Rabu, 05 Maret 2014

Piye kabare....................




Gambar pak Harto, mantan presiden kita yang tengah melambaikan tangan sambil tersenyum Monalisa (senyum misterius penuh berjuta makna) kini banyak terpampang dimana-mana. Dan biasanya disamping gambar itu disertai tulisan yang bernada menyindir ; Piye kabare………… Isih penah zamanku tho? (Bagaimana kabarnya…….. Masih enak zaman saya khan?).
            Tiap membaca tulisan itu, sayapun sering langsung menjawab dalam hati, “Piye kabare? Senang mbah, sekarang bisa nonton barongsai dan menulis lelucon seperti dibawah ini tanpa takut diculik tentara.”
LELUCON TUYUL (T) DAN MBAH YUL (MY)
            MY : Coba presiden RI pertama suapa, Yul?
            T    :  Ir. Soekarno!
            MY : Kalau presiden RI kedua siapa hayo?
            T     :  Sri Sulthan hamengkubowono ke IX
            MY ;  Apa? Lalu kalau presiden RI ke tiga siapa?
            T    ;  Adam Malik!
            My ; ,,,,?? Kalau presiden RI ke empat?
            T  ; Umar Wirahadikusamah!
            MY; ……….??? Presiden RI ke lima?
            T  ;  Sudharmono!
            MY’:………………??? Presiden RI ke enam?
            T   ;  Tri Sutrisno!
            MY;  ………………????? Presiden RI ke tujuh?
            T  ;  BJ, Habibie!
            “ Dasar, Guooblokkk!!! Lalu kamu pikir ini siapa?” teriak mbah Yul sambil menunjukkan lembaran uang kertas 50.000 rupiah yang bergambar pak harto lagi tersenyum.
            Melihat gambar dalam uang itupun si Tuyul langsung tersenyum dan menjawab, “Itu khan raja saya!”
            Di zaman orde baru, ada lembaran uang kerta bernilai 50.000 yang bergambar pak Harto, ada pula lembaran uang kerta bernilai 500, rupiah bergambar orang hutan. Dan di zaman itu ada seorang pelawak yang ditangkap tentara, karena membuat lelucon yang mengatakan, bahwa uang 50.000 itu mbah-nya (kakek-nya) uang 500 rupiah. Dengan kata lain……………….hahaha…………….. silahkan anda terjemaahkan sendiri.
           Hanya orang yang telah matang jiwanya yang bisa dan punya keberanian untuk menertawai dirinya sendiri. Dan menurut saya, diantara para  mantan presiden kita, Gus Dur lah orangnya yang paling matang jiwa/spiritualnya. Ketika para politisi (bukan rakyat banyak) mengeroyok dan memaksa Gus- Dur untuk mundur dari jabatannya sebagai presiden, dengan gaya santainya yang khas, Gus Durpun menjawab, : Orang mau jalan maju aja susah, kok malah disuruh mundur……………………….”
            Salah satu sumber kebaikan dalam bermasyarakat itu dimulai dari rumah yang hangat dan penuh penghormatan pada masing-masing individu dalam keluarga. Jadi jika ada orang punya kesombongan, arogansi, kemarahan dan dendam, pada saatnya orang itu pasti akan cenderung membalas dan menjadi otoriter. Ada study memperlihatkan, seorang penindas belajar kekerasan dari orang tuanya.
            Kita semua tahu, pak Harto kecil itu cuma anak petani miskin. Tapi dalam pembentukan karakter, bukan status social itu yang utama. Yang mendasar adalah, punya masa kecil yang bahagia tidak dia waktu itu., Kalau dari awal anak karakternya bagus, pasti akan menjadi orang yang toleran dan pema’af.. Anak yang dialiri penuh kasih-sayang, pada saatnya nanti anak itupun akan mengalirkan kasih-sayang yang ada didirinya pada orang kebanyakan.
            Dan pak Hartopun kemudian bertemu dan menikah dengan ibu Tien yang berasal dari keluarga priyayi, ningrat atau bangsawan. Kalangan bangsawan itu paling banyak dikritik-cemooh karena sikap feodal-patriarkhnya yang penuh hierarki, tapi sisi baiknya, kebanyakan kaum bangsawan itu pada umumnya suka membaca sastra dan filsafat, punya penghormatan pada etika kehalusan budi, keluhuran sikap dan sadar akan kewajiban dan kehormatan dirinya.
            Tapi orde baru adalah zamannya para kongklomerat, zamannya para kapitalis atau borjuis berjubah kemurnian Pancasila. Dalam perspektif kaum ningrat, khususnya Jawa yang mengagungkan moralitas dan etika, orang yang berhati saudagar itu cenderung dipandang sebelah mata, karena dipandang penuh intrik, tipu-muslihat, pragmatis dan hanya untung-rugi yang dipikirkannya.
            Padahal sebenarnya tidak buruk atau salah juga, andai yang menggantikan hati para bangsawan itu para saudagar yang meski tak suka sastra dan filsafat tapi pekerja keras yang sibuk mikirin masalah kemakmuran.
            Cuma celakanya, di zaman orede baru itu yang lahir adalah mahkluk-mahkluk perkawinan dari feodalisme dan prakmatisme yang seperti ini ; Orang yang gemar kemakmuran duniawi, tapi tak mau berkeringat (cukup hanya mengandalkan KKN), orang yang menginginkan kehormatan tapi tak ingin setia pada etika, di zaman orde baru, siapa yang berani berseberangan dengan penguasa pasti di sukabumikan, orang yang menuntut haknya langsung dicap PKI ( tragedi waduk Kedung Ombo contohnya). Orang hormat karena takut, bukan penghormatan yang keluar dari ketulusan jiwa. Sungguh menyedihkan, sebagai bangsa yang katanya kaya-raya, kita tidak cukup punya kehormatan untuk tidak mengemis-ngemis pada IMF. Jadi segala cara dihalalkan, mengemis, membunuh, menculik, sok suci, yang penting bisa tetap terus berkuasa 
            Jadi intinya, di zaman orde baru itu kebanyakan hanya melahirkan ular-ular berkepala dua. Kepala ular yang pertama, bermahkotakan keningratan tapi tidak punya jiwa kebangsawanan/negarawan. Sementara kepala ular yang kedua, berotak kapitalis tapi tidak mau kerja keras!.
            Moga di tahun 2014 ini kita diberi pemimpin yang berjiwa matang dan berotak cemerlang. Jika di zaman penjajahan ada semboyan DIVIDE ET IMPERA (memecah-belah dan  menguasai),  hati-hati, saat inipun banyak orang yang bersemboyan DIVIDE ET AMPERA (memecah-belah dan berteriak; amanat penderitaan rakyat}. Yang keduanya ujung-ujungnya sama, mau berkuasa!.
Maka advis saya; pilih pemimpin yang bisa memberikan hak dan kehormatan yang sama pada setiap manusia, tanpa memandang etnis, golongan, status social, agama, dan jendernya. Sekaligus pemimpin yang punya keberanian sikap untuk menindak tegas ormas atau elemen-eleman dalam masyarakat yang suka bertindak anarkis, memuja kekerasan, suka memaksakan kehendak dan hendak mencinderai komitmen social dan consensus bersama yang telah kita sepakati  sebagai bangsa yang berBHINEKA TUNGGAL IKA!.