REVOLUSI MENTAL
Didalam Indonesia
merdeka, kita merdekakan rakyatnya, kita merdekakan jiwanya {bung Karno}.
Hampir satu abad kita bangsa kita merdeka, tapi mental bangsa kita
ternyata masih saja seperti mental bangsa terjajah, Takut jujur mengekspresikan
diri, suka memuja-muja keunggulan bangsa lain, tidak kenal dan minder jadi
dirinya sendiri dan selalu hanya menjadi objek, bukannya subjek di negerinya
sendiri. Jadi rasanya memang sudah saatnya terjadi revolusi jilid 2 di
negeri ini, yaitu revolusi mental, revolusi tanpa pertumpahan darah, revolusi
penyadaran, pencerahan yang mencerdaskan dan membangkitkan rasa kemanusiaan.
Jika kita bicara masalah revolusi, berarti kita bicara masalah yang mendasar,
kita harus berani membongkar hingga ke akar permasalahannya, Dan jika kita
bicara masalah mental, suka atau tidak, kita harus bicara agama/spiritualitas,
karena itulah hal mendasar/fundamental yang telah membentuk mental bangsa kita
selama ini.
Jadi kalau kita mau
merevolusi mental bangsa ini, akar permasalahannya jelas, yaitu revolusi dulu
pandangan keagamaan kita dulu!. Karena bisa saya buktikan, bahwa agama itulah
{sadar atau tidak} yang telah menjajah mental bangsa kita, menjadi bangsa yang
gampang dibodohi dan ditakut-takuti. Menjadi bangsa yang tidak kenal
jati-dirinya sendiri. Dan hal yang seperti itu terus dilanggengkan, karena dari
ketakutan dan kebodohan bangsa kita, banyak pihak yang bisa menarik
banyak keuntungan baik secara finansial maupun non finansial dari kita.
Agama hanya mengajarkan kita jadi manusia copy paste yang seragam. Dan
jika anda berani keluar dari mainstream, tuduhan kafir dan ancaman api
nerakapun pasti akan langsung meneror anda, Karena itu tidak usah heran, kalau
kita tidak pernah kenal spiritual bangsa sendiri. Karena kita memang tidak
pernah diajar untuk mengenal itu. Kita tidak pernah diajar untuk berani
mencari, menemukan dan menjadi dirinya sendiri, Selama ini kita lebih banyak
diajar untuk menjadi manusia instan-seragam yang penuh kemunafikan dan
kepura-puraan. Manusia yang suka memuja-muja simbol-simbol kesucian dan
jargon muluk=muluk, tapi paradokal dengan keseharian hidupnya. Suka teriak-teriak,
“Tuhan maha pengasih dan penyayang!” tapi kelakuannya bengis dan kejam.
Mulutnya fasih menguti[ ayat-ayat suci, tapi, merampok dan menjarah uang rakyat
[Korupsi} dilakukannya juga.
Agama selalu mengajarkan kita untuk takut pada Tuhan, sekaligus dianjurkan
untuk menaruh hormat dengan memuja-mujiNya setiap hari. Padahal secara
psiklogis, rasa hormat orang yang ketakutan itu biasanya tidak tulus.
Nah! Jika pada Tuhan saja kita diajar untuk tidak tulus
{munafik/menjilat/menipu} Tidakkah akan demikian juga akhirnya sikap kita pada sesame?.
Pada Tuhan jangan takut, tapi cinta!.
Pada sisi yang paling fundamental. Agama memang tidak pernah mengajarkan kita
untuk berani menjadi manusia yang bisa berlaku jujur. Justru intimidasi dan
teror baik secara halus atau kasar itulah yang selalu ditanamlan Apa itu ajaran
fundamental agama? . yaitu pencarian akan haqiqat kesejatian Tuhan. Dan dalam
persepsi orang beragama, wajah Tuhan itu terjermin dalam dalam kitab suci. Maka
keyakinan yang absolut akan keberadaan Tuhapun lantas di ekspresikan dalam
bentuk penerimaan yang absolut pula terhadap kitab suci. Kita lupa, bahwa
hubungan manusia dengan Tuhannya itu bersifat mempribadi, unik dan orisinil dan
tidak bisa diseragamkan. Dan kalau diseragamkan dalam bentuk ekspresi keagaman.
