terjadi. Akhirnya orang-orang kampung itupun tidak ada lagi yang berani mengaku dirinya sebagai orang kebatinan. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, mereka gunakan caranya sendiri. Beradaptasi tanpa kehilangan jati-dirinya. Secara formalitas mereka mengaku sebagai orang beragama, tapi dalam harian hidupnya tidak menjalankan syari’at agama. Dalam praktek hidupnya justru lebih mendekati laku hidup seorang kebatinan. Orang-orang yang dalam rumusan Clifford Geertz, kemudian digolongkan dalam istilahnyasebagai kaum abangan.
             Etika marginal kaum abangan itu juga memiliki keindahanya sendiri dan keabsahan yang tidak dapat ditolak oleh siappun, kecuali agamawan berpandangan sempit yang tidak bisa menerima selain kebenaran muntlak dari agama yang dipeluknya. Bagi kaum abangan, agama hanyalah salah satu alat untuk menuju Tuhan, bukan jadi tujuan hidup. Pencarian dan pengenalan akan kesejatian Tuhanlah yang terpenting bagi orang beriman. Bukan penguasaan atau penganutan agama secara sempurna. Jadi beragama dengan sekenanya atau sebisanya juga tidak apa-apa. Itu sama sekali tidak mengurangi sedikitpun keabsahan spiritual mereka. Dari dahulu juga sudah ada elite dan orang awam dalam segala bidang, termasuk dalam kehidupan beragama.
             Dan bagi para spiritualis, yang terrpenting bukan jadi elite atau orang awam. Yang terpenting adalah bagaimana kelakuan kita sehari-hari itu.  Buat apa menjadi orang elite yang yang jago kotbah dan hapal isi kitab suci agama, kalau dibalik jubah kesuciannya itu menyembunyikan jiwa  penjahat-bengis yang yang tega memperkosa hak-hak orang lain, yang tidk malu menjarah-rayah uang rakyat, yang suka menganggap diri dan golongannya lah yang paling benar, suci dan sempurna sendiri. Padahal sebagai orang yang beriman, mestinya sadar, bahwa hanya Tuhanlah yang maha segala-galanya itu.
             Melihat gejala zaman ini, saya rasa saat ini sudah banyak orang yang mati rasa batinnya, sudah beku-keras membatu jiwanya. Rasa kemanusiaanya telah tumpul, dan menurut saya, itu justru menjadi moment bangkitnya spiritual nusantara yang sudah sekian lama terpendam/terlupakan.
            Bersatulah maka kita akan kuat. Buat oragnisasi yang jadi tempat berkumpul/koalisi yang besar dan bersih sebagai tempat untuk saling asah, asih dan asuh. Tempat untuk sama-sama menghadapi tantangan zaman yang kini sedemikian kompleknya. Sekaligus jadi rumah  tempat berlindung bagi sipapun yang membutuhkannya. 
            Saya tahu, banyak paguyuban/perkumpulan kebatinan di Indonesia. Sayangnya kebanyakan dari mereka juga sudah terjangkiti penyakit yang biasa menghinggapi orang beragama, yaitu fanatik, tertutup dan suka merasa benar-sempurna sendiri. Dan itu penyakit yang bikin ajaran kebatinan tidak bisa besar dan bersatu.
                 Jika kita ingin besar, kita harus lebih dulu punya kebesaran jiwa yang sanggup mendengar argumen lain yang tak sejalan dengan kita.Jika kita ingin hadir dalam tataran wawasan Nusantara, kita juga harus lebih dulu bisa bebas dari ikatan primordial. Nonsektarian. Kita harus bisa menanggalkan egoisme bendera golongan/kelompok. Jadi aspirasinya universalisme bukan partikularisme. Komitmen kita pada nilai, bukan pada golongan. Komitmen kita pada isi, bukan pada kotak luarnya {agama, etnis, golongan, partai politik dan sebagainya}. Karena pengabdian kita bukan pada raga, tapi pada roh/batin. Karena itu disebut kebatinan. Kebatinan yang berwawasan global. Kebatinan/spiritual yang membebaskan!.

Sabtu, 15 Juni 2013

KEMBALI KE SPIRITUAL BANGSA SENDIRI




            Para nabi, orang suci atau spiritualis sejati, tidak pernah berhasrat untuk meletakkan pandangannya yang bijaksana pada diri-pribadinya sendiri; Jangan percaya padaku, tapi percayalah pada Tuhan. Jangan jadi pengikutku, tapi jadilah pengikut Tuhan, Jangan jadi sepertiku, tapi jadilah dirimu sendiri.
