Ketika terjadi konflik Syi’ah di
Sampang Madura, untuk mengatasi masalah itu ada seorang tokoh masyarakat yang
memberi advis begini; Jalan terbaiknya ialah para pengikut Syi’ah beralih
menjadi Suni!.
Penyelesaian secara instan seperti itu bukanlah cerita baru, beribu tahun yang
lalu para paus dan ulama juga sudah suka kotbah seperti itu. Pindah agama,
tinggalkan ajaran sesat dan bagi kau terbukalah pintu Surga!. Dan beberapa
waktu kemudian kita semuapun tahu, pertikaian itu sebenarnya bukan konflik
antara Syi’ah Vs Suni. Tapi hanya pertikaian keluarga yang berlatar-belakang
perebutan harta-warisan dan perempuan belaka!.
“Semakin banyak kau bisa membunuh musuhmu, semakin luaslah kavling di Surga
bakal kau miliki!”, Itulah fatwa terkenal yang sama-sama keluar baik dari kaum
Muslim maupun Nasrani dalam Perang Salib. Zaman ketika agama hanya dijadikan
kedok untuk melindungi kepentingan ekonomi dan kekuasaan sejumplah kecil orang.
Agama telah kehilangan semangat profetiknya dan terlalu banyak diwarnai
ambigiutas dan paradok. Kotbah tentang kebajikan agama yang mengajarkan tentang
perdamaian, cinta-kasih dan menghargai sesama, tapi dalam praktiknya hingga
kini diseluruh penjuru dunia masih saja terjadi konflik antar suku, pemusnahan
etnis, pengusiran sebuah bangsa, yang kesemuanya itu sering dibalut oleh
keyakinan sempit dalam beragama.
Dalam kaca-mata para ilmuwan sudah sampai pada suatu kesimpulan: AGAMA
MATI SEIRING TERBITNYA MODERNISME!. Agama dianggap tidak lebih dari sis-sisa
kepercayaan dari masa gelap yang mewartakan dunia apokalipstik di masa depan.
Transendensipun telah direduksi jadi kabar angin dan itu jadi isyarat awal dari
kebangkrutan agama-agama formal!.
Sejak Galileo dijatuhi hukuman oleh gereja, kemajuan ilmu dan kedudukan agama
memang seperti anjing dan kucing, saling mencurigai dan membenci. Agama
mencurigai ilmu pengetahuan sebagai sumber kesesatan, dosa, sekularisme dan
atheisme. Sementara ilmu-ilmu modern pada masa pencerahan (aufaklarung)
menghinakan agama sebagai kekolotan yang tak dapat ditanggung oleh kemajuan
zaman. Karena itu agama pasti akan segera lenyap dari kehidupan manusia. Tidak
hanya agama. Filsafat yang memperdebatkan ilmu pengetahuan macam Positivisme,
Neokantianisme dan Mazhab Wina juga pernah di curigai dan disingkiri oleh ilmu.
Anda mau berpandangan, bahwa yang menjadi asas cuma materi dan apa yang
dinamakan roh, nyawa atau Tuhan itu hanya tipuan angan-angan atau produk materi
belaka. Atau anda mau mempertahankan yang sebaliknya?. Semua terserah dan
kembali kepada keputusan kita masing-masing Aku sendiri memilih, disaat-saat
kesadaran yang paling cerah (meditatif), nyawa, roh atau Tuhan berbayang pada
diri kita. Dan dalam kesadaran yang paling cerah itu, kita hanya diam membisu
dan pasrah berserah diri secara totalitas pada segala kehendaknya. Biarlah
semua terjadi menurut kehendaknya, bukan kehendakku.