Pasti hasillnya hanya paradok dan kemunafikan. Karena itu tidak usah heran,
mengapa Allah yang dicitakan begitu baik dan agama yang begitu luhur, justru
bisa melahirkan penganut yang begitu buruk disisi lain. Penyebabnya jelas,
krena agama yang secara teoritis mengajarkan akan keberadan Allah yang maha tak
terbatas, sementara dalam prakteknya menanamkan dogma keberadaan Allah
yang hanya ada di setebal kitab suci
saja.
Mengapa Maulana, kini demi aturan-aturan suci, aku sering dipaksa untuk pergi
dari hatiku, hingga aku tak disegarkan tetesan rahmatNya, karena aku bukan lagi
kebunNya? {Jalalludin Rumi). Maka advis saya; Jadilah kebun kasihNya, yang
pasti akan disemai benih-benih kehidupan. Jangan hanya jadi kebun/budak agama,
yang pasti hanya akan dijejali batu-batu dogma beku
Kadi kalau selama ini kita lihat kehidupan bangsa kita yang penuh pembusukkan
politik, dekandensi moral, krisis ketauladanan, ketakutan, kebencian,
ketertutupan, permusuhan baik dengan darah atau tidak, sadar atau tidak, salah
satu penyebab utamanya karena selama ini sadar atau tidak, sesungguhnya kita
itu telah MEMBERHALAKAN AGAMA!
Kebanyakan orang beragama berkeyakinan, bahwa Tuhan telah cukup memberi
petunjuk lewat kitab suci dan comtoh ketauladan lewat laku hidup para nabi.
Lalu apa bedanya keyakinan macam itu dengan idiologi seorang Marxis, yang juga
suka menyombong, bahwa segala tanya sudah ada jawabnya pada kami.
Tidak mungkin orang mempercayai adanya Tuhan, tanpa menyadari/mengakui bahwa
dirinya sendiri terbatas.. Terbatas pula dalam pengetahuan mana yang benar dan
mana yang salah. Sementara yang kita lihat selama ini khan tidak seperti itu.
Tuhan, kebenaran bahkan surgapun telah dimonopoli dan di klaim hanya milik golongan
agama tertemtu saja. Silahkan anda berkeyakina bahwa agama adalah
kebenaran yang absolut, Tapi harap sadar, bahwa otak yang menafsirkan agama itu
terbatas sifatnya. Agama menjadi berarti itu karena ditafsirkan, dan karena
yang menafsirkan banyak kepala, maka tidak usah heran jika kemudian banyak
lahir mazhab dan aliran dalam agama.
Dalam agama Islam contohnya, hasil tafsir atau ijtihad para ulama dalam bidang
ibadah dan fikih mu’amalah melahirkan empat mazhab, yaitu, Maliki, Hanafi,
Syafi;i dan Hambali, dalam bidang tasawuf ada dua aliran, sunni dan syi’ah,
dalam bidang politik ada tiga aliran, Khawarij, Syi’ah dan Sunni, dalam bidang
falsafah Islam ada aliran Al.Farabi dan Al’ghazali, dalam bidang akidah ada
enam aliran, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah, dan syi’ah.
Dan diantara ajaran-ajaran itu banyak perbedaan bahkan pertentangannya,
misalnya menurut mazhab syafi’i ludah anjing itu najis, sementara menurut
mazhab Maliki tidak najis. Maka tidak usah heran, jika sama-sama orang Islam
saja pada saling mengkafirkan, kelahi dan bunuh-bunuhan. Di Eropa hal seperti
itu juga pernah terjadi, yaitu pertikaian antara orang Khatolik dan Protestan
yang sama-sama memuja Yesus.
Itulah akibat dari ketersempitan dam ketertutupan cakrawala pemikiran yang
tidak pernah berani keluar dari kotak sempit agama. Otak kita jadi gampang
ditanami dogma-beku, yang menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang diajarkan para
tokoh agama kita itulah ajaran agama yang sebenarnya. Dan jika dalam masyarakat
ada ajaran yang berbeda apalagi bertentangan dengan ajaran yang kita anut
selama ini, kitapun langsung berkesimpulan bahwa itu ajaran sesat orang kafir
yang harus ditolak bahkan kalau perlu dimusnahkan?. Kita tidak sadar, bahwa tokoh-tokoh
agama yang selama ini kita agung-agungkan karena kefasihan mulutnya menyetir
ayat-ayat suci itu, ternyata juga hanya orang-orang yang otaknya telah
terkoptasi tafsir ajaran agama yang juga sangat sempit. Karena perlu diketahui,
dalam pendidikan Islam di Indonesia itu pada umumnya yang diajarkan selama ini
hanya satu dari banyak aliran dan mazhab yang ada dalam Islam.
