Di tempat saya pernah tumbuh cukup pesat
ajaran kebatinan. Beberapa tahun kemudian saya merantau, dan ketika pulang kampung
lagi, ternyata ajaran itu telah habis pemeluknya. Dari situlah saya jadi
bertanya-tanya, “Kenapa ajaran yang mendidik kita menjadi insan yang berbudi
pekerti luhur (budi-pada hati, untuk membentuk pekerti-pada lahir) bisa
sedemikian cepatnya kehilangan pemeluknya. Kenapa ajaran spiritual nusantara
ini, kini bisa menjadi seperti orang asing di negerinya sendiri?. Padahal ini ajaran
bisa jadi pondasi dalam pembentukan karakter dan mental seseorang. Lebih luasnya lagi bisa jadi jati-diri kita dalam berbangsa.”
Ajaran kebatinan sebenarnya sudah ada jauh sebelum
agama-agama formal-terorganisis terbentuk. Ketika manusia menyadari, bahwa
didirinya terdiri dari raga dan jiwa (batin), Saat itu orang sudah menjadi
seorang kebatinan. Kebatinan berasal dari bahasa Arab, asal katanya adalah
bathin (dengan huruf Bhaa & Thaa & Nun). Bathin adalah lawan kata dari
zhahir, yang dalam lidah kita menjadi lahir dan batin.
Jadi zaman animisme-dinamisme
itupun ajaran kebatinan sudah tumbuh, yang membuahkan beberapa kearifan local.
Ketika agama-agama mengekspansi negeri ini, mereka juga masih bicara soal
kebatinan, tapi cenderung lebih kuat dalam mengibarkan bendera formalitas dogma
agamanya. Dalam Islam khususnya, mungkin hanya mereka yang mngajarkan ilmu
tasawuf yang masih mengajarkan kebatinan (pencarian haqiqat kesejatian diri)
secara mendalam. Dengan tokohnya yang
terkenal bernama Al-Hallag, yang wafat secara tragis oleh orang-orang Islam sendiri. Di kita
ada Syeh Siti Jenar, yang jika ditarik benang merahnya, sadar atau tidak ada
hubungannya dengan ajaran Neo Platonisme!.
Jadi baik secara
intelektual ataupun spiritual, kita ini sesungguhnya bangsa yang cerdas. Sejak
zaman animisme, dengan kecerdasan alamiahnya mereka membangun tradisi lisan,
bahasa, dongeng, nyanyian, upacara-upacara dan sebagainya. Yang kesemuanya itu
sekarang sering dianggap sebagai kebudayaan liar yang selalu ingin meletup tapi
tertekan dibawah ajaran agama yang resmi
dan adikuasa?. Ketika kebudayaan lisan dihadapakan pada kebudayaan tulisan
(teks agama), kebudayaan lisan kesannya memang menjadi seperti pengotoran.
Dari sinilah saya bisa menarik empat kesimpulan yang
menyebabkan ajaran kebatinan itu bisa cepat kehilangan pemeluknya:
1. Kurang komunikatif.
2. Masih kuatnya budaya lisan
3. Masih kuatnya budaya feodal dan paternalisik
(ketokohan)
4. Masih lemahnya
dalam struktur berorganisasi
Jadi melorotnya penganut ajaran kebatinan saat ini, bukan
karena salah atau tidak berkualitasnya itu ajaran. Tapi karena cara
penyampaiannya yang kurang komunikatif. Masih terlalu banyak menggunakan
medium-medium lama seperti tembang, wejangan, kiasan, dongeng dan sebagainya. Itu
tidak salah. Tapi ketika hal itu diaplikasikan pada generasi digital saat ini,
jelas teramat sulit untuk bisa nyambung.
Ikatlah ilmu dengan menulisnya, kata orang bijak. Dan ajaran
kebatinan pada umumnya memang menjadi ajaran lisan. Dan budaya lisan itu memang rapuh, gampang bias,
kabur dan hilang. Budaya tulis jelas lebih kuat bertahan dan bisa diakses oleh
siapapun lebih akurat, lengkap dan utuh.