Sampai titik ini pikiran kita tidak mampu menjangkaunya. Spiritual macam ini
juga tidak bisa diprogramkan dan dimassalkan sebagaimana agama. Itu juga bukan
spiritual achievement, kita tidak bisa dan mau mendikte Tuhan. Disinilah bukti
nyata, bahwa Tuhanlah yang maha kuasa bukan kita. Hal itulah yang menyadarkan
kita, bahwa tidak mungkin orang mampu mempercayai adanya tuhan, tanpa mengakui
dirinya sendiri terbatas. Dan keterbatasan/ketidak sempurnaan, bukanlah jadi
alasan kita untuk terus-menerus menghalalkan kerakusan. Keadan tidak sempurna
itu justru jadi alasan kita untuk bersedia rendah hati, bersedia ditegur,
mengerti rasa malu dan dosa!.
Sampai titik ini, saya melihat kecerdasan spiritual bangsa sendiri. Bangsa yang
tidak pernah melahirkan agama-agama formal. Karena spiritual sejatinya memang
tidak bisa diformalkan, dimassalkan atau didogmakan seperti agama. Hubungan
manusia dan Tuhannya itu bersifat unik, khas dan mempribadi. Tidak ada
seorangpun atau lembaga yang punya otoritas untuk menilai kedekatan
seseorang itu dengan Tuhannya. Spiritual bukanlah soal pintar-pintaran kotbah
atau tebal-tebalan kitab suci. Spiritual adalah proses pengenalan dan
pendekatan diri pada kasunyatan (sejatinya realita/Tuhan) kata orang
Jawa. Dan dari kedekatan dan pengenalan kita akan kesejatian Tuhan,
kitapun akan bisa menjalani hidup seperti kehendakNya.
Telah tiba saatnya membangkitkan jiwa-jiwa yang tenggelam yang masih tetidur
pulas dan tidak menjalankan hidup seperti kehendak Ilahi. Jika para nabi
mendekatkan dan membangunkan kesadaran umatnya akan keberadaan Tuhan lewat
aneka muzizat yang aneh-aneh.. Di zaman kontenporer ini, ilmu pengetahuan, kreatifitas
dan kecerdasan itulah muzizat yang diturunkan Tuhan di zaman modern ini. Agama,
budaya dan tradisi, tanpa pengetahuan hanya akan menciptakan stagnasi bahkan
dekandensi berpikir. Orang yang tidak biasa berpikir secara rasional dan
kontekstual, kesadarannya akan mudah dinina-bobokan oleh janji-janji surgawi
agama.
Tapi cerdas saja tanpa dilandasi keyakinan adanya Tuhan, hanya akan menciptakan
manusia-manusia atheis sombong yang siap menghalalkan segala cara untuk bisa
meraih ambisi-ambisinya.
Jadi jelas sudah, kenapa agama dan ilmu pengetahuan itu sering tidak akur.
Karena pada dasarnya, keduanya sama sombong dan besar kepalanya. Yang agamawan,
berkeyakinan, semua tanya bisa dicari jawabnya dalam kitab suci. Sementara
ilmuwan merasa semua tanya ada jawabnya dalam dialitika pemikiran kritisnya.
Yang satu MEMBERHALAKAN AGAMA! Satunya lagi MEMBERHALAKAN KECERDASANNYA!. Apa
bedanya?. Tidak ada bedanya, keduanya sama-sama tidak menyembah sejatinya
Tuhan.
Barang
siapa memuja/memberhalakan selain sejatinya Allah, orang itu pasti akhirnya
akan diperbudak olehnya dan menjadi manusia robot yang tak berjiwa. Tapi barang
siapa mau mencari dan mencintai sejatinya Allah, orang itu akan menemukan
jatidirinya sendiri dan kebebasannya yang hakiki. Jiwanya akan merdeka
sekaligus penuh kasih-sayang. Dan itu bukan kemewahan yang nikmat, tapi
kewajiban yang dalam bagi seorang spiritualis.
Spiritual
itu dinamis dan penuh dialitika. Spiritual itu akan membebaskan/memerdekakan
jiwa dan pikiran kita. Kita akan bebas memilih para pemimpinnya, bebas ikut
dalam politik, bebas dari acuan tradisi dan tahayul. Bebas pula dari kekurangan
materi. Dan dalam semangat kebebbasan itu, alternative-alternatif bias diperoleh
dan kemungkinan-kemungkinan baru untuk menyelesaikan suatu permasalahan dapat
dicari.