Jadi kalau kita mau mencari haqiqat kesejatian Tuhan, yang pertama-tama kita
lakukan adalah belajar untuk berani berlaku jujur. Kalau belum kenal ya katakan
saja belum kenal. Kalau belum menyaksikan akan kebesarannya ya tak usah
meuja-mujinya juga tak apa (Tuhan itu tidak gila pujian.} kalau itu hanya
menipu diri. Puja Tuhan sebagai si maha pemurah, setelah itu minta ini-itu, itu
kelakuan pengemis/penjilat,serakah namanya, puja Tuhan sebagai si maha tahu,
habis itu dikte Dia agar lakukan ini-itu, itu tak tahu diri namanya.
Percaya bahwa tuhan itu maha mendengar, tapi ibadahpun harus teriak-teriak
pakai pengeras suara, apa itu namanya kalau bukan munafik.
Kehidupan orang beragama yang penuh paradokkal dan kemunafikan itulah
yang membuat saya berpaling dari agama-agama formal terorganisir, dan memilih
kembali melihat dalam tradisi spiritual bangsa sendiri, yang ternyata
sebenarnya sangat dinamis bahkan progresif. Disitu bisa bergabung untuk
terjadinya perubahan sosial secara radikal dengan keyakinan perlunya dimensi
moral/spiritual dalam masyarakat, agar tidak terjatuh dalam totalitarianisme,
Jadi kalau ada ajaran spiritual bangsa kita yang patut dibanggakan, yaitu
karena tidak pernah lahirnya agama atau nabi di negeri ini. Kita tidak pernah
diajar untuk menjadi pembual-sombong yang suka berkotbah, tentang kebesaran
Allah yang maha tak terbatas, tapi dalam prakteknya kita menjebak dan membunuh
Tuhan, lalu memasukkannya dalam peti sempit yang bernama kitab suci.
Karena setebal apapun itu kitab suci dan semulia apa itu nabinya, pada akhirnya
yang terjadi adalah dogma yang membelenggu dan menjajah jiwa.
Dalam pengetahuan tekstual/teori, spiritual bangsa kita memang kalah jauh. Ini
semua karena semata hanya karena kita bangsa yang lebih banyak berbudaya lisan,
sementara di negeri para nabi itu lebih berbudaya tulis. Tapi soal esensi boleh
diadu! Kalau bicara spiritual kita harus berani menukik hingga ke esensinya, tidak
hanya ribut-pamer soal wadah atau kemasannya saja.
Dan esensi ajaran spirtual bangsa kita ,ngajarkan kejujuran, kebesaran
jiwa, penghormatan/apresiais pilihan hidup orang lain, dan penuh keterbukaan.
Spiritual yang dinamis penuh dialitika, yang mendorong kita jadi subjek yang
berani mencari dan menemukan jati-dirinnya sendiri dan Tuhannya.Menghargai
proses, bukan sekedar jadi objek dakwah-pasif yang ditanami dogma secara
instan, lalu memuja-muji Tuhan bukan atas dasar pengalam-pergulatannya sendiri,
tapi hanya karena membeo menurut kata si anu dan si itu.
Inilah luar-biasanya ajaran spiritual bangsa kita, dalam kesederhanaannya
menyimpan kelapangan yang luas seperti lautan, kita tidak pernah
mempermaslahkan perbedaan agama, mazhab atau aliran, semua diterima dengan
tangan terbukam semua dihargai dan diapresiasi keberadaaanya sebagai sarana.
Jalan atau petunjuk untuk mencari dan menemukan haqiqat kesejatian Tuhan. Kita
tidak pernah mempermasalahkan inputnya mau ambil dari agama mana atau keyakinan
yang seperti apa, yang penting adalah autputnya!
