Minggu, 09 Februari 2014

CATATAN ORANG KAFIR



            “KAMU ITU ORANG KAFIR!” pernah saya disemprot begitu oleh seseorang karena saya mengaku tidak beragama. Dan sayapun menjawab santai, “Masak baru tahu sekarang kalau saya ini orang kafir, padahal sejak lahir saya ini sudah jadi orang kafir. Mana ada sih, bayi yang terlahir langsung ngaku/ngomong apa agamanya!”
             Makin marah saja orang itu dengar jawaban saya. Maka orang itupun lantas bawa-bawa nama Tuhan dan mengutuki saya sebagai calon penghuni kerak Neraka. Dikutuki begitu saya malah jadi tersenyum, apalagi ketika teringat puisi naratifnya Dante Aliegheri,  DIVINA COMMEDIA, kisah peziarahan dari Neraka, melalui api penyucian, ke Surga (Inferno, Purgatorio, Paradiso).
            Ketakutan muncul dari ketidaktahuan!. Seribu persen saya percaya. Siapa yang ketakutan dengan Neraka, orang itu pasti belum pernah berpengalaman mengunjungi Neraka. Dan seribu persen saya juga percaya, orang yang sungguh-sungguh totalitas mencintai Tuhannya, pasti akan mampu melampoi dualitas, hingga Surga tak membuatnya ngiler dan Nerakapun tak membuatnya keder.
            Para penulis kitab suci memang kurang jeli. Bahwa sebagai metaphor, api itu ambivalen. Ada api Ilahi ada api Satani, ada api Purgatorio ada api Inferno, ada api cinta ada api benci, ada api lilin penerang hati ada api rokok perusak paru. Ambiguitas api, berakibat ambiguitas tingkah-laku manusia pula. Bukannya memadamkan api, banyak orang saat ini justru lebih suka membesar-besarkan api, terutama api kebencian, ketakutan dan permusuhan.
             Hampir setiap manusia punya bibit menjadi pyromaniac (penderita kelainan jiwa yang punya keiniginan tak terkendali untuk membakar sesuatu). Dan jangan dikira hanya kaisar Nero yang pyromaniac. Di zaman ini, orang-orang yang gampang marah-marah, ngamuk-ngamuk dan gemar menebar terror dengan meledakkan bom disembarang tempat itupun sebenarnya termasuk penderita pyromaniac.
             Kita semua tahu, sejak dari zaman para nabi hingga sekarang ini, banyak para nabi, orang suci dan spiritualis yang di kafirkan. Orang seperti almarhum Gus Dur juga ada yang mengkafirkan dan dianggap sebagai agen Yahudi.. Jadi banyak temannya kalau Cuma dituduh kafir itu. Jadi saya juga hanya tertawa saja ketika dituduh kafir, lagian yang nuduh juga Cuma orang gila (pyromaniac).
            Coba sedikit belajar pakai logika. Kalau saya dituduh kafir, apakah saya lantas benar-benar menjadi orang kafir? Khan tidak!.  Apakah burung Elang yang dituduh sebagai ayam, lantas elang itu menjadi ayam? Khan tidak! Begitupun sebaliknya, apakah burung gagak yang mengaku dirinya Burung Merak, lantas gagak itu menjadi Merak? Apakah orang yang ngaku/bergaya lagak-lagu sebgai orang suci, lantas orang itu benar jadi orang suci? Apakah orang yang mulutnya bisa ngoceh banyak tentang Surga dan Neraka, orang itu benar-benar telah tahu dan berpengalaman mengunjungi Surga dan Neraka?. Apakah orang yang mulutnya fasih mengutip ayat-ayat suci, lantas orang itu bisa menjadi Tuhan?. Tuhan (dengan ‘t’ kecil) yang merasa punya otoritas untuk menghakimi bahwa si A kafir, si B suci, si A masuk Neraka, si B masuk surga dan sebagainya?.
            Sesungguhnya hanya Tuhan yang punya otoritas untuk itu. Jadi apa namanya manusia sombong yang menyamakan dirinya dengan Tuhan itu?. Manusia yang suka meninggikan dirinya atas sesamanya dan suka menghakimi dengan semena-mena mereka yang tidak sepaham sebagai si kafir dan sesat.  Akan adilkah putusan itu, sementara kita hanya bisa menilai seseorang itu dari apa yang terlihat di luarnya? Padahal sumber kebajikan dan dosa itu ada didalam jiwa dan pikiran kita masing-masing.
