“Beriman itu menderita.” Kata temanku setengah teller dengan selinting ganja
menyala di jemari tangannya. “ Kita seperti mencintai seseorang yang berada
antara ada dan tiada. Tapi padaku, dia lebih banyak diam dan tak pernah memberi
jawab. Capek sudah aku berdo’a dan berharap padaNya. Dan ketika permintaan
terkahirku tidak juga dikabulkanNya. Habis pula keyakinanku padaNya.”
Inilah kisah keresahan teman saya yang ingin mendapatkan kesimpulan
terakhir, bahwa iman yang di tanggungnya selama ini bukanlah hanya sebuah
keyakinan pada ruang kosong.
Pernah dia terinspirasi oleh pemikiran Marxis dan Mao Zedong; Dari puing-puing
peperangan akan terbangun masyarakat baru?. Tapi masyarakat baru yang
dijanjikan komunisme ternyata terlalu keras dan penuh darah. Sementara
diujungnya kita semua sudah tahu, komunisme sebagai idiologi sudah tidak laku!.
Pernah juga dia belajar agama. Dan kesimpulan akhirnya; Agama hanyalah tahayul
yang membodohi umat. Kitabnya saja ditulis secara liar oleh orang-orang yang
tidak tahu dan toleran kepada kebenaran sejarah. Didalamnya campur-baur antara
dongeng, data. Pewarisan nilai-nilai, halusinasi. Petuah, pelipur lara,
dan pembenaran kekuasaan.
Teman saya itupun akhirnya menjadi seorang nihilis. Ia merasa tak ada yang bisa
dinilai dari hidupnya. Tak ada yang bisa dikutuk atau dipuji dari perbuatannya,
karena semua dasar untuk menilai itu tak diakui. Kekejaman boleh, toh kelak itu
akan dilupakan?.
“Apa bedanya meditasi dengan ngisap ganja?” saya yang suka meditasipun pernah
dikuliahin. “Piyazi (abad 6 sm} pernah memotong-motong tubuh seorang pencuri
sampai kebagian yang terkecil-kecil dan tidak menemukan dengan apa yang kau
sebut dengan nyawa, roh atau jiwa itu. Demokritus yang hidup di abad yang sama
dengan Aristoteles, dengan teorinya tentang anima, entelechy dan
morphe-nya, juga tidak bisa melihat apa-apa selain atom dan kekosongan.”
Dan jawabku, “ Kamu mau berpandangan bahwa yang ada atau menjadi asas Cuma
materi dan apa yang dinamakan roh, jiwa atau nyawa itu hanya tipuan angan-angan
atau produk materi belaka. Atau kamu mau mempertahankan yang sebaliknya. Semua
terserah kepada keberanian kepercayaan kita masing-masing. Disini kita hanya
perlu jujur pada diri sendiri, sudahkah aku bahagia tentram-lahir batin dengan jalan hidupku selama ini?.”
Aku juga termasuk orang yang meragukan dogma tentang kebenaran yang muntlak
(agama). Aku juga lihat banyak idiologi dan ajaran moral yang ternyata nisbi.
Dan aku bersyukur. Ternyata pilihan hidup tidak hanya antara dogmatisme
(kebekuan akidah) dan nihilisme (tiadanya nilai sama sekali) Diantara keduanya
ada yang namanya spiritualitas yang seperti air mengalir.
Kesadaran spiritual/kebenaran hidup itu tidak dapat dicapai dengan kekerasan
dan paksaan. Melainkan dengan penyerahan utuh pribadi kita pada kemanusiaan dan
kehidupan. Dan penyerahan itu bisa dilatih dalam bentuk meditasi. Dalam
penyerahan/meditative itu seringkali disitu akan kita temukan inti
kebenaran yang akan memberi pengertian, makna dan tujuan pada kejadian kita.
Kebenaran yang bisa jadi sama dengan yang pernah orang lain terima. Bisa juga
semacam pendapat yang absurd, omong-kosong dan tak masuk akal. Tapi intinya,
itulah jalan kebenaran/kesadaran yang kita yakini dan hayati dengan sepenuh
jiwa. Bukannya cara berpikir yang kita anut dengan buta hanya karena terdorong
oleh semangat berkelompok, berpakaian seragam atau kekecutan hati andai harus
kehilangan arti.
Disaat-saat
meditative/kesadaran yang paling cerah, nyawa, roh atau sebut saja Tuhan itu
berbayang pada diri kita. Dalam roh kita itu memancar roh yang sama nilai dan
keramatnya dengan zat yang abadi dan muntlak. Dan siapa yang pernah mengalami
keakrapan dengan roh (bawah sadar} dalam kesadaran yang paling cerah itu, kita
hanya bisa berserah diri; Biarlah semua terjadi menurut kehendakNya, bukan
menurut kehendakku!. Di saat itulah tumbuh pengakuan/kesadaran kita, memang
hanya Dia yang sungguh maha segalanya.
Disini jelas bedanya, antara ngisap
ganja dan meditasi. Orang yang ngisap ganja itu tanda orang yang tidak sabaran.
Ingin bisa menggapai mimpi indah secara instan, lalu diam. Sementara meditasi
itu butuh kesabaran yang luar-biasa. Dan kesabaran kita itu terus diuji dalam
kehidupan sehari-hari. Orang meditasi juga tak mikir tujuan atau hasil.