Cuma sayangnya, agama yang sebenarnya hanya alat, jalan atau sarana itu, kini
oleh kebanyakan orang telah dijadikan tujuan, dijadikan tuhan [dengan ‘t’
kecil} yang harus diterima secara absolut. Agamapun telah menjadi berhala baru,
karena inputnya sudah ngak benar, jelas autputnyapun yang keluar akhirnya
aburadul!
Ironis memang, ajran spiritual yang orisinil karya bangsa sendiri, yaitu
pencarian haqiqat kesejatian Tuhan dan diri tanpa bahasa kitab suci atau
merujuk pada agama tertentu, justru oleh para tokoh-tokoh agama sering divonis
sebagai ajaran sesat. Orang yang kelamaan hidup dalam lingkaran “mayoritas
kebenaran bisu” memang akan dengan mudah terjangkiti penyakit “pekokisme”,
yaitu : Tidak tahu, tidak mau tahu, tapi sok tahu. Paling suka buat fatwa, tapi
ternyata fatwa yang salah. Penyakit pekokisme juga pernah menjangkiti instituasi
gereja, ketika mereka menyesatkan bahkan memenjarakan Galileo, hanya karena
pandangannya yang berbeda dengan gereja tentang tata surya.
Ajaran spiritual bangsa kita sebenarnya sangat dekat dengan dunia sufisme,
seperti yang di syairkan oleh Jallaludin Rumi, “ORANG TUHAN TIDAK DIAJAR KITAB/
ORANG TUHAN DILUAR KAFIR DAN AGAMA”. Tapi orang pekok memang biasa
berpandangan hitam-putih, mereka berkesimpulan, bahwa jika orang itu tidak
beragama berarti ya orang kafir!.
Dasar negara kitapun jelas, yaitu Ketuhana yang maha Esa, bukan agama. Bertuhan
dan bergama itu memang beda jauh. Jika diibaratkan, bertuhan itu seoerti
tinggal dalam sarang sementara beragama itu seperti tinggal dalam
sangkar. Dan kebanyakan orang saat ini memang lebih suka tinggal dalam sangkar
emas agama yang memang sangat besar dan mempesona tapi didak mewakili
orisinal wajah diri. Dan kita bangga hidup dalam penjara yang mengurung dan
menindas seperti itu? Bahkan penindasan itu menjadi semacam keniscayaan dan kebutuhan?
Hanya budak berjiwa terjajah yang suka hidup seperti itu.
Beda dengan sarang, dia bisa sangat kecil dan sederhahan sekali, tapi nyaman
dan mewakili orisinal diri. Burung pipit bersarang kecil, burung elang
bersarang besar, tapi esensinya tetap sama, sarang itu tidak pernah
memmenjarakan diri. Begitupun sejatinya spiritual yang sebenarnya membebaskan
dan tak pernah memenjarakan. Inilah ajaran spiritual bangsa kita yang
terlupakan, memerdekakan jiwa. Orang yang jiwanya merdeka, tidak akan inferior
sekaligus tidak akan pernah merasa superior dihadapan sesamanya.
Dalam
masyarakat kita sekarang yang ada khan cuma dua golongan saja, pertama
golongannya kaum inferior yang hanya bisa pasrah, diam dan nurut saja meskipun
kepala diinjak-injak. Dan dua, golongannya segelintir kelompok yang merasa
superior, karena merasa sudah bisa menjadi fotokopynya bangsa lain. Karena
merasa sudah menguasai teknologi dan ada juga yang karena merasa telah
menguasai ilmu-ilmu Illahi. Rasa superiornya itulah yang mendorongnya merasa terpanggil
untuk menjadi polisi dunia. Dan satunya lagi, rasa superiornya membuatnya
merasa punya otoritas sebagai wakil Tuhan. Dan kedua-duanya sama-sama merasa
punya hak untuk menghukum, mengadili, memerangi, menyesatkan ataupun
mengkafirkan pihak-pihak yang dirasa tidak sejalan atau akan mengganggu
kepentingan-kepentingan mereka.
