Sabtu, 19 Juli 2014

meditation jaurney



Surat terbuka buat, anakku.
Hidup itu seperti tauring, nak. Jadi tak perlu beridiologi seperti para pengendara motor besar ataupun para pelaku bom bunuh diri. Orang-orang yang telah terjangkiti penyakit “demam tujuan”, orang-orang yang ingin cepat-cepat sampai tujuan. Lalu ngapain?. Dan orang-orang seperti itu biasanya fanatic, arogan, tidak toleran dan kurang bisa mensyukuri hidupnya. Orang-orang yang tidak paham rahasia pengembaraan.
Hidup itu misteri. Kita tidak akan pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Kau tak pernah menyangka bisa kuliah, ternyata kini kau bisa kuliah. Bisa meraih gelar  S-1, syukur. Andai harus DO juga tak perlu patah semangat. Jangankan kuliah,  Berapa lagi waktu yang akan Tuhan berikan pada kita untuk bisa melihat terbitnya surya, kita tidak akan pernah tahu.  Dan itu justru yang membuat hidup sedemikian berarti. Kita wajib berjuang semampu kita untuk bisa meraih mimpi-mimpi kita. Tapi lebih dari itu yang paling mendasar ialah, kesiapan diri kita untuk bisa dengn lapang dada menerima apapun yang akan terjadi dan Tuhan berikan. Kalau gagal ya tak perlu terlalu bersedih dan kalau berhasil ya tak usah menepuk dada.
Jika kau bisa begitu, kau sebenarnya telah menjadi seorang yang meditative. Dalam ajaran Kejawen itu disebut Sholat da’im atau beribadah dimana sja, kapan saja dan sambil melakukan aktivitas apa saja. Dalam bahasa latinnya orang katakana, ora et labora (bekerja dan berdo’a). Jadi meditasi tidaklah harus duduk diam memejamkan mata dan mengisolasikan diri dari hiruk-pikuk kehidupan. Tidak. Jika kita meletakkan segala perbuatan dengan kesadaran penuh, itupun sudah bisa dikata sebagai meditasi.
Cuma sayangnya, di zaman modern kebanyakan orang lebih sibuk memikirkan apa yang akan dilakukan (maju) ataupun memikirkan apa-apa  yang telah terjadi (mundur) Kita kerap tidak meletakkan pikiran kita pada keadaaan yang benar-benar saat ini sedang kita hadapi. Bahkan banyak dari kita yang lebih suka melarikan diri dari kenyataaan yang ada. Dan akibatnya, antara pikiran, jiwa, mulut dan perbuatannya seringkali paradokal. Tidak ada satunya. Teriak Tuhan maha pengasih dan penyayang, tapi kelakuannya bengis dan kecam. Itulah tanda-tanda orang yang tak suka bermeditasi.
Jadi meditasi adalah salah satu jalan untuk menumbuhkan kesadaran dan wawasan ditengah hiruk-pikuk kehidupan sehari-hari. Dan syarat untuk bisa bermeditasi itu sederhana saja, yaitu sabar dan nikmati saja segala yang ada,
Tuhan memberiku kemalangan, aku terima dengan hati lapang. Tuhan memberiku kerja keras, aku menerimanya dengan iklas,. Tuhan memberiku cobaan dan kesengsaraan, aku memahaminya sebagai irama kehidupan yang akan membesarkan dan menguatkan jiwa. Dan siapa yang telah punya kebesaran jiwa akan bisa berjalan mengarungi kehidupan dengan santai dan riang. Keindahan dan kebahagian ada disepanjang jalan yang kita lalui, bukan hanya di tujuannya saja. Kau bertujuan ingin menyelesaikan kuliah? Itu bagus. Tapi lebih bagus lagi jika kau bisa pula menelisik kepingan-kepingan kecil keindahan yang ada disekitarmu, yang akan memberimu kebahagian dan menumbuhkan rasa syukur.