Orang beriman sejati tidak butuh pengakuan dari masyarakat.  Karena keimanan itu masalah pribadi, hubungannya dengan kejujuran,hati dan Illahi. Jadi kalau ada orang ngaku beriman, tapi sukanya menilai hanya dari gebyar lahiriah belaka, ataupun orang yang suka ribut dan berkelahi hanya karena label dan atribut. Itulah cirri-ciri dari manusia tolol, rendah diri, berpandangan sempit dan dangkal imannya.
             Pluralitas itu realita yang tidak terhindarkan. Persoalan dimulai ketika berbagai perbedaan itu dipaksakan memasuki satu kotak identitas. Karena itu bagi saya, pengotakan identitas harus dibongkar. Dalam kotak tanpa terkotak. Titik awalnya darimana? Minimal kalau kita bertemu dengan orang yang beragama/berkeyakinan/beridentitas lain, kita tidak melihat orang itu sebagai obyek dakwah untuk mengubah orang itu seperti kita. Kita belajar menghargai orang yang punya pilihan berbeda dengan kita. Seperti kita, mereka juga punya sejarah panjang yang membentuk dirinya kini. Jadi langkah pertamnya adalah;            JANGAN SUKA MELABELI ORANG LAIN! Entah itu sesat, kafir, bid’ah, musyrik, sirik dan sebagainya.
 Pengotakan identitas itu hanya akan menimbulkan sengketa. Karena itu jangan pernah mau dikategorisasikan berdasarkan satu criteria saja. Karena kenyataanya, kita punya banyak criteria. Entah itu berbasis suku, ras, agama, profesi, pendidikan, pandangan politik, komitmen social dan masih banyak lagi. Upaya untuk memasukkan kita dalam satu identitas saja, hanya akan memperuncing salah-paham dan prasangka buruk. BAHKAN RASA KEMANUSIAAN KITA AKAN HILANG, jika kita hanya terpaku pada satu identitas saja. Misalnya sebuatan identitas pribumi dan non pribumi,  sebuatan hitam oleh apartheid Africa Selatan, stigma PKI oleh rezim Orde Baru,, tuduhan kafir oleh orang-orang sok suci dan sebagainya.
Jadi kita harus selalu sadar, bahwa ada orang lain dengan keyakinan lain. Dan mereka juga memikirkan, bekerja dan punya harapan yang sama dengan kita untuk bisa melihat tegaknya keadilan dan kebenaran, mereka juga ingin hidup sejahtera-bahagia lahir dan batin. Jadi tidak masalah menurut saya membicarakan/memperdebatkan masalah teologi, yang penting terbangun trust diantara kita. Karena dialog masalah teologi tanpa adanya trust yang ada pasti hanya prasangka.
Soal toleransi, pluralisme dan teologi, kita tidak bisa ngomong hanya dari ayat-ayat atau dalam tataran argument teoritis belaka. Karena tantangan terbesarnya adalah pada tingkat kongkretnya. Kalau ngaku orang toleran ya jangan menindas!. Kalau percaya Tuhan maha pengasih dan penyayang, ya kelakuannya jangan bengis dan kejam!.
Pluralisme pad level social adalah kerja sama dengan kelompok yang berbeda. Tidak dalam teologis/keagamaan. Tapi dalam menghadapi system social. Politik dan ekonomi yang tidak adil Apa yang dilakukan uskup Demon Tutu dari Africa Selatan bisa menjadi contoh paling kongkrit dalam memperlihatkan keindahan wajah agama di ruang public. Ketika beliau membuat gerakan anti apartheid tanpa dilandasi kebencian dan dendam pada orang kulit putih. Beliau juga mengajak kelompok dari agama lain, salah satunya Maulana Farid Esack, yang juga pejuang gigih untuk hak-hak minoritas, perempuan dan kaum miskin.