Orang sering katakan, bahwa ajaran kebatinan itu sudah
kuno dan ketinggalan zaman. Bagi saya tidak! Yang ketinggalan zaman itu
budayanya yang pernah menyertai, yaitu budaya feodal dan paternalistic. Jadi
jika kita berani ganti gaya/ganti budaya yang lebih demokratis, dialogis,
kritis dan egaliter, maka kita akan tetap bisa melihat ruh/inti ajaran
kebatinan yang sebenarnya universal dan lintas zaman.
Dalam ajaran ilmu
Kejawen, ada istilah ilmu kanoman (muda) dan ilmu kasepuhan (Tua). Yang masuk
ilmu kanoman itu sebangsa ilmu kanuragan-jaya kawijayan, seperti kebal bacok,
bisa meramal, bisa mengobati, bisa melihat mahkluk-mahkluk ghoib dan sebagainya.
Sementara yang masuk ilmu kasepuhan itu yang berhungan dengan masalah
ketuhanan, moralitas, kesucian jiwa, kebijaksanaan, pencarian haqiqat
kesejatian diri dan sebagainya.
Jadi memang tidak sepenuhnya salah, opini yang terbentuk
selama ini yang mengatakan ajaran kejawen itu tidak lebih daripada ilmu
kanuragan dan keparanormalan belaka. Karena memang ada sejarahnya. Dan
celakanya, sel;ama ini yang banyak diekspos memang hal-hal yang bersifat ilmu
kanoman yang aneh-aneh seperti itu. Sementara ilmu kasepuhannya yang mendidik
manusia menjadi insan yang berbudi pekerti luhur, hampir seperti terlupakan.
Padahal dalam ilmu kasepuhan itu haqiqat dan martabat hidup manusia
sesungguhnya terkandung. Banyak nilai luhur budaya bangsa yang terlahir dari
ilmu kasepuhan. Banyak karya satra yang indah dan sangat dalam mengungkap
haqiqat hidup dan kehidupan, karena didasari para penulisnya yang mendalami ilmu
kasepuhan.
Celakanya, para
pelaku ilmu kasepuhan itu pada umumnya orang-orang yang tidak suka banyak omong.
Diam itu emas?. Sementara di zaman ini yang saya saksikan, ketika kebenaran
telah digantikan diam, kejujuranpun akan semakin kabur dan sulit untuk bisa
kita temui. Karena itu saya pilih bicara dan menulis. Manusia harus pakai
akalnya dan tidak hanya menghujamkan segalanya pada Tuhan jika menemui masalah
social di dunia. Jadi bagaimana membuat iman kita pada Tuhan itu berariti dan
apa relevansi iman itu bagi masalah yang sedang kita hadapi.
Kecerdasan adalah karunia Tuhan. Jadi tidak ada salahnya
kita pergunakan karunia itu untuk mengatasi permasalahan yang sedang kita
hadapi. Selama kita tidak mengagung-agungkan/menuhankan intelektual/rasionalitas. Di zamannya, lewat ilmu kanoman/kanuragan para spiritualis menarik umat
untuk mau mendalami ilmu kasepuhan. Dan di zaman ini, lewat ilmu kanoman
baru/intelektual, kita bisa memperkenalkan ilmu kasepuhan. Sekaligus mengupas
permaslahannya, kenapa ajaran spiritual nusantara ini kini bisa seperti orang
asing di negerinya sendiri.
Dan lewat refleksi dan pengetahuan itu, saya bisa melihat
lemahnya budaya paternalistic-feodalisme. Ketika hadir tokoh yang cerdas,
berani dan berwibawa, ajaran kebatinanpun dengan cepatnnya banyak pemeluknya.
Tapi begitu sang tokoh figu panutan wafat, habis juga itu para pemeluknya.
Tidak ada regenerasi.