Begitupun jika kau ingin membahagiakan kedua orang-tuamu. Kau tidak perlu harus menunggu lulus kuliah atau setelah mapan secara financial. Sekarangpun jika mau kau bisa untuk membahagiakan kedua orang-tuamu, dengan hal-hal kecil tapi sangat berarti, seperti tidak lupa berterima-kasih setelah dapat kiriman uang hahaha ………(canda, mas) kau tetap bisa berlaku sabar dan tabah, meskipun uang di ATM sudah ludes dan perut keroncongan, tapi tetap berjalan tegak (biasa mas…. Sambil lirak-lirik kanan-kiri, lihat warung mana yang belum diutangi hahaha……)Biar miskin tetap percaya diri dong, mahasiswa je. Pokokknya tetap jujur dan kalau merasa benar tak perlu ada yang ditakuti. Pema’af tapi juga tak malu minta ma’af kalau memang salah. Tetap rendah hati dan menghargai sesama.
Dari Hal-hal kecil seperti itu, bapak-ibu sudah akan lebih dari cukup bahagia jika itu ada pada dirimu. Karena artinya, sudah mulai ada keseimbangan didirimu antara IQ (kecerdasan intelektual) dengan EQ (kearifan emosional). Dan EQ itu tidak diajarkan dibangku kuliah, Itu adanya dalam pengalaman hidup sehari-hari. Sekolah hanya menyiapkan kamu jadi pekerja, tidak membentuk kamu jadi orang yang arif dan bahagia. Kearifan dan kebahagiaan harus kamu cari sendiri.
Sebenarnya bapak juga tidak tega, untuk melepasmu pergi sendirian untuk menuntut ilmu jauh diseberang lautan sana. Tapi siapa tidak mau dan berani  untuk keluar dari zona aman, dia tidak akan bertambah kearifannya. Jadi tega ndak tega, ya harus tega melepasmu untuk bertualang-mengembara sendirian, karena itu yang akan membentukmu kelak menjadi manusia yang mandiri, tangguh, penuh percaya diri serta berani memikul tanggung-jawab dan mengambil pilihan hidup.
Bukan hanya anak kuliahan saja yang bisa stress, nak. Hampir semua pelajar dari TK sampai mahasiswa kini banyak yang hidup dalam depresi dan tekanan, karena kurikulum sekolah yang terlalu menekankan pada pencapaian nilai akademik semata. Demi nilai mereka juga tak segan-segan berlaku curang, nyontek, pakai joki, hingga beli jawaban ujuan dan skripsi. Karena dari sekolah sudah tidak diajar-latih tidak jujur, maka tak usah heran ketika sudah bertitel dan kaya-rayapun masih tega merampok-menjarah uang rakyat (korupsi).
Jadi memang sangat perlu itu adanya keseimbangan antara IQ dan EQ, karena itu yang akan menuntunmu pada pencapaian haqiqat kebahagian dan kesejatian hidup di dunia ini. Jadi selain memandang keatas (menumbuhkan motivasi untuk maju), kita juga perlu memandang ke bawah. Melihat realita, betapa sesungguhnya masih banyak sekali  orang-orang yang hidupnya jauh lebih sulit dan menderita daripada kita. Kita masih bisa melihat, mendengar, makan apa saja dan pergi kemana kita suka. Luar-biasa karunia Tuhan yang dilimpahkan tiap detiknya itu, masak kita tidak bisa hidup dengan penuh rasa syukur dalam limpahan berkahNya.
Di zamannya, di Gunung Kidul-Yogyakarta, penduduknya pada makan nasi Tiwul (singkong) karena dipaksa oleh kemiskinannya, hingga tak mampu lagi untuk membeli beras. Tapi sekarang? Kuliner nasi Tiwul sekarang terkenal bukan karena penduduk disana masih miskin. Tidak. Kuliner itu  terkenal karena menjadi kuliner penuh kenangan pada zaman susah. Lha, waktu susahpun ternyata bisa jadi kenangan yang patut dikenang. Seperti hidupmu saat ini, nak. Sebagai anak kost, ibaratnya hari-harimu hanya makan mie dan mie. Tapi percayalah pada kata-kata bapak ini, “Pindah kamar kost itu gampang, tapi membuang kenangannya itu yang susah”.
