“KAMU ITU ORANG KAFIR!” pernah saya disemprot begitu oleh seseorang
karena saya mengaku tidak beragama. Dan sayapun menjawab santai, “Masak baru
tahu sekarang kalau saya ini orang kafir, padahal sejak lahir saya ini sudah
jadi orang kafir. Mana ada sih, bayi yang terlahir langsung ngaku/ngomong apa
agamanya!”
Makin marah saja
orang itu dengar jawaban saya. Maka orang itupun lantas bawa-bawa nama Tuhan
dan mengutuki saya sebagai calon penghuni kerak Neraka. Dikutuki begitu saya
malah jadi tersenyum, apalagi ketika teringat puisi naratifnya Dante
Aliegheri, DIVINA COMMEDIA, kisah peziarahan dari Neraka, melalui api penyucian, ke Surga (Inferno, Purgatorio,
Paradiso).
Ketakutan muncul dari ketidaktahuan!. Seribu persen saya
percaya. Siapa yang ketakutan dengan Neraka, orang itu pasti belum pernah
berpengalaman mengunjungi Neraka. Dan seribu persen saya juga percaya, orang
yang sungguh-sungguh totalitas mencintai Tuhannya, pasti akan mampu melampoi
dualitas, hingga Surga tak membuatnya ngiler dan Nerakapun tak membuatnya
keder.
Para penulis kitab suci memang kurang jeli. Bahwa sebagai
metaphor, api itu ambivalen. Ada api Ilahi ada api Satani, ada api Purgatorio
ada api Inferno, ada api cinta ada api benci, ada api lilin penerang hati ada
api rokok perusak paru. Ambiguitas api, berakibat ambiguitas tingkah-laku
manusia pula. Bukannya memadamkan api, banyak orang saat ini justru lebih suka
membesar-besarkan api, terutama api kebencian, ketakutan dan permusuhan.
Hampir setiap
manusia punya bibit menjadi pyromaniac (penderita kelainan jiwa yang punya keiniginan
tak terkendali untuk membakar sesuatu). Dan jangan dikira hanya kaisar Nero
yang pyromaniac. Di zaman ini, orang-orang yang gampang marah-marah,
ngamuk-ngamuk dan gemar menebar terror dengan meledakkan bom disembarang tempat
itupun sebenarnya termasuk penderita pyromaniac.
Kita semua tahu,
sejak dari zaman para nabi hingga sekarang ini, banyak para nabi, orang suci
dan spiritualis yang di kafirkan. Orang seperti almarhum Gus Dur juga ada yang
mengkafirkan dan dianggap sebagai agen Yahudi.. Jadi banyak temannya kalau Cuma
dituduh kafir itu. Jadi saya juga hanya tertawa saja ketika dituduh kafir,
lagian yang nuduh juga Cuma orang gila (pyromaniac).
Coba sedikit belajar pakai logika. Kalau saya dituduh
kafir, apakah saya lantas benar-benar menjadi orang kafir? Khan tidak!. Apakah burung Elang yang dituduh sebagai
ayam, lantas elang itu menjadi ayam? Khan tidak! Begitupun sebaliknya, apakah
burung gagak yang mengaku dirinya Burung Merak, lantas gagak itu menjadi Merak?
Apakah orang yang ngaku/bergaya lagak-lagu sebgai orang suci, lantas orang itu
benar jadi orang suci? Apakah orang yang mulutnya bisa ngoceh banyak tentang
Surga dan Neraka, orang itu benar-benar telah tahu dan berpengalaman
mengunjungi Surga dan Neraka?. Apakah orang yang mulutnya fasih mengutip
ayat-ayat suci, lantas orang itu bisa menjadi Tuhan?. Tuhan (dengan ‘t’ kecil)
yang merasa punya otoritas untuk menghakimi bahwa si A kafir, si B suci, si A
masuk Neraka, si B masuk surga dan sebagainya?.
Sesungguhnya hanya Tuhan yang punya otoritas untuk itu.
Jadi apa namanya manusia sombong yang menyamakan dirinya dengan Tuhan itu?. Manusia
yang suka meninggikan dirinya atas sesamanya dan suka menghakimi dengan
semena-mena mereka yang tidak sepaham sebagai si kafir dan sesat. Akan adilkah putusan itu, sementara kita
hanya bisa menilai seseorang itu dari apa yang terlihat di luarnya? Padahal
sumber kebajikan dan dosa itu ada didalam jiwa dan pikiran kita masing-masing.
