Gambar pak
Harto, mantan presiden kita yang tengah melambaikan tangan sambil tersenyum
Monalisa (senyum misterius penuh berjuta makna) kini banyak terpampang
dimana-mana. Dan biasanya disamping gambar itu disertai tulisan yang bernada
menyindir ; Piye kabare………… Isih penah zamanku tho? (Bagaimana kabarnya……..
Masih enak zaman saya khan?).
Tiap membaca tulisan itu, sayapun sering langsung menjawab dalam hati, “Piye
kabare? Senang mbah, sekarang bisa nonton barongsai dan menulis lelucon seperti
dibawah ini tanpa takut diculik tentara.”
LELUCON
TUYUL (T) DAN MBAH YUL (MY)
MY : Coba presiden RI pertama suapa, Yul?
T : Ir. Soekarno!
MY : Kalau presiden RI kedua siapa hayo?
T : Sri Sulthan hamengkubowono ke IX
MY ; Apa? Lalu kalau presiden RI ke tiga siapa?
T ; Adam Malik!
My ; ,,,,?? Kalau presiden RI ke empat?
T ; Umar Wirahadikusamah!
MY; ……….??? Presiden RI ke lima?
T ; Sudharmono!
MY’:………………??? Presiden RI ke enam?
T ; Tri Sutrisno!
MY; ………………????? Presiden RI ke tujuh?
T ; BJ, Habibie!
“ Dasar, Guooblokkk!!! Lalu kamu pikir ini siapa?” teriak mbah Yul sambil
menunjukkan lembaran uang kertas 50.000 rupiah yang bergambar pak harto lagi tersenyum.
Melihat gambar dalam uang itupun si Tuyul langsung tersenyum dan menjawab, “Itu
khan raja saya!”
Di zaman orde baru, ada lembaran uang kerta bernilai 50.000 yang bergambar pak
Harto, ada pula lembaran uang kerta bernilai 500, rupiah bergambar orang hutan.
Dan di zaman itu ada seorang pelawak yang ditangkap tentara, karena membuat
lelucon yang mengatakan, bahwa uang 50.000 itu mbah-nya (kakek-nya) uang 500
rupiah. Dengan kata lain……………….hahaha…………….. silahkan anda terjemaahkan
sendiri.
Hanya orang yang telah matang jiwanya yang bisa dan punya keberanian untuk
menertawai dirinya sendiri. Dan menurut saya, diantara para mantan
presiden kita, Gus Dur lah orangnya yang paling matang jiwa/spiritualnya.
Ketika para politisi (bukan rakyat banyak) mengeroyok dan memaksa Gus- Dur
untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden, dengan gaya santainya yang khas,
Gus Durpun menjawab, : Orang mau jalan maju aja susah, kok malah disuruh
mundur……………………….”
Salah satu sumber kebaikan dalam bermasyarakat itu dimulai dari rumah yang
hangat dan penuh penghormatan pada masing-masing individu dalam keluarga. Jadi
jika ada orang punya kesombongan, arogansi, kemarahan dan dendam, pada saatnya
orang itu pasti akan cenderung membalas dan menjadi otoriter. Ada study
memperlihatkan, seorang penindas belajar kekerasan dari orang tuanya.
Kita semua tahu, pak Harto kecil itu cuma anak petani miskin. Tapi dalam
pembentukan karakter, bukan status social itu yang utama. Yang mendasar adalah,
punya masa kecil yang bahagia tidak dia waktu itu., Kalau dari awal anak
karakternya bagus, pasti akan menjadi orang yang toleran dan pema’af.. Anak
yang dialiri penuh kasih-sayang, pada saatnya nanti anak itupun akan
mengalirkan kasih-sayang yang ada didirinya pada orang kebanyakan.
Dan pak Hartopun kemudian bertemu
dan menikah dengan ibu Tien yang berasal dari keluarga priyayi, ningrat atau
bangsawan. Kalangan bangsawan itu paling banyak dikritik-cemooh karena sikap feodal-patriarkhnya
yang penuh hierarki, tapi sisi baiknya, kebanyakan kaum bangsawan itu pada
umumnya suka membaca sastra dan filsafat, punya penghormatan pada etika
kehalusan budi, keluhuran sikap dan sadar akan kewajiban dan kehormatan
dirinya.
Tapi orde baru adalah zamannya para
kongklomerat, zamannya para kapitalis atau borjuis berjubah kemurnian
Pancasila. Dalam perspektif kaum ningrat, khususnya Jawa yang mengagungkan
moralitas dan etika, orang yang berhati saudagar itu cenderung dipandang
sebelah mata, karena dipandang penuh intrik, tipu-muslihat, pragmatis dan hanya
untung-rugi yang dipikirkannya.
Padahal sebenarnya tidak buruk atau
salah juga, andai yang menggantikan hati para bangsawan itu para saudagar yang
meski tak suka sastra dan filsafat tapi pekerja keras yang sibuk mikirin masalah
kemakmuran.
Cuma celakanya, di zaman orede baru
itu yang lahir adalah mahkluk-mahkluk perkawinan dari feodalisme dan
prakmatisme yang seperti ini ; Orang yang gemar kemakmuran duniawi, tapi tak
mau berkeringat (cukup hanya mengandalkan KKN), orang yang menginginkan
kehormatan tapi tak ingin setia pada etika, di zaman orde baru, siapa yang
berani berseberangan dengan penguasa pasti di sukabumikan, orang yang menuntut
haknya langsung dicap PKI ( tragedi waduk Kedung Ombo contohnya). Orang hormat
karena takut, bukan penghormatan yang keluar dari ketulusan jiwa. Sungguh
menyedihkan, sebagai bangsa yang katanya kaya-raya, kita tidak cukup punya
kehormatan untuk tidak mengemis-ngemis pada IMF. Jadi segala cara dihalalkan,
mengemis, membunuh, menculik, sok suci, yang penting bisa tetap terus berkuasa
Jadi intinya, di zaman orde baru itu
kebanyakan hanya melahirkan ular-ular berkepala dua. Kepala ular yang pertama,
bermahkotakan keningratan tapi tidak punya jiwa kebangsawanan/negarawan.
Sementara kepala ular yang kedua, berotak kapitalis tapi tidak mau kerja
keras!.
Moga di tahun 2014 ini kita diberi
pemimpin yang berjiwa matang dan berotak cemerlang. Jika di zaman penjajahan
ada semboyan DIVIDE ET IMPERA (memecah-belah dan menguasai),
hati-hati, saat inipun banyak orang yang bersemboyan DIVIDE ET AMPERA
(memecah-belah dan berteriak; amanat penderitaan rakyat}. Yang keduanya
ujung-ujungnya sama, mau berkuasa!.
Maka advis saya; pilih pemimpin yang bisa memberikan hak dan kehormatan
yang sama pada setiap manusia, tanpa memandang etnis, golongan, status social,
agama, dan jendernya. Sekaligus pemimpin yang punya keberanian sikap untuk
menindak tegas ormas atau elemen-eleman dalam masyarakat yang suka bertindak
anarkis, memuja kekerasan, suka memaksakan kehendak dan hendak mencinderai
komitmen social dan consensus bersama yang telah kita sepakati sebagai bangsa yang berBHINEKA TUNGGAL IKA!.