Pernah bapak dan ibu mau tauring ke pantai Sundak lewat jalan alternative. Seperti biasa, kesasar-sasar. Hari itu bapak dan ibu tidak sampai di pantai Sundak, tapi justru menemukan pantai tersembunyi yang sepi tapi tak kalah indah dan eloknya dari pantai Sundak di Wonosari itu. Apa makna dari perjalanan itu? Maknanya ya tak perlu demam tujuan. Nikmati-syukuri dan ambil hikmahnya apa saja semua momen-momen disepanjang jalan hidup kita yang diberikan oleh Tuhan. Selalu berprasangka baik, tidak hanya pada sesama tapi juga pada kehendak Tuhan.
 Moga waktu masih akan kembali menyatukan kita dalam petualangan bersama yang lebih seru dan gila-gilaan. Dan ingin kudengar lagi kata-katamu, yang diucapkan tidak dengan ketakutan tapi justru dengan tertawa lepas, “Wah, kita tersesat, pak. Hahaha…………………….”. Kau tertawa karena sudah hapal jawaban apa yang akan bapak berikan.
(Inilah akibat saya suka gunakan tradisional GPS (gunakan penduduk setempat) Ketika aku dan anakku tauring di wilayah kabupaten, dengan nada cemas dia pernah bilang. “Wah, kita tersesat, pak.” Dan dengan tenang saya jawab, “Tersesat apa, wong kita masih di Magelang.”. Ketika tauring wilayang propinsi, anakku juga pernah katakan, “Wah kita tersesat, pak. “ Dan saya jawab, “Tersesat apa, orang kita masih di Jawa-tengah. “ Ketika tauring antar propinsi tanpa sadar anakku juga pernah katakan, “Ah, kayaknya kita tersesat,pak. “ Dan jawaban saya tetap sama, “Tersesat apa. Orang kita masih di pulau Jawa.” Pernah juga ketika pertama ke Tanah Toraja – Sulawesi, Kami salah jalan dan kesasar hingga ke desa terujung-terpencil dan tak ada jalan lain lagi selain balik lagi. Dan kami hanya tertawa, tak sedikitpun merasa tersesat. Tersesat apa? Kita ini orang Indonesia dan masih ada di Negara Indonesia. Dan jika suatu saat nanti mungkin saya bisa keliling dunia dan ternyata salah jalan, saya tetap tak akan pernah merasa tersesat. Dimana tersesatnya? Saya sebagai mahkluk Tuhan, masih juga berpijak diatas tanah ciptaan Tuhan.)
Jadi terus-terang bapak juga suka heran, dengan adanya orang-orang yang suka memvonis orang lain sebagai pengikut ajaran sesat. Padahal orang yang memvonis itu sendiri juga masih mencari jalan kebenaran, dan seperti umumnya orang yang masih mencari, kemungkinan dia untuk tersesat jalan juga tetap ada. Jadi daripada saling menyesatkan, bukankah lebih baik kita ini saling mencerahkan, memotivasi, menginspirasi dan menghormati pilihan hidup kita masing-masing?.
Silahkan anda mau berkotbah dan mau mengajak orang lain ke jalan kebenaran yang anda yakini, tapi kalau orang lain tidak mau terima ya tidak usah sewot, marah  apalagi ngamuk-ngamuk. Santai saja, bos. Karena bisa jadi, apa yang anda yakini sebagai kebenaran yang berharga itu, buat orang lain bisa jadi hanya dianggap sebagai sampah dogma. Seperti saat ini, semakin banyak saja orang gila (berbaju bersih) yang suka berkotbah (ngomong sendiri/komunikasi satu arah}. Dan seperti umumnya orang gila,  kejiwaan orang ini juga labil. Habis kotbah, bahwa Tuhan itu maha pengasih dan penyayang, kelakuannyapun langsung mutar 180 derajat jadi bengis dan kejam. Suka marah-marah, mengancam dan ngamuk-ngamuk sambil bawa pentungan. Gila ngak, tuh?
Alkisah, ada seorang pelacur yang bersimpangan jalan dengan seorang biarawati. Dan sang nabi abadi dari Libanonpun bersabda, “ Sesungguhnya, aku sedang melihat dua wanita yang sedang sama-sama berjalan ke rumah Allah. Hanya bedanya, yang satu berjalan dengan do’a, sementara yang satunya berjalan dengan air-mata.”