Jadi
intinya, spiritualis sejati itu memandang hidup dan Tuhan itu sebagai maha
misteri. Hal itulah yang menyadarkan seorang spiritualis untuk selalu rendah
hati. Tuhan juga bias member cahaya kebenaranNya lewat siapa, kapan dan dimana saja.
Hal itulah yang menyadarkan seorang spiritualis untuk selalu TERBUKA DAN
TOLERAN terhadap siapa saja. Kita sadar, kebenaran kini tidak bias digenggam
sendirian oleh selapisan elite, nabi, dosen, tokoh masyarakaty. Penguasa, orang
tua dan sebagainya. Di zaman kontenporer ini, kebenaran adalah suatu realitas
yang dimiliki bersa,a. Dan hanya solidaritas berkomunikasilah yang bias melahirkan
itu, yaitu lewat dialog.
Perbedaan
pendapat dengan demikian adalah suatu rahamat. Jadi kalau ada ilmuwan,
agamawan, ataupun orangyang ngku spiritualis, tapi alergi kritik, sombong,
tertutup, fanatic dan merasa sudah paling benar, pintar, sempurna dan suci
sendiri. Saya berani katakan; Mereka sejatinya manusia pemuja selain Tuhan.
Bahkan kita juga boleh meragukan, orang itu sesungguhnya masih juga manusia
yang terdiri dari daging dan roh ataukah hanya robot berotak yang tak berjiwa!.
Saat
ini kebanyakan kesadaran jiwa manusia tenggelam dalam kegelapan, karena dalam
spiritual terlalu banyak mencari hal-hal di luar diri dan dengan pemikiran yang
bermacamacam> Tapi intinya hanya ingin menguasai dan biar terlihat lebih
dibandingkan orang kebanyakan.Hal itulah sesungguhnya yang jadi penyebab utama
banyak peristiwa-peristiwa yang tidak bias di nalar akal sehat bias terjadi,
seperti kasus sampang, korupsi kitab suci, penghancuran rumah ibadah dan
sebagainya.
Maka
jika kita memang ngaku spiritualis, cari dan kembalilah pada sang jati-diri!.
Belajar mencari yang ada didalam diri, supaya lebih mudah melihat yang di luar.
Jernih jiwa, maka kita akan melihat dengan jernih pula hal-hal yang di luar.
Kembali menemukan sang jatidiri dan hidup dalam bimbingan Ilahi. Itu inti
spiritual yang ada dalam agama dan ajaran religious manapun yang dicai sejak
zaman dulu. Intropeksi, mawas diri, berkumpul dan melakukan praktik spiritual
dengan meditasi, dari situ kesadaran kita pasti akan bangkit dan hidup seperti
kehendak Illahi, sesuai dengan kapasitas dan peran kita masing-masing.
Mencintai
Tuhan dengan sepenuh jiwa raga dan mencintai sesama seperti bagaimana kita
mencintai diri sendiri, itulah inti ajaran semua agama/spiritual. Dan tugas
utama seorang spiritualis adalah membuka wawasan umat dan tidak takut
kehilangan otoritasnya. Bimbing, berkati dan tunjukkan pada umat untuk bias menemukan
jatidirinya sendiri, kaena itulah jalan untuk bisa menemukan Tuhan yang
bersifat universal. BHINEKA TUNGGAL IKA.
Kalau
pengetahuan tentang keTuhanan dilandasi asas kebebasan penegenalan langsung
akan haqiqat kesejatian Tuhan, umat pasti juga akan lebih cerdas dan memahami
Tuhan yang menghendaki kehidupan manusia yang lebih sejahtera, tak peduli apa
itu suku ras, agama, orientasi sexsualnya, gender dan sebagainya.
Religius
sekaligus sosialistis terbuka, itulah dua gambar dalam satu mata uang yang
tidak terpisahkan. Dan hal itu tidakkah sebenarnya sudah pula dirumuskan dalam
dasar Negara kita. Pancasila?