Selasa, 24 Maret 2015

revolusi mental 2




REVOLUSI  MENTAL

Didalam Indonesia merdeka, kita merdekakan rakyatnya, kita merdekakan jiwanya {bung Karno}.
            Hampir satu abad kita bangsa kita merdeka,  tapi mental bangsa kita ternyata masih saja seperti mental bangsa terjajah, Takut jujur mengekspresikan diri, suka memuja-muja keunggulan bangsa lain, tidak kenal dan minder jadi dirinya sendiri dan selalu hanya menjadi objek, bukannya subjek di negerinya sendiri. Jadi rasanya memang sudah saatnya terjadi revolusi jilid  2 di negeri ini, yaitu revolusi mental, revolusi tanpa pertumpahan darah, revolusi penyadaran, pencerahan yang mencerdaskan dan membangkitkan rasa kemanusiaan.
            Jika kita bicara masalah revolusi, berarti kita bicara masalah yang mendasar, kita harus berani membongkar hingga ke akar permasalahannya, Dan jika kita bicara masalah mental, suka atau tidak, kita harus bicara agama/spiritualitas,  karena itulah hal mendasar/fundamental yang telah membentuk mental bangsa kita selama ini.
Jadi kalau kita mau merevolusi mental bangsa ini, akar permasalahannya jelas, yaitu revolusi dulu pandangan