Intinya, kita itu sesungguhnya tidak bisa dan perlu menghakimi profesi atau pilihan hidup seseorang. Pelacur mungkin dianggap sebagai sampah masyarakat, tapi biar bagaimanapun dia tetap  seperti kita sebagai sesama mahkluk ciptaan Tuhan. Kita harus tetap hormati dan hargai sisi manusianya tapi bukan perbuatannya. Seorang biarawati mungkin dianggap sebagai mahkluk yang suci di masyarakat, tapi harap diingat juga, bahwa mereka yang membunuh Yesus, Al-Hallag maupun Gandhi, adalah mereka-mereka para ahli agama yang mulutnya sangat fasih mengutip ayat-ayat suci.
Moga IQ dan EQ mu makin berimbang, nak, dan cari, temukan dan jadilah dirimu sendiri apa adanya.



Rabu, 05 Maret 2014

Piye kabare....................




Gambar pak Harto, mantan presiden kita yang tengah melambaikan tangan sambil tersenyum Monalisa (senyum misterius penuh berjuta makna) kini banyak terpampang dimana-mana. Dan biasanya disamping gambar itu disertai tulisan yang bernada menyindir ; Piye kabare………… Isih penah zamanku tho? (Bagaimana kabarnya…….. Masih enak zaman saya khan?).
            Tiap membaca tulisan itu, sayapun sering langsung menjawab dalam hati, “Piye kabare? Senang mbah, sekarang bisa nonton barongsai dan menulis lelucon seperti dibawah ini tanpa takut diculik tentara.”
LELUCON TUYUL (T) DAN MBAH YUL (MY)
            MY : Coba presiden RI pertama suapa, Yul?
            T    :  Ir. Soekarno!
            MY : Kalau presiden RI kedua siapa hayo?
            T     :  Sri Sulthan hamengkubowono ke IX
            MY ;  Apa? Lalu kalau presiden RI ke tiga siapa?
            T    ;  Adam Malik!
            My ; ,,,,?? Kalau presiden RI ke empat?
            T  ; Umar Wirahadikusamah!
            MY; ……….??? Presiden RI ke lima?
            T  ;  Sudharmono!
            MY’:………………??? Presiden RI ke enam?
            T   ;  Tri Sutrisno!
            MY;  ………………????? Presiden RI ke tujuh?
            T  ;  BJ, Habibie!
            “ Dasar, Guooblokkk!!! Lalu kamu pikir ini siapa?” teriak mbah Yul sambil menunjukkan lembaran uang kertas 50.000 rupiah yang bergambar pak harto lagi tersenyum.
            Melihat gambar dalam uang itupun si Tuyul langsung tersenyum dan menjawab, “Itu khan raja saya!”
            Di zaman orde baru, ada lembaran uang kerta bernilai 50.000 yang bergambar pak Harto, ada pula lembaran uang kerta bernilai 500, rupiah bergambar orang hutan. Dan di zaman itu ada seorang pelawak yang ditangkap tentara, karena membuat lelucon yang mengatakan, bahwa uang 50.000 itu mbah-nya (kakek-nya) uang 500 rupiah. Dengan kata lain……………….hahaha…………….. silahkan anda terjemaahkan sendiri.
           Hanya orang yang telah matang jiwanya yang bisa dan punya keberanian untuk menertawai dirinya sendiri. Dan menurut saya, diantara para  mantan presiden kita, Gus Dur lah orangnya yang paling matang jiwa/spiritualnya. Ketika para politisi (bukan rakyat banyak) mengeroyok dan memaksa Gus- Dur untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden, dengan gaya santainya yang khas, Gus Durpun menjawab, : Orang mau jalan maju aja susah, kok malah disuruh mundur……………………….”
            Salah satu sumber kebaikan dalam bermasyarakat itu dimulai dari rumah yang hangat dan penuh penghormatan pada masing-masing individu dalam keluarga. Jadi jika ada orang punya kesombongan, arogansi, kemarahan dan dendam, pada saatnya orang itu pasti akan cenderung membalas dan menjadi otoriter. Ada study memperlihatkan, seorang penindas belajar kekerasan dari orang tuanya.