Orang yang merdeka jiwanya, tidak akan inferior sekaligus tidak pula merasa
superior. Jadi kalau anda mengaku orang yang percaya adanya Tuhan, tapi
tidak/belum merasakan adanya kemerdekaan jiwa, anda pantas merenungkan dan
mempertanyakan religiusitas anda selama ini. Kemerdekaan jiwa perlu, karena
esensial bagi utuhnya hubungan kita dengan manusia dan kebenaran. Kemerdekakan
memang bukan emas yang bisa buat berbangga diri, tapi kemerdekaan jiwa adalah
kebutuhan yang mendasar, karena hanya dengan kemerdekaan, kemungkinan-kemungkinan
baru untuk menyelesaikan konflik dapat dicari, inovasi dan
alternative-alternatif baru bisa diperoleh. Karena itu bila kemerdekaan mati,
dia tidak akan mati sendirian.
Beriman/bertuhan bukanlah soal pintar-pintaran menghapal ayat atau
tebal-teballan kesempurnaan kitab suci. Tidak!. Anak zaman sekarang dengan
enteng akan katakan, “mana yang lebih tebal, sempurna dan jadi rujukan hidup
sehari-hari, antara kitab suci dengan kitab mbah Google?”
Beriman itu memang tidak sama dengan beragama. Beriman itu proses, penuh
dialitika dan dinamis. Dari situ tumbuh kesadaran perlunya kerendahan hati ,
keterbukaan, sikap kritis dan percaya diri. Sementara beragama sebaliknya,
sering membuat kita ketiduran dan tak menyadari perubahan hebat yang terjadi
diluar dirinya. Seperti dalam sejarah gereja Katolik misalnya. Strukttur
masyarakan sudah berubah dari tatanan masyarakat petani-agraris menuju
masyarakat industri, sementara ajaran gereja katolik masih berpegang pada
system feudal-agraris. Baru dengan ajaran sosial Paus Leo XIII, Rerum
Novarum, maka gerejapun mengeluarkan ajaran sosial baru karena perubahan
strutur masyarakat beserta implikasinya terhadap keadilan social.
Tahun 1442, ada konsili Florence, bagi konsili ini, siapapun yang berada di
luar gereja, akan masuk dalam api abadi neraka dan tidak akan kebagian kavling
di surga. Dan lima abad kemudian, lahir konsili Vatikan 2. Dalam konsili ini
mengakui, bahwa bukan hanya mereka yang dibaptis dan taat ke gereja saja yang
bisa dapat penyelamatan dan bisa punya kavling di surga. Dan ini lucunya, di
zaman digital ini, masih ada segolongan orang yang pola pikirnya sama
dengan di zaman konsili Florence, zaman ketika dunia masih sempit dan benua
Amerika belum diketemukan. Mereka memonopoli kebenaran dan berkeyakinan, bahwa
hanya orang-orang yang masuk golongannya saja yang punya hak masuk Surga.
Itulah cirri-ciri orang yang jiwanya belum meredeka, masih terjerat dualisme
antara surga dan neraka. Orang bodoh yang suka ribut dan berkelahi hanya karena
label dan atribut, orang yang berpandangan sempit yang suka memuja hal-hal yang
bersifat gebyar lahiriah belaka. Orang minder yang menutupi keminderannya
dengan lagak berlebihan, merasa paling benar, pintar, suci dan sempurna
sendiri.
Dalam arsitektur, masjid sulthan Hasan di Kairo Mesir, mungkin bisa jadi
contoh. Masjid yang disebut sebagai tauladan arsitektur Islam yang luar biasa
itu, kenyataannya justru didirikan di zaman ketika pemikiran dan peradapan Islam
di titik terendah dan sangat statis, dengan kata lain, itu masjid didirikan
hanyalah untuk lambang kekuasaan dan kewibawaan sulthan dan pemerintahannya
saja, sementara di luar masjid orang hidup zuhud dan papa. Begitulah ketika
agama hanya mengurusi hukum dan peraturan tingkah laku, tapi melalaikan
compassion dan tumpul rasa terhadap sekitar.
Jika diibaratkam, bangsa kita saat ini tidaklah ada bedanya dengan perwujutan
masjid sulthan Hasan di Kairo itu. Rumah ibadah berdiri dimana-mana, tapi korupsi
juga merajalela di setiap sendi kemasyarakatan. Energi kita selama ini lebih
banyak terkuras untuk mengurusi hal-hal yang remeh-temeh, dan melupakan hal-hal
mendasar yang tengah dihadapai masyarakat kita, seperti masalah pengangguran,
daya beli masyarakat yang rendah, kerusakan lingkungan, budaya kekerasan,
pendidikan yang amburadul dan sebagainya.