Orang beriman sejati tidak butuh pengakuan dari masyarakat. Karena keimanan itu masalah pribadi,
hubungannya dengan kejujuran,hati dan Illahi. Jadi kalau ada orang ngaku
beriman, tapi sukanya menilai hanya dari gebyar lahiriah belaka, ataupun orang
yang suka ribut dan berkelahi hanya karena label dan atribut. Itulah cirri-ciri
dari manusia tolol, rendah diri, berpandangan sempit dan dangkal imannya.
Pluralitas itu realita yang tidak
terhindarkan. Persoalan dimulai ketika berbagai perbedaan itu dipaksakan
memasuki satu kotak identitas. Karena itu bagi saya, pengotakan identitas harus
dibongkar. Dalam kotak tanpa terkotak. Titik awalnya darimana? Minimal kalau
kita bertemu dengan orang yang beragama/berkeyakinan/beridentitas lain, kita
tidak melihat orang itu sebagai obyek dakwah untuk mengubah orang itu seperti
kita. Kita belajar menghargai orang yang punya pilihan berbeda dengan kita.
Seperti kita, mereka juga punya sejarah panjang yang membentuk dirinya kini.
Jadi langkah pertamnya adalah;
JANGAN SUKA MELABELI ORANG LAIN! Entah itu sesat, kafir, bid’ah, musyrik, sirik
dan sebagainya.
Pengotakan identitas itu hanya
akan menimbulkan sengketa. Karena itu jangan pernah mau dikategorisasikan
berdasarkan satu criteria saja. Karena kenyataanya, kita punya banyak criteria.
Entah itu berbasis suku, ras, agama, profesi, pendidikan, pandangan politik,
komitmen social dan masih banyak lagi. Upaya untuk memasukkan kita dalam satu
identitas saja, hanya akan memperuncing salah-paham dan prasangka buruk. BAHKAN
RASA KEMANUSIAAN KITA AKAN HILANG, jika kita hanya terpaku pada satu identitas
saja. Misalnya sebuatan identitas pribumi dan non pribumi, sebuatan hitam oleh apartheid Africa Selatan,
stigma PKI oleh rezim Orde Baru,, tuduhan kafir oleh orang-orang sok suci dan
sebagainya.
Jadi kita harus selalu sadar, bahwa ada orang lain dengan keyakinan lain.
Dan mereka juga memikirkan, bekerja dan punya harapan yang sama dengan kita
untuk bisa melihat tegaknya keadilan dan kebenaran, mereka juga ingin hidup
sejahtera-bahagia lahir dan batin. Jadi tidak masalah menurut saya
membicarakan/memperdebatkan masalah teologi, yang penting terbangun trust
diantara kita. Karena dialog masalah teologi tanpa adanya trust yang ada pasti
hanya prasangka.
Soal toleransi, pluralisme dan teologi, kita tidak bisa ngomong hanya dari
ayat-ayat atau dalam tataran argument teoritis belaka. Karena tantangan
terbesarnya adalah pada tingkat kongkretnya. Kalau ngaku orang toleran ya jangan
menindas!. Kalau percaya Tuhan maha pengasih dan penyayang, ya kelakuannya
jangan bengis dan kejam!.
Pluralisme pad level social adalah kerja sama dengan kelompok yang
berbeda. Tidak dalam teologis/keagamaan. Tapi dalam menghadapi system social. Politik
dan ekonomi yang tidak adil Apa yang dilakukan uskup Demon Tutu dari Africa
Selatan bisa menjadi contoh paling kongkrit dalam memperlihatkan keindahan
wajah agama di ruang public. Ketika beliau membuat gerakan anti apartheid tanpa
dilandasi kebencian dan dendam pada orang kulit putih. Beliau juga mengajak
kelompok dari agama lain, salah satunya Maulana Farid Esack, yang juga pejuang
gigih untuk hak-hak minoritas, perempuan dan kaum miskin.
Jadi kalau kita punya tujuan yang sama dan saling bahu-membahu, bagaimana
kita bisa melabeli kelompok lain itu sebagai kafir dan sesat?. Belajar
agama/spiritualitas dengan yang punya kelainan lain itu, selain akan membuka
cakrawala pemikiran kita juga akan membentuk kedewasaaan sikap dan memperdalam keimanan kita. Banyak orang
takut perubahan karena kedangkalan imannya. Jadi bagaimana kita yakin, bahwa pilihan kita itu sudah yang terbaik, kalau kita tidak mau terbuka dan mengenal
keyakinan yang lain. Para spiritualis sering katakan, “Kita tidak akan mungkin
bisa mengenal sejatinya Tuhan, sebelum kita bisa kenal dan jadi dirinya sendiri.