            Kita semua tahu, pak Harto kecil itu cuma anak petani miskin. Tapi dalam pembentukan karakter, bukan status social itu yang utama. Yang mendasar adalah, punya masa kecil yang bahagia tidak dia waktu itu., Kalau dari awal anak karakternya bagus, pasti akan menjadi orang yang toleran dan pema’af.. Anak yang dialiri penuh kasih-sayang, pada saatnya nanti anak itupun akan mengalirkan kasih-sayang yang ada didirinya pada orang kebanyakan.
            Dan pak Hartopun kemudian bertemu dan menikah dengan ibu Tien yang berasal dari keluarga priyayi, ningrat atau bangsawan. Kalangan bangsawan itu paling banyak dikritik-cemooh karena sikap feodal-patriarkhnya yang penuh hierarki, tapi sisi baiknya, kebanyakan kaum bangsawan itu pada umumnya suka membaca sastra dan filsafat, punya penghormatan pada etika kehalusan budi, keluhuran sikap dan sadar akan kewajiban dan kehormatan dirinya.
            Tapi orde baru adalah zamannya para kongklomerat, zamannya para kapitalis atau borjuis berjubah kemurnian Pancasila. Dalam perspektif kaum ningrat, khususnya Jawa yang mengagungkan moralitas dan etika, orang yang berhati saudagar itu cenderung dipandang sebelah mata, karena dipandang penuh intrik, tipu-muslihat, pragmatis dan hanya untung-rugi yang dipikirkannya.
            Padahal sebenarnya tidak buruk atau salah juga, andai yang menggantikan hati para bangsawan itu para saudagar yang meski tak suka sastra dan filsafat tapi pekerja keras yang sibuk mikirin masalah kemakmuran.
            Cuma celakanya, di zaman orede baru itu yang lahir adalah mahkluk-mahkluk perkawinan dari feodalisme dan prakmatisme yang seperti ini ; Orang yang gemar kemakmuran duniawi, tapi tak mau berkeringat (cukup hanya mengandalkan KKN), orang yang menginginkan kehormatan tapi tak ingin setia pada etika, di zaman orde baru, siapa yang berani berseberangan dengan penguasa pasti di sukabumikan, orang yang menuntut haknya langsung dicap PKI ( tragedi waduk Kedung Ombo contohnya). Orang hormat karena takut, bukan penghormatan yang keluar dari ketulusan jiwa. Sungguh menyedihkan, sebagai bangsa yang katanya kaya-raya, kita tidak cukup punya kehormatan untuk tidak mengemis-ngemis pada IMF. Jadi segala cara dihalalkan, mengemis, membunuh, menculik, sok suci, yang penting bisa tetap terus berkuasa 
            Jadi intinya, di zaman orde baru itu kebanyakan hanya melahirkan ular-ular berkepala dua. Kepala ular yang pertama, bermahkotakan keningratan tapi tidak punya jiwa kebangsawanan/negarawan. Sementara kepala ular yang kedua, berotak kapitalis tapi tidak mau kerja keras!.
            Moga di tahun 2014 ini kita diberi pemimpin yang berjiwa matang dan berotak cemerlang. Jika di zaman penjajahan ada semboyan DIVIDE ET IMPERA (memecah-belah dan  menguasai),  hati-hati, saat inipun banyak orang yang bersemboyan DIVIDE ET AMPERA (memecah-belah dan berteriak; amanat penderitaan rakyat}. Yang keduanya ujung-ujungnya sama, mau berkuasa!.
Maka advis saya; pilih pemimpin yang bisa memberikan hak dan kehormatan yang sama pada setiap manusia, tanpa memandang etnis, golongan, status social, agama, dan jendernya. Sekaligus pemimpin yang punya keberanian sikap untuk menindak tegas ormas atau elemen-eleman dalam masyarakat yang suka bertindak anarkis, memuja kekerasan, suka memaksakan kehendak dan hendak mencinderai komitmen social dan consensus bersama yang telah kita sepakati  sebagai bangsa yang berBHINEKA TUNGGAL IKA!.

Minggu, 09 Februari 2014

CATATAN ORANG KAFIR



            “KAMU ITU ORANG KAFIR!” pernah saya disemprot begitu oleh seseorang karena saya mengaku tidak beragama. Dan sayapun menjawab santai, “Masak baru tahu sekarang kalau saya ini orang kafir, padahal sejak lahir saya ini sudah jadi orang kafir. Mana ada sih, bayi yang terlahir langsung ngaku/ngomong apa agamanya!”