Hasilnya seperti apa, terserah Tuhan. Dia paling tahu apa yang terbaik buat
kita. Meditasi itu indah dan nyaman, dan cukup sudah itu untuk dinikmati. Hidup
tidaklah sepenuhnya perhitungan untung-rugi. Meditasi/beribadah itu bukan pragmatisme,
jadi tidak perlu mikir hasil atau untuk mencapai target tertentu. Dan disitulah
justru keagungan ajarannya, terletak dalam ketiadaan nilai praktisnya. Dengan
kata lain; KERAJAANKu BUKALAH DI DUNIA INI!. Mengisap ganja menuju ketidaksadaran
dungu, sementara meditasi menuju kesadaran yang paling cerah/kesadaran
Illahiah.
Suatu hari, saya dan teman atheisku
bermain bersama ke pantai selatan laut Jawa. Ketika Mathari senja mulai
memerah, terdengar bersahut-sahutan ritual pemujaan kebesaran Tuhan dari
pengeras suara masjid-masjid. Dan sayapun mencari teman atheisku, dan
pujiTuhan, ternyata dia juga tengah beribadah di akunnya. Do’a yang ditulisnya
terinspirasi (pengalaman mistis) dari melihat matahari senja. Do’a yang sederhana,
jujur, tulus, aktuil dan serta-merta. Do’a yang pendek dan sederhana, tapi
dalam: SENJA YANG INDAH…………………….
Tuhan adalah sumber cahaya
keindahan. Hidup dalam keindahan itu yang akan membuat kita bersyukur, merasa
cukup tanpa harus menjadi serakah. Seperti untuk bisa menangkap keindahan
Matahari, kita cukup dengan nongkrong di bibir pantai ditemani sebotol bir. Tidak
perlu harus bisa menggenggam, memiliki sendiri apalagi harus menguasai
Matahari. Terlalu kecil kita dihadapan Matahari. Begitupun halnya kita
dihadapan Allah. Jadi belajarlah sadar diri.
Pengalaman mistis itu sama dengan
pengalaman estetika. Karena kedua-duanya menimbulkan perluasan pengalaman
sehari-hari. (Colin Wilson, Introduktion to The New Existentialisme} Pengalaman
mistis itu tidak identic dengan hal-hal aneh, tidak masuk akal atau selalu
berhubungan dengan mahkluk-mahkluk ghaib. Pengalaman mistis itu ada dalam
keseharian hidup kita. Misal, saat timbul empati kita saat melihat penderitaan sesama,
saat timbul keberanian kita untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan,
saat hati kita bergetar melihat bunga yang bermekaran, saat merasakan
ketentraman melihat kabut di pegunungan, saat meneteskan air-mata karena
ditinggal orang yang di sayang, Saat kita bersyukur atas segarnya udara yang
terus mengisi paru-paru kita, saat merasakan kedamain menyaksikan matahari
senja dan sebagainya.
Mereka yang tidak bisa melihat
alamat-alamat kebenaran ditengah alam perlambang, adalah mereka yang tidak
sanggup melihat dengan mata hatinya, tidak bisa membiarkan roh atau apa saja
sebutannya, bawah sadar, intuisi, roso-nya (jawa) untuk bersuara. Jadi meskipun
mengaku atheis, bagiku temanku itu tetaplah kuanggap sebagai seorang
spiritualis. Karena nilai seorang spiritualis memang tidak terletak pada
pengakuan, kulit luar atau kelompoknya. Selama orang itu masih mau terus berproses
menuju kesempurnaan hidup, mau untuk terus mencari kesejatian diri. Orang itu
berarti seorang spiritualis.
Jadi tak masalah orang itu mau mengaku atheis,
agamawan. Agnostic, abangan, kejawen, atau apa saja sebutannya, yang
terpenting itu bagaimana sikap hidup dan perbuatan/kelakuan orang itu terhadap sesama
manusia maupun dengan segala cipataanNya. Mereka yang menghormati dan mencinti segala
ciptaanya, berarti juga telah menghormati dan mencintai Dia yang menciptakan.
Soal orang itu ngaku atheis itu bukan masalah.
Tuhan juga tidak butuh pengakuan, seperti matahari mau dihujat atau di
puja dia tetap menyinari semua dengan kasihnya
Tuhan juga tidak akan mempermasalahkan,
manusia mau memuja-sanjung atau menghujat-membencinya. Tidak ada bedanya.
Mereka yang memuja-sanjung bisa jadi itu hanya bentuk penjilatan yang
menyembunyikan pamrih keserakahan. Sementara mereka yang menghujat-membencinya,
bisa jadi itu bentuk ekspresi kerinduannya yang tak tertahankan. Semua hanya
Tuhan yang tahu.
Sementara yang aku tahu, teman atheisku itupun sebenarnya ingin bisa melihat/mengenal
sejatinya Allah. Dan dia berani berlaku
jujur, karena merasa belum /tidak bisa melihat/mengenal sejatinya Allah, maka
diapun mengaku sebagai seorang atheis. Lho, masak orang berlaku jujur
disalahkan, orang berlaku jujur di kafirkan, disesatkan dan disuruh bertaubat.
Jadi sekarang silahkan anda pikir-pikir dan timbang-timbang sendiri,
sebenarnya siapa disini yang lebih bermartabat/punya moralitas; Teman saya yang
ngaku atheis tapi punya keberania bersikap dan berlaku jujur ataukah mereka
yang merasa sudah kenal-dekat Allah, tapi suka memaksa dan mengancam orang lain
agar suka berbohong!.
Katanya percaya Tuhan itu maha mendengar, ngapain juga untuk memujaNya harus pula koar-koar pakai pengeras suara! Jadi secara pribadu, saya tak pernah peduli seseorang itu inputnya darimana, yang penting bagi saya adalah autputnya itu seperti apa!