Dan kita juga tidak akan mungkin bisa mengenal siapa diri kita sendiri, sebelum
kita mau mengenal orang kebanyakan.”
Dalam sufisme
(mengajarkan esensi) ada ungkapan, “Hikmah (kebijaksanaan) adalah barang milik
orang beriman yang hilang. Maka dimanapun kau temui, pungutlah!” Tuhan sudah
memberikan kemampuan kita membedakan mana sampah –mana barang berharga. Jadi
tidak perlu takut jadi diri sendiri, tidak perlu takut jadi orang yang terbuka
dan berpengetahuan luas. Iapi bukan sekedar berpengetahuan luas copy-paste mbah
Google. Tapi sadar berpengetahuan, pinjam istilahnya Francis Bacon, “Kebenaran
akan muncul bukan sebagai olah pikir analistik di meja bedah. Tapi pada saat
pikiran jernih tak berkabut hingga rembulanpun kelihatan utuh bersinar terang. ‘
Dengan kata lain, bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh manusia dari hasil
studi semata, tapi merupakan kebijaksanaan Illahia atau akal budi yang
diterangi iman (budi pekerti luhur).
Bagi yang atheis? Tak masalah buat saya, selama orang itu bisa berlaku
jujur, tidak merugikan /mengganggu orang lain, syukur-syukur apa yang
dilakukannya itu memberi manfaat bagi orang lain. Pinjam kata-katanya Mao
Zedong, “Tak masalah kucing itu mau warna hitam atau putih, yang penting kucing
itu bisa nangkap tikus.)
Saya tetap hargai dan hormati pilihan orang untuk menjadi atheis. Orang
atheis ada karena Tuhan merestui. Kal;au Tuhan tidak merestui, pasti orang
atheis tidak ada di muka bumi. Saya menghargai kehendak/keputusan Tuhan karena
itu saya juga menghargai dan menghormati pula keputusan orang untuk menjadi
atheis. Kalau Tuhan saja tidak mempermasalahkan, ngapain kita harus
meributkan?. Sementara yang saya tahu, kebanyakan dari mereka yang mengaku
atheis itu, paling banyak bertanya, berdialog dan gigih dalam mencari
kesejatian Tuhan. Itu khan tipikal orang theis sejati?. Sejatinya
spiritualitas/keimanan itu memang tidak dogmatis, tapi pencarian yang terus
menerus. Tidak bisa instan, tapi butuh proses. Bukan pengetahuan tekstual, tapi
pergulatan/persentuhan langsung dengan kenyataaan.
Kenyataan memang sringkali bisa menghanguskan harga diri. Karena itu hanya orang-orang yang telah matang spiritualnya, dewasa pemikirannya, yang bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.
Kenyataan memang sringkali bisa menghanguskan harga diri. Karena itu hanya orang-orang yang telah matang spiritualnya, dewasa pemikirannya, yang bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.
Jadi pada mereka yang mengaku atheis sekalipun, sebenarnya kita tidak
bisa melabeli sebagai orang kafir. Kafir itu ada di hati dan pikiran. Bagaimana
mungkin kita bisa mengadili hati dan pikiran orang lain?. Kita baru bisa
mengadili, ketika kafir itu menjadi kata kerja. Contohnya, sekalipun anda itu
tokoh agama, tapi kalau anda itu korupsi/maling/rampok, itu kelakuan orang
kafir. Sekalipun mulut anda fasih mengutip ayat-ayat suci, tapi anda suka
mengintimidasi, meneror bahkan membunuh , itu juga kerjaan orang kafir.
Sekalipun anda wakil rakyat yang katanya terhormat, tapi ketika bersidang yang
dibiyayai oleh uang rakyat dan seharusnya mikirin soal rakyat, tapi di ruang sidang
ternyata anda hanya asik nonton bokep, itu juga kerjaan orang kafir.
Jadi buat saya tidak masalah kalau Cuma dituduh kafir. Yang penting
esensinya saya tidak melakukan pekerjaan yang mengganggu/merugikan orang lain
(kafir dalam kata kerja).