             Makin marah saja orang itu dengar jawaban saya. Maka orang itupun lantas bawa-bawa nama Tuhan dan mengutuki saya sebagai calon penghuni kerak Neraka. Dikutuki begitu saya malah jadi tersenyum, apalagi ketika teringat puisi naratifnya Dante Aliegheri,  DIVINA COMMEDIA, kisah peziarahan dari Neraka, melalui api penyucian, ke Surga (Inferno, Purgatorio, Paradiso).
            Ketakutan muncul dari ketidaktahuan!. Seribu persen saya percaya. Siapa yang ketakutan dengan Neraka, orang itu pasti belum pernah berpengalaman mengunjungi Neraka. Dan seribu persen saya juga percaya, orang yang sungguh-sungguh totalitas mencintai Tuhannya, pasti akan mampu melampoi dualitas, hingga Surga tak membuatnya ngiler dan Nerakapun tak membuatnya keder.
            Para penulis kitab suci memang kurang jeli. Bahwa sebagai metaphor, api itu ambivalen. Ada api Ilahi ada api Satani, ada api Purgatorio ada api Inferno, ada api cinta ada api benci, ada api lilin penerang hati ada api rokok perusak paru. Ambiguitas api, berakibat ambiguitas tingkah-laku manusia pula. Bukannya memadamkan api, banyak orang saat ini justru lebih suka membesar-besarkan api, terutama api kebencian, ketakutan dan permusuhan.
             Hampir setiap manusia punya bibit menjadi pyromaniac (penderita kelainan jiwa yang punya keiniginan tak terkendali untuk membakar sesuatu). Dan jangan dikira hanya kaisar Nero yang pyromaniac. Di zaman ini, orang-orang yang gampang marah-marah, ngamuk-ngamuk dan gemar menebar terror dengan meledakkan bom disembarang tempat itupun sebenarnya termasuk penderita pyromaniac.
             Kita semua tahu, sejak dari zaman para nabi hingga sekarang ini, banyak para nabi, orang suci dan spiritualis yang di kafirkan. Orang seperti almarhum Gus Dur juga ada yang mengkafirkan dan dianggap sebagai agen Yahudi.. Jadi banyak temannya kalau Cuma dituduh kafir itu. Jadi saya juga hanya tertawa saja ketika dituduh kafir, lagian yang nuduh juga Cuma orang gila (pyromaniac).
            Coba sedikit belajar pakai logika. Kalau saya dituduh kafir, apakah saya lantas benar-benar menjadi orang kafir? Khan tidak!.  Apakah burung Elang yang dituduh sebagai ayam, lantas elang itu menjadi ayam? Khan tidak! Begitupun sebaliknya, apakah burung gagak yang mengaku dirinya Burung Merak, lantas gagak itu menjadi Merak? Apakah orang yang ngaku/bergaya lagak-lagu sebgai orang suci, lantas orang itu benar jadi orang suci? Apakah orang yang mulutnya bisa ngoceh banyak tentang Surga dan Neraka, orang itu benar-benar telah tahu dan berpengalaman mengunjungi Surga dan Neraka?. Apakah orang yang mulutnya fasih mengutip ayat-ayat suci, lantas orang itu bisa menjadi Tuhan?. Tuhan (dengan ‘t’ kecil) yang merasa punya otoritas untuk menghakimi bahwa si A kafir, si B suci, si A masuk Neraka, si B masuk surga dan sebagainya?.
            Sesungguhnya hanya Tuhan yang punya otoritas untuk itu. Jadi apa namanya manusia sombong yang menyamakan dirinya dengan Tuhan itu?. Manusia yang suka meninggikan dirinya atas sesamanya dan suka menghakimi dengan semena-mena mereka yang tidak sepaham sebagai si kafir dan sesat.  Akan adilkah putusan itu, sementara kita hanya bisa menilai seseorang itu dari apa yang terlihat di luarnya? Padahal sumber kebajikan dan dosa itu ada didalam jiwa dan pikiran kita masing-masing.