             Itulah ajaran para spiritualis sejati. Tapi orang-orang pintar teori, yang sok suci, sok merasa benar dan sempurna sendiri telah memanipulasinya.  “Manusia menciptakan Tuhannya dengan daya khayalnya sendiri” {Feurbach}. Dan entah sadar atau tidak, saat ini kebanyakan orang tidak mencari dan menyintai sejatinya Tuhan. Tapi justru memuja tuhan ciptaan daya khayalnya yang bernama agama!. Saat ini banyak orang menuhankan/memberhalakan agama. Dan itulah yang membuat masyarakat kita egosentris dan mengira dengan beragama berarti sudah menjadi orang tuhan/beriman. Ego yang terus-menerus di pompa oleh para ahli agama. Kita terus dijejali propaganda kelebihan dan kehebatannya agama. Tanpa kita sadari itu semua sesungguhnya hanya untuk melanggengkan kekuasaan mereka saja Kepala kita terus dijejali iklan utopia agama, hingga kita tidak bisa lagi melihat jiwa kita yang sesungguhnya tertindas/terjajah. 
            Karena terlalu lamanya jiwa bangsa ini ditindas, penindasan itu justru seolah-olah menjadi keniscayaan, bahkan kebutuhan bagi si tertindas?. Orang sudah tidak bisa lagi melihat jati-dirinya sendiri lagi. Orang sudah tidak bisa lagi melihat bedanya antara agama dan budaya. Saat ini banyak orang yang merasa belum afdol Islamnya jika belum bisa meng-Arabkan diri. Spitual itu membebaskan., sementara agama mengurung. Seperti seekor burung, karena terlalu lamanya jiwa bangsa ini terkurung di sangkar emas, seringkali membuat kita abai dengan realita diluar sangkar yang terlalu banyak di warnai ambiguitas dan paradok dalam beragama. Kicoan agama tentang perdamaian dan menghargai sesama dalam kenyataannya sering kebalikannya.  Orang biasa teriak “tuhan maha pengasih!” sambil berkelakuan bengis. Nilai kemanusiaan yang luhur seakan tidak ada maknanya lagi, yang terjadi justru semakin mengerasnya identitas agama yang melekat dan kecenderungan penunggalan atas kebenaran agama. Ajaran agama memang mulia, tapi sejarah ternyata tak banyak mencatat adanya penguasa yang mulia. Konflik antar suku, pemusnahan etnis, pengusiran sebuah bangsa, merupakan sejumplah masalah zaman ini yang sering di balut oleh keyakinan sempit beragama.
            Saya tidak anti agama. Saya banyak belajar tentang kebajikan hidup dari agama. Kalau toh ada yang saya tentang atau kritisi, itu hanya sebatas institusinya, budayanya dan sistemnya yang seringkali bersifat totaliter. Kehidupan beragama yang hanya digerakkan oleh semangat pakaian seragam yang mengagung-agungkan kekuatan massa, militansi dan kesatuan. Gerombolan orang-orang sok suci yang suka merasa paling benar dan sempurna sendiri, yang suka mengklaim bahwa Allah, kebenaran dan surga  hanya milik mereka saja. Orang-orang macam itu sesungguhnya adalah para pemuja berhala yang bernama agama.
            Orang munafik-sombong macam itu yang harus dengan berani kita hadapi dan tentang, karena orang-orang itu sesungguhnya para penunjang system yang telah membodohi dan mengajarkan kebodohan pada jiwa bangsa kita, hingga kita jadi bangsa setengah gila. Kita jadi bangsa yang mudah marah oleh hal-hal yang sepele, gampang ngamuk tanpa pikir panjang, kita jadi bangsa gumunan dan kagetan seperti bangsa tak berpengetahuan apa-apa, bahkan kita jadi tegaan membunuh sesama anak bangsa persis orang yang tak berbudaya saja.