Jadi kalau kita punya tujuan yang sama dan saling bahu-membahu, bagaimana kita bisa melabeli kelompok lain itu sebagai kafir dan sesat?. Belajar agama/spiritualitas dengan yang punya kelainan lain itu, selain akan membuka cakrawala pemikiran kita juga akan membentuk kedewasaaan sikap  dan memperdalam keimanan kita. Banyak orang takut perubahan karena kedangkalan imannya. Jadi bagaimana kita yakin, bahwa pilihan kita itu sudah yang terbaik, kalau kita tidak mau terbuka dan mengenal keyakinan yang lain. Para spiritualis sering katakan, “Kita tidak akan mungkin bisa mengenal sejatinya Tuhan, sebelum kita bisa kenal dan jadi dirinya sendiri. Dan kita juga tidak akan mungkin bisa mengenal siapa diri kita sendiri, sebelum kita mau mengenal orang kebanyakan.”
            Dalam sufisme (mengajarkan esensi) ada ungkapan, “Hikmah (kebijaksanaan) adalah barang milik orang beriman yang hilang. Maka dimanapun kau temui, pungutlah!” Tuhan sudah memberikan kemampuan kita membedakan mana sampah –mana barang berharga. Jadi tidak perlu takut jadi diri sendiri, tidak perlu takut jadi orang yang terbuka dan berpengetahuan luas. Iapi bukan sekedar berpengetahuan luas copy-paste mbah Google. Tapi sadar berpengetahuan, pinjam istilahnya Francis Bacon, “Kebenaran akan muncul bukan sebagai olah pikir analistik di meja bedah. Tapi pada saat pikiran jernih tak berkabut hingga rembulanpun kelihatan utuh bersinar terang. ‘ Dengan kata lain, bukan sekedar pengetahuan yang diperoleh manusia dari hasil studi semata, tapi merupakan kebijaksanaan Illahia atau akal budi yang diterangi iman (budi pekerti luhur).
Bagi yang atheis? Tak masalah buat saya, selama orang itu bisa berlaku jujur, tidak merugikan /mengganggu orang lain, syukur-syukur apa yang dilakukannya itu memberi manfaat bagi orang lain. Pinjam kata-katanya Mao Zedong, “Tak masalah kucing itu mau warna hitam atau putih, yang penting kucing itu bisa nangkap tikus.)
Saya tetap hargai dan hormati pilihan orang untuk menjadi atheis. Orang atheis ada karena Tuhan merestui. Kal;au Tuhan tidak merestui, pasti orang atheis tidak ada di muka bumi. Saya menghargai kehendak/keputusan Tuhan karena itu saya juga menghargai dan menghormati pula keputusan orang untuk menjadi atheis. Kalau Tuhan saja tidak mempermasalahkan, ngapain kita harus meributkan?. Sementara yang saya tahu, kebanyakan dari mereka yang mengaku atheis itu, paling banyak bertanya, berdialog dan gigih dalam mencari kesejatian Tuhan. Itu khan tipikal orang theis sejati?. Sejatinya spiritualitas/keimanan itu memang tidak dogmatis, tapi pencarian yang terus menerus. Tidak bisa instan, tapi butuh proses. Bukan pengetahuan tekstual, tapi pergulatan/persentuhan langsung dengan kenyataaan.
Kenyataan memang sringkali bisa menghanguskan harga diri. Karena itu hanya orang-orang yang telah matang spiritualnya, dewasa pemikirannya, yang bisa menerima kenyataan dengan lapang dada.
Jadi pada mereka yang mengaku atheis sekalipun, sebenarnya kita tidak bisa melabeli sebagai orang kafir. Kafir itu ada di hati dan pikiran. Bagaimana mungkin kita bisa mengadili hati dan pikiran orang lain?. Kita baru bisa mengadili, ketika kafir itu menjadi kata kerja. Contohnya, sekalipun anda itu tokoh agama, tapi kalau anda itu korupsi/maling/rampok, itu kelakuan orang kafir. Sekalipun mulut anda fasih mengutip ayat-ayat suci, tapi anda suka mengintimidasi, meneror bahkan membunuh , itu juga kerjaan orang kafir. Sekalipun anda wakil rakyat yang katanya terhormat, tapi ketika bersidang yang dibiyayai oleh uang rakyat dan seharusnya mikirin soal rakyat, tapi di ruang sidang ternyata anda hanya asik nonton bokep, itu juga kerjaan orang kafir.
Jadi buat saya tidak masalah kalau Cuma dituduh kafir. Yang penting esensinya saya tidak melakukan pekerjaan yang mengganggu/merugikan orang lain (kafir dalam kata kerja).