Orang beriman sejati tidak butuh pengakuan dari masyarakat.  Karena keimanan itu masalah pribadi, hubungannya dengan kejujuran,hati dan Illahi. Jadi kalau ada orang ngaku beriman, tapi sukanya menilai hanya dari gebyar lahiriah belaka, ataupun orang yang suka ribut dan berkelahi hanya karena label dan atribut. Itulah cirri-ciri dari manusia tolol, rendah diri, berpandangan sempit dan dangkal imannya.
             Pluralitas itu realita yang tidak terhindarkan. Persoalan dimulai ketika berbagai perbedaan itu dipaksakan memasuki satu kotak identitas. Karena itu bagi saya, pengotakan identitas harus dibongkar. Dalam kotak tanpa terkotak. Titik awalnya darimana? Minimal kalau kita bertemu dengan orang yang beragama/berkeyakinan/beridentitas lain, kita tidak melihat orang itu sebagai obyek dakwah untuk mengubah orang itu seperti kita. Kita belajar menghargai orang yang punya pilihan berbeda dengan kita. Seperti kita, mereka juga punya sejarah panjang yang membentuk dirinya kini. Jadi langkah pertamnya adalah;            JANGAN SUKA MELABELI ORANG LAIN! Entah itu sesat, kafir, bid’ah, musyrik, sirik dan sebagainya.
 Pengotakan identitas itu hanya akan menimbulkan sengketa. Karena itu jangan pernah mau dikategorisasikan berdasarkan satu criteria saja. Karena kenyataanya, kita punya banyak criteria. Entah itu berbasis suku, ras, agama, profesi, pendidikan, pandangan politik, komitmen social dan masih banyak lagi. Upaya untuk memasukkan kita dalam satu identitas saja, hanya akan memperuncing salah-paham dan prasangka buruk. BAHKAN RASA KEMANUSIAAN KITA AKAN HILANG, jika kita hanya terpaku pada satu identitas saja. Misalnya sebuatan identitas pribumi dan non pribumi,  sebuatan hitam oleh apartheid Africa Selatan, stigma PKI oleh rezim Orde Baru,, tuduhan kafir oleh orang-orang sok suci dan sebagainya.
Jadi kita harus selalu sadar, bahwa ada orang lain dengan keyakinan lain. Dan mereka juga memikirkan, bekerja dan punya harapan yang sama dengan kita untuk bisa melihat tegaknya keadilan dan kebenaran, mereka juga ingin hidup sejahtera-bahagia lahir dan batin. Jadi tidak masalah menurut saya membicarakan/memperdebatkan masalah teologi, yang penting terbangun trust diantara kita. Karena dialog masalah teologi tanpa adanya trust yang ada pasti hanya prasangka.
Soal toleransi, pluralisme dan teologi, kita tidak bisa ngomong hanya dari ayat-ayat atau dalam tataran argument teoritis belaka. Karena tantangan terbesarnya adalah pada tingkat kongkretnya. Kalau ngaku orang toleran ya jangan menindas!. Kalau percaya Tuhan maha pengasih dan penyayang, ya kelakuannya jangan bengis dan kejam!.
Pluralisme pad level social adalah kerja sama dengan kelompok yang berbeda. Tidak dalam teologis/keagamaan. Tapi dalam menghadapi system social. Politik dan ekonomi yang tidak adil Apa yang dilakukan uskup Demon Tutu dari Africa Selatan bisa menjadi contoh paling kongkrit dalam memperlihatkan keindahan wajah agama di ruang public. Ketika beliau membuat gerakan anti apartheid tanpa dilandasi kebencian dan dendam pada orang kulit putih. Beliau juga mengajak kelompok dari agama lain, salah satunya Maulana Farid Esack, yang juga pejuang gigih untuk hak-hak minoritas, perempuan dan kaum miskin.
Jadi kalau kita punya tujuan yang sama dan saling bahu-membahu, bagaimana kita bisa melabeli kelompok lain itu sebagai kafir dan sesat?. Belajar agama/spiritualitas dengan yang punya kelainan lain itu, selain akan membuka cakrawala pemikiran kita juga akan membentuk kedewasaaan sikap  dan memperdalam keimanan kita. Banyak orang takut perubahan karena kedangkalan imannya. Jadi bagaimana kita yakin, bahwa pilihan kita itu sudah yang terbaik, kalau kita tidak mau terbuka dan mengenal keyakinan yang lain. Para spiritualis sering katakan, “Kita tidak akan mungkin bisa mengenal sejatinya Tuhan, sebelum kita bisa kenal dan jadi dirinya sendiri. Dan kita juga tidak akan mungkin bisa mengenal siapa diri kita sendiri, sebelum kita mau mengenal orang kebanyakan.”
            Dalam sufisme (mengajarkan esensi) ada ungkapan, “Hikmah (kebijaksanaan) adalah barang milik orang beriman yang hilang. Maka dimanapun kau temui, pungutlah!” Tuhan sudah memberikan kemampuan kita membedakan mana sampah –mana barang berharga. Jadi tidak perlu takut jadi diri sendiri, tidak perlu takut jadi orang yang terbuka dan berpengetahuan luas. Iapi bukan sekedar berpengetahuan luas copy-paste mbah Google. Tapi sadar berpengetahuan, pinjam istilahnya Francis Bacon, “Kebenaran akan muncul bukan sebagai olah pikir analistik di meja bedah. Tapi pada saat pikiran jernih tak berkabut hingga rembulanpun kelihatan utuh bersinar terang. ‘ Dengan kata lain, bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh manusia dari hasil studi semata, tapi merupakan kebijaksanaan Illahia atau akal budi yang diterangi iman (budi pekerti luhur).
Bagi yang atheis? Tak masalah buat saya, selama orang itu bisa berlaku jujur, tidak merugikan /mengganggu orang lain, syukur-syukur apa yang dilakukannya itu memberi manfaat bagi orang lain. Pinjam kata-katanya Mao Zedong, “Tak masalah kucing itu mau warna hitam atau putih, yang penting kucing itu bisa nangkap tikus.)
Saya tetap hargai dan hormati pilihan orang untuk menjadi atheis. Orang atheis ada karena Tuhan merestui. Kal;au Tuhan tidak merestui, pasti orang atheis tidak ada di muka bumi. Saya menghargai kehendak/keputusan Tuhan karena itu saya juga menghargai dan menghormati pula keputusan orang untuk menjadi atheis. Kalau Tuhan saja tidak mempermasalahkan, ngapain kita harus meributkan?. Sementara yang saya tahu, kebanyakan dari mereka yang mengaku atheis itu, paling banyak bertanya, berdialog dan gigih dalam mencari kesejatian Tuhan. Itu khan tipikal orang theis sejati?. Sejatinya spiritualitas/keimanan itu memang tidak dogmatis, tapi pencarian yang terus menerus. Tidak bisa instan, tapi butuh proses. Bukan pengetahuan tekstual, tapi pergulatan/persentuhan langsung dengan kenyataaan.
Kenyataan memang sringkali bisa menghanguskan harga diri. Karena itu hanya orang-orang yang telah matang spiritualnya, dewasa pemikirannya, yang bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.
Jadi pada mereka yang mengaku atheis sekalipun, sebenarnya kita tidak bisa melabeli sebagai orang kafir. Kafir itu ada di hati dan pikiran. Bagaimana mungkin kita bisa mengadili hati dan pikiran orang lain?. Kita baru bisa mengadili, ketika kafir itu menjadi kata kerja. Contohnya, sekalipun anda itu tokoh agama, tapi kalau anda itu korupsi/maling/rampok, itu kelakuan orang kafir. Sekalipun mulut anda fasih mengutip ayat-ayat suci, tapi anda suka mengintimidasi, meneror bahkan membunuh , itu juga kerjaan orang kafir. Sekalipun anda wakil rakyat yang katanya terhormat, tapi ketika bersidang yang dibiyayai oleh uang rakyat dan seharusnya mikirin soal rakyat, tapi di ruang sidang ternyata anda hanya asik nonton bokep, itu juga kerjaan orang kafir.
Jadi buat saya tidak masalah kalau Cuma dituduh kafir. Yang penting esensinya saya tidak melakukan pekerjaan yang mengganggu/merugikan orang lain (kafir dalam kata kerja).