             Tak ada nabi yang menciptakan agama! Agama dicipta-susun oleh orang-orang setelah nabi wafaat, karena mereka ingin mempertahankan kekuasaannya. Para nabi intinya hanya mengajarkan kita, untuk bisa mencintai Tuhan dengan sepenuh jwa-raga dan mencintai sesamanya seperti bagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Hanya itu. Jika kita bisa melakukan itu, berarti kita sudah menjadi seorang spiritualis sejati, Soal baju atau kotaknya  mau dikasih label Hindu, Budha, Kristiani, Islam, konghucu, atau tanpa label sekalipun itu bukan maslah!.
            Jadi tak perlu minder jika anda jadi seorang spiritualis tanpa label/kotak agama apapun. Spiritual itu membebaskan/memerdekakan, sedang agama menjajah jiwa. Jadi tak ada alasan sebagai orang merdeka harus minder dihadapan orang yang terjajah. Manusia terjajah adalah manusia, yang jika tidak dijajah ya nafsunya mau menjajah. Arogan dan merasa superior ketika jaya dan kaya, tapi minder, inferior dan suka mengemis ketika miskin dan tak punya kuasa. Sementara spiritualis yang telah merdeka jiwanya, tidak akan inferior sekaligus juga tidak merasa superior atas sesamanya.
             Jika anda ingin jadi orang beragama, belajarlah kitab. Tapi jika anda ingin orang tuhan/beriman, belajarlah untuk mencari dan mendekati sejatinya Allah. ”Orang tuhan tidak diajar kitab/orang tuhan di luar kafir dan agama” {Jalalludin Rumi}. Jadi seharusnya kita bangga, sebagai bangsa yang tidak pernah melahirkan agama formal-terorganisir. Karena sejatinya spiritual itu memang tidak bisa di formal-organisir dan seragamkan dalam satu dogma. Spiritual itu seperti air yang mengalir. Spiritual itu bersifat mempribadi,khas dan unik Tiap insan bisa menyerap cahaya kasihNya sesuai kapasitas masing-maing. Jadi tak ada tempat sesungguhnya untuk iri, serakah, apalagi  berjumawa dalam spiritual itu. Karena kita ada memang tidak untuk kasih unjuk apapun, selain hanya untuk mendekatkan diri pada yang maha Esa. Spiritual bukan untuk dipamerkan apalagi diperdagangkan, spiritual adalah bagian dari keseharian  hidup kita.
             Tuhan juga tidak menilai hambanya dari apa agamanya. Tapi bisa tidak kita mengimplementasikan kebajikan ajaran itu dalam kehidupan sehari-hari, disitulah nilai kita. Dalam spiritual yang terpenting juga bukan soal sempurna atau tidak sempurnanya pengetahuan agama, tapi bisa tidak kita untuk lebih bisa mengenal diri pirbadinya sendiri dan Tuhannya. Itu yang terpenting!.
             Jelas bangsa ini telah terbutakan oleh silau cahaya kerangkeng emas agama, hingga kita tak bisa lagi melihat dan menghargai jati dirinya sendiri lagi. Agama telah membuat kita jadi bangsa yang lupa wajah diri. Agama telah mendoktrin kita jadi bangsa robot, penciplpak dan memuja hal-hal yang bersifat gebyar lahiriah belaka. Agama telah membuat kita bangsa minder yang tak punya rasa percaya diri dan selalu membungkuk dihadapan bangsa asing. Seolah hanya mereka bangsa terpilih yang tahu dan dekat Tuhan. Kita telah jadi bangsa bodoh, terjajah dan tidak punya otonomi diri. Kita telah jadi bangsa minder dan untuk menutupi keminderannya, orang memang sering jadi berlebihan berlagak. Bergaya bak orang suci, kemana-mana berbaju gamis. Dan kita orang awam hanya bisa tertawa, masak orang suci kerjaannya kerjaannya Cuma teriak-teriak memuja kebesaran Allah, sambil bawa pentungan memaki-maki dan menakut-nakuti orang yang dianggap tidak sepaham?. Masak dalam spiritual kita hanya akan berhenti pada kebanggaan jadi preman berbaju gamis?.
            Pengetahuan agama memang bisa ditransfer, komunikasikan dan ajarkan. Tapi kebijaksanaan spiritual tidak. Kita dapat menemukan, hidup dengannya,, diperkuat olehnya, menciptakan keajaiban melaluinya, tapi kita tidak dapat mengajarkan, mengkomunisikan atau mentransferkan kepada orang lain. Seperti rasa garam, seorang ahli kimia bisa jelaskan detail zat-zat apa saja yang ada dalam garam. Tapi jika anda ingin tahu rasanya, anda harus mau langsung praktek mengecapnya. Begitu juga halnya jika anda ingin lebih kenal sejatinya Allah. Tidak cukup hanya dengan berguru atau menghapal kitab. Tapi anda harus berani terjun langsung praktek dalam pendekatan diri padaNya.
