Sabtu, 03 Agustus 2013

BANYAK JALAN MENUJU RUMAH ALLAH


Alkisah. Ada seorang pelacur yang bersimpangan jalan dengan seorang biarawati. Dan sang nabipun diminta pendapatnya tentang dua perempuan itu. Maka sang nabipun (Khalil Gibran) berfatwa;  Seseungguhnya kedua perempuan itu sama-sama sedang berjalan menuju rumah Allah. Hanya bedanya, yang satu berjalan dengan do”a. Sementara yang satunya lagi berjalan dengan air-mata.
             Spiritual itu tidak hitam-putih, tapi penuh warna, dinamis dan mesti bisa menyelam hingga di kedalaman jiwa. Tapi sayang, kebanyakan orang saat ini lebih suka berpandangan hitam-putih. Contoh, ketika terjadi konflik Syi’ah di Sampang Madura. Ada seorang tokoh masyarakat yang memberi advis begini; Jalan terbaiknya ialah bagi para penganut Syi’ah (yang dianggap sesat) itu beralih menjadi orang Suni.
Penyelesaian secara dangkal tanpa melihat-menghargai sejarah panjang orang tersebut hingga menjadi penganut Syi’ah. Dan penyelesaian secara instan seperti itu memang punya sejarah yang panjang. Beribu tahun yang lalu, para paus dan ulama juga suka mengajarkan dan melakukan hal seperti itu; Pindah agama, tinggalkan ajaran sesat dan bagi kau terbukalah pintu Surga?.
            Ketika agama hanya berhenti pada hukum dan tingkah-laku (fiqih dan syari’at), dan melupakan compassion dan tumpul rasa terhadap sekitar.  Saat itu sebenarnya telah terjadi penyempitan dalam bergagama. Karena kesempitan pandangannya itu, orang tidak jadi rendah hati (pintar secara spiritual) tapi justru jadi rendah diri. Dan untuk menutupi akan kerendahan dirinya itu, orang memang jadi suka berlebihan lagak, sombong, sok suci, sewenang-wenang dan suka memuja hal-hal yang bersifat gebyar lahiriah belaka.
 Contoh, masjid sultan Hasan di Kairo yang sering disebut sebagai teladan arsitektur Islam yang monumental. Tahukah anda, jika masjid itu didirikan justru ketika pemikiran dan peradapan Islam di titik terendah dan statis. Dengan kata lain, masjid itu didirikan hanya untuk lambang kekuasaan dan kewibawan sultan dan pemerintahannya saja. Masjid yang menghimpun banyak dana, yang memungkinkan terjadinya skandal korupsi. Masjid tempat bertemunya para pemebesar agama dan pembesar negeri, pertemuan yang bisa mulia-bisa tidak. Sementara diluar mesjid berjubel orang hidup miskin dan papa.
Contoh lain, jika anda mengikuti prosesi perjamuan kudus di gereja-gereja besar. Disitu anda akan bisa melihat piala-piala besar berukir terbuat dari emas. Benarkah menurut anda para elite agama itu dalam menduplikat piala/gelas Yesus?. Saya rasa seratus prosen salah!. Meskipun nabi, Yesus itu hanya anak tukang kayu, jadi adalah suatu hal yang tak masuk akal jika beliau ini minum dari gelas yang terbuat dari emas!.
Nah, jika para elite agama saja ternyata juga bisa berlaku salah dan bodoh, jadi hak apa mereka mengambil alih posisi Tuhan dengan menghakimi orang lain itu sebagai penganut ajaran sesat, bid’ah, kafir,  mussyrik, pendosa dan sebagainya. Pernah, bisa dan beranikah mereka menghakimi dirinya sendiri (intropeksi) yang sering meras unggul tanpa dasar, yang suka membuat kekacoan dimana-mana, suka jumawa meremehkan orang lain yang tidak sepaham-segolongan?.
Terlalu banyak tipu-daya  dalam penampilan gebyar lahiriah itu. Saya jadi kwatir, jika nanti ada orang iseng-iseng ngasih jubah dan kopiah pada seekor anjing, orang banyapun akan lantas berebutan menyalami dan menciumi itu kaki anjing. Moga saja tidak ada orang yang iseng seperti itu. Tapi bahwasannya gejala seperti itu sudah ada, itu jelas tidak bisa kita nafikan. Saat ini banyak orang berjubah-kopiah yang gualaknya bahkan melebihi anjing. Sukanya teriak-menyalak kesetanan, dengan pentungan di tangan mengamuk dan menghajar siapapun yang dianggap tidak sejalan-sebangsa dengan dirinya. Manusia macam itu khan tidak ada bedanya dengan anjing yang berkopiah dan berjubah? Pakainnnya tidak mencerminkan kepribadiannya!.
Spiritual adalah bagian intergal dari laku hidup keseharian kita. Nukan untuk pameran, gagah-gagaha, nyari pengakuan, apalagi untuk menakuti-mengancam orang lain. Spiritual itu mendidik orang untuk berani dan bisa berlaku jujur. Jujur, kalau memang belum kenal sejatinya Allah dan belum juga jadi orang suci,  ya tak perlu berlagak lagu sok suci. Kalau anda memang sukanya pakai blue jeans dan T-shirt, ya pakai saja blue jeans dan T-shirt. Itu sedikitpun tidak akan mengurangi nilai spiritual anda!.
 Spiritual itu proses pertemuan (sering pahit-dan pedih) dengan diri sendiri. Ketika kita kehilangan orang yang kita sayangi, ketika kita merasa kehilangan harapan, ketika kesunyian dan kesendirian terasa menyayat hati, ketika kita bertanya kesejatian diri, asal-muasal kita dan sebagainya. Semua itu adalah proses yang semua insan pasti akan mengalaminya, termasuk mereka yang mengaku sebagai orang atheis sekalipun.
Jadi betapa sombong dan butanya mata hati kita, jika menunjuk dengan nada menghina dan menghakimi seorang pelacur sekalipun sebagai seorang pendosa yang sesat jalan. Sementara kita tidak tahu sejarah panjang orang itu hingga menjadi pelacur, sementara kita tidak tahu japa suara jerit batinnya yang terdalam ketika melacur. Jadi hak apa kita menghakimi orang lain itu jahat, sementara kita tidak bisa berlaku adil, selain bisa elihat sisi buruknya, kita juga harus bisa melihat sisi baiknya.
Semua orang punya sisi baik dan sisi buruk. Bukankah ada beberapa orang ustad yang dipenjara gara-gara menghimpun dana umat dalam bentuk investasi bodong?. Bukankah pernah ada anggota dewan yang katanya terhormat,  ketika sidang (dibiyayai uang rakyat) bukannya mikiran rakyat malah asik buka situs bokep? Lihatlah para koruptor itu, tidakkah mereka itu orang-orang cerdas berpendidikan tinggi yang mestinya tahu mana yang benar dan salah?. Lihatlah para pembantai sesama manusia, tidakkah banyak diantara mereka mengaku sebagai orang-orang suci pengikut jalan Allah?.
U