Mental bangsa ini memang harus direvolusi, bangsa ini harus terbangun sebagai
bangsa yang bermartabat tinggi sesuai sila kedua Pancasila, “kemanusiaan yang
adil dan beradap”; Langkah awalnya, ya dengan mengubah pola pikirnya, dari pola
pikir yang sempit-tertutup menjadi pola pikir yang luas-terbuka. Kita mencari
kebenaran, bukan mencari pembenaran diri. Dengan pola pikir yang demikian,
kitapun akan bisa melihat, tanda-tanda transendensi yang sebenarnya ada dalam
pergulatan hidup kita sehari-hari. Ayat-ayat Tuhan tidak hanya ada di dalam
kitab suci saja. Tapi pada embun, pada daun, pada tangis anak, pada keringat
pekerja dan sebagainya, dalam kejernihan jiwa semua itu adalah ayat-ayat Tuhan juga yang penuh makna. Bekerja halal yang bisa
memberi manfaat bagi diri dan orang lain itu adalah ibadah juga, jadi
jangan beribadah yang hanya mementingkan kredo dan ritus, karena ibadah macam
itu tidak akan memberi arti dan manfaat apa-apa bagi orang lain.
Jangan pernah takut menanyakan dan mencari haqiqat kesejatian Tuhan. Cari,
temukan dan jadilah dirimu sendiri. Karena cepat atau lambat, suka atau tidak,,
kita semua pasti akan berjalan sendirian memasuki alam kematian. Dan
orang yang jiwanya telah merdeka, telah melampaui dualitas antara
kehidupan dan kematian. Kematian bukan lagi jadi hal yang menakutkan, tapi juga
tak perlu buru-buru, karena(demam tujuan) kebelet pingin masuk surga (karena
tak bisa gapai surga dunia) lalu lakukan bom bunuh diri dengan bendera agama.
Orang yang terjangkiti
penyakit demam tujuan, memang akan cenderung menjadi pribadi yang egois dan
serakah, persetan orang lain celaka atau susah yang penting dirinya sendiri bisa
segera sampai di tujuan yang diimpikannya. Spiritual macam apa itu yang tujuan
akhirnya hanya bidadari dan hedonisme belaka. Jika kita menghargai sesama ciptaan
Tuhan, berarti kita juga telah menghargai Dia/Tuhan yang menciptakan semua
keaneka-ragaman ini. Dan jika kita tidak bisa mengharai ciptaanNya, berarti
kita juga tidak menghargai Dia/Tuhan. Jadi anda bias menilai sendiri,
orang-orang yang gila Surga itu termasuk orang yang bias menghormati Tuhan atau
tidak?.
Kita saat ini tidak hanya punya problem politik, ekonomi atau moral. Tapi kita
juga punya problem pengetahuan. Karena tidak tahu, kita sering terjerumus
kedalam penyelesaian yang dangkal dan instan, terhadap permasalahan yang
sebenarnya sangat komplek dan global. Karena kita ingin mengerti problem dasar
manusia dan mendapatkan pemecahan problem manusia dan kemasyarakatan secara
mendasar karena itu revolusi mental perlu.
Revolusi berarti juga koreksi diri, maka jika kita punya jargon “REVOLUSI
MENTAL!” Sebelumnya kita harus berani menanyai diri kita sendiri: Beranikah
meninggalkan sikap dan benteng-benteng dogmatis yang sedemikian lama telah
kokoh mengurung dan memenjarakan kebenaran pengetahuan kita?. Beranikah kita
mempertanyakan, menggugat dan kalau perlu membongkar terhadap
pemikiran-pemikiran teologis-dogmatis-formalitis yang telah dominan selama
berabad-abad?. Beranikah kita katakan, “ Bahwa agama bukanlah kebenaran yang
tertinggi dan paling sempurna, karena semua itu hanya milik Tuhan adanya!”
Jika anda belum cukup punya keberanian untuk itu, berarti cakrawala pengetahuan
anda masih sempit, jiwa anda belum merdeka, dan karena itu mental anda masih perlu untuk di
revolusi.