            Dan persentuhan dengan apa yang dalam literature sufi jawa disebut “kasunyatan” atau sejatinya realita Tuhan, itu jauh lebih indah, menggetarkan, menyentuh dan membekas di jiwa dibandingkan jika anda Cuma dengar kotbah yang menukil-nukil dari kitab suci. Dalam cahaya kasihNya, kita juga akan bisa melihat dengan lebih jernih, mana kemajuan-mana kemunduran, mana kejujuran-mana kemunafikan, mana lebih kekal tubuh atau nyawa, dan tak ada kata minder untuk seorang spiritualis sejati. Berulangkali Tuhan sepertinya ingin menohok kesombongan umat manusia, dengan memberi petunjukNya lewat mereka-mereka yang tidak masuk hitungan. Seperti Musa yang Cuma anak buangan/pungut, Yesus yang Cuma anak tukang kayu, Muhamad yang gembala buta huruf dan sebagainya.
            Jadi tak perlu minder kalau spiritual bangsa kita saat ini dipandang sebelah mata. Dekatkan pada Tuhan pasti kita akan jadi penuh percaya diri, carilah sejatinya Allah, pasti kita akan menemukan dan bangga jadi diri kita sendiri. Hanya Allah yang bisa menuntun dan memberi arah menuju kebajikan sejati. Hanya sejatinya Allah yang bisa menyatukan umat manusia, bukan agama. Agama justru membuat umat manusia terkotak-kotak.
                        Banyak orang mengatakan, saat ini tengah terjadi krisis spiritual, hingga kitab sucipun tak takut lagi dikorupsi, kesewenang-wenangan bahkan pembantaian atas nama keyakinan masih terjadi di negeri kita. Kita jadi bangsa yang tak punya malu dan suka menutupi kenyataan yang kelam dengan idiom-idiom luhur. Seperti sebutan “pahlawan devisa” misalnya, kenyataanya kita hanya mengeksport tenaga tak terdidik untuk jadi babu dan tenaga kasar di negeri orang. Dan agama? Hanya seperti kepala singa yang diawetkan di ruang tamu utama. Tidak memberi ilham apapun.
            Untuk membentuk mental dan karakter bangsa ini yang lebih baik. Bagi saya, tidak ada jalan lain selain berpaling dari idiologi asing dan menoleh kedalam, kembali ke tradisi spiritual bansa sendiri. Spiritual yang membebaskan dari intimidasi aneka dogma, spiritual yang terbuka atas kebajikan/kebenaran yang datang dari manapun. Spiritual yang toleran, menghargai kejujuran dan proses individu-individu yang ingin menemukan dan jadi jati dirinya sendir-sendiri.
          Yang dibutuhkan saat ini, bukanlah agama atau nabi baru. Karena jika itu terjadi, sama saja hanya pengulangan sejarah, menggantikan dominasi lama dengan dominasi baru. Yang diperlukan saat ini adalah sebuah revolusi spiritual, revolusi kesadaran, revolusi yang mencerdasakan, revolusi tanpa darah. Dimana disana bergabung hasrat perubahan spiritual yang akan berdampak terjadinya perubahan social secara radikal, dengan keyakinan perlunya dimensi moral agar tidak terjatuh dalam totaliarnisme.
            Bahwasanya ada orang yang merespon secara negative atau menyangkal akan keberadaan Tuhan. Bagi saya itu juga urusan pribadi masing-masing. Saya tetap hormati mereka yang pilih jalan atheis, karena Tuhan memang tidak sekedar yang tertulis di kitab suci. Tuhan adalah suatu realita yang tak terjangkau oleh nalar (tidak ketemu nyari Tuhan pakai otak), suatu relasi misteri yang tak egoistic, memaksakan kehendak, harus dibela atau hanya milik satu golongan saja.
            Tuhan tidak hanya nongkrong diam di jazirah Arab sana. Tuhan juga ada di negeri kita ini, jadi ngapain harus minder dihadapan bangsa asing!