Dalam budaya feodal-paternalistik,
yang ada adalah monolog, komunikasi satu arah atau semacam kotbah. Dan generasi
zaman ini, sudah muak dan bosan dengar kotbah iman dan kepercayaan yang
berbusa-busa, namun dalam penghayatan dan realita kongkretnya menandai dunia
yang makin materialistic.
“Perbuatan lahir
yang disertai dengan senantiasa mendengarkan suara batin, dalam tindakannya
tentu serba jujur dan suci. Penuh dengan perikemanusiaan dan lepas dari
kepentingan bagi diri sendiri. Bila kebatinan tidak disertai dengan tindakan
kelahiran, akan menelesipkan arti kebatinan itu sendiri. Dan bila demikian,
patutlah kita ini hanya mendapat sebutan tukang suwuk, tukang dzikir dan tukang
duduk ongkang-ongkang”. (wejangan bapak Sukeno dari Madiun).
Jadi ilmu
kebatinan, pada ujungnya harus ada pengaruhnya dalam masyarakat. Kalau zaman
dulu, orang mempelajari ilmu kebatinan dengan memutus hubungan dengan
masyarakat banyak dengan jalan bertapa di gua, gunung atau tepi pantai. Zaman
sekarang sebaliknya, orang bisa dan harus mendalami ilmu kebatinan dengan
bertapa di hiruk-pikuk keramaian masyarakat. Jika bertapa di tempat-tempat
keramat/sepi, paling yang ganggu Cuma mahkluk-mahkluk halus, kalau bertapa di
di keramaian kehidupan masyarakat, pengganggunya lebih riil dan komplek, bisa
tidak kita tidak korupsi, selingkuh, mencuri, menyakiti sesama, pemarahan, dan
sebagainya. Disitulah kematangan spiritual kita diuji.
Ilmu kebatinan itu
seperti air yang mengalir, tidak bisa dihentikan dalam bentuk dogma. Tidak bisa
pula di formal-organisir. Tapi dalam hubungan
manusia dengan manusianya, suka atau tidak suka, organisasi sangat
diperlukan oleh para pelaku ilmu kebatinan.
Ada kisah nyata, seorang pelaku ilmu kebatinan yang
wafat. Karena tidak jelas apa agama orang ini, jasad orang inipun jadi
terkantung-katung tidak tahu harus dimakamkan dengan prosesi pemakaman seperti
apa. Suasana duka itupun berubah menjadi acara perguncingan berkepanjangan yang
mempermalukan keluarga yang ditinggalkan. JIka ada organisasi yang menaunginya,
tentu hal seperti itu tak perlu harus terjadi. Akhirnya orang-orang kampung itupun
tidak ada lagi yang berani mengaku dirinya sebagai orang kebatinan. Untuk
menjaga kelangsungan hidupnya, mereka gunakan caranya sendiri. Beradaptasi
tanpa kehilangan jati-dirinya. Secara formalitas mereka mengaku sebagai orang
beragama, tapi dalam harian hidupnya tidak menjalankan syari’at agama. Dalam praktek
hidupnya justru lebih mendekati laku hidup seorang kebatinan. Orang-orang yang
dalam rumusan Clifford Geertz, kemudian digolongkan dalam istilahnyasebagai
kaum abangan.
Etika marginal
kaum abangan itu juga memiliki keindahanya sendiri dan keabsahan yang tidak
dapat ditolak oleh siappun, kecuali agamawan berpandangan sempit yang tidak
bisa menerima selain kebenaran muntlak dari agama yang dipeluknya. Bagi kaum
abangan, agama hanyalah salah satu alat untuk menuju Tuhan, bukan jadi tujuan
hidup. Pencarian dan pengenalan akan kesejatian Tuhanlah yang terpenting bagi
orang beriman. Bukan penguasaan atau penganutan agama secara sempurna. Jadi
beragama dengan sekenanya atau sebisanya juga tidak apa-apa. Itu sama sekali
tidak mengurangi sedikitpun keabsahan spiritual mereka. Dari dahulu juga sudah
ada elite dan orang awam dalam segala bidang, termasuk dalam kehidupan beragama.
Dan bagi para spiritualis, yang terrpenting
bukan jadi elite atau orang awam. Yang terpenting adalah bagaimana kelakuan kita
sehari-hari itu. Buat apa menjadi orang
elite yang yang jago kotbah dan hapal isi kitab suci agama, kalau dibalik jubah
kesuciannya itu menyembunyikan jiwa
penjahat-bengis yang yang tega memperkosa hak-hak orang lain, yang tidk malu menjarah-rayah uang rakyat, yang suka menganggap diri dan golongannya lah
yang paling benar, suci dan sempurna sendiri. Padahal sebagai orang yang
beriman, mestinya sadar, bahwa hanya Tuhanlah yang maha segala-galanya itu.
Melihat gejala zaman ini, saya rasa saat ini
sudah banyak orang yang mati rasa batinnya, sudah beku-keras membatu jiwanya. Rasa
kemanusiaanya telah tumpul, dan menurut saya, itu justru menjadi moment
bangkitnya spiritual nusantara yang sudah sekian lama terpendam/terlupakan.
Bersatulah maka kita akan kuat. Buat
oragnisasi yang jadi tempat berkumpul/koalisi yang besar dan bersih sebagai
tempat untuk saling asah, asih dan asuh. Tempat untuk sama-sama menghadapi
tantangan zaman yang kini sedemikian kompleknya. Sekaligus jadi rumah tempat berlindung bagi sipapun yang
membutuhkannya.
Saya tahu, banyak paguyuban/perkumpulan kebatinan di Indonesia. Sayangnya kebanyakan dari mereka juga sudah terjangkiti penyakit yang biasa menghinggapi orang beragama, yaitu fanatik, tertutup dan suka merasa benar-sempurna sendiri. Dan itu penyakit yang bikin ajaran kebatinan tidak bisa besar dan bersatu.
Jika kita ingin besar, kita harus lebih dulu punya kebesaran jiwa yang sanggup mendengar argumen lain yang tak sejalan dengan kita.Jika kita ingin hadir dalam tataran wawasan Nusantara, kita juga harus lebih dulu bisa bebas dari ikatan primordial. Nonsektarian. Kita harus bisa menanggalkan egoisme bendera golongan/kelompok. Jadi aspirasinya universalisme bukan partikularisme. Komitmen kita pada nilai, bukan pada golongan. Komitmen kita pada isi, bukan pada kotak luarnya {agama, etnis, golongan, partai politik dan sebagainya}. Karena pengabdian kita bukan pada raga, tapi pada roh/batin. Karena itu disebut kebatinan. Kebatinan yang berwawasan global. Kebatinan/spiritual yang membebaskan!.
Saya tahu, banyak paguyuban/perkumpulan kebatinan di Indonesia. Sayangnya kebanyakan dari mereka juga sudah terjangkiti penyakit yang biasa menghinggapi orang beragama, yaitu fanatik, tertutup dan suka merasa benar-sempurna sendiri. Dan itu penyakit yang bikin ajaran kebatinan tidak bisa besar dan bersatu.
Jika kita ingin besar, kita harus lebih dulu punya kebesaran jiwa yang sanggup mendengar argumen lain yang tak sejalan dengan kita.Jika kita ingin hadir dalam tataran wawasan Nusantara, kita juga harus lebih dulu bisa bebas dari ikatan primordial. Nonsektarian. Kita harus bisa menanggalkan egoisme bendera golongan/kelompok. Jadi aspirasinya universalisme bukan partikularisme. Komitmen kita pada nilai, bukan pada golongan. Komitmen kita pada isi, bukan pada kotak luarnya {agama, etnis, golongan, partai politik dan sebagainya}. Karena pengabdian kita bukan pada raga, tapi pada roh/batin. Karena itu disebut kebatinan. Kebatinan yang berwawasan global. Kebatinan/spiritual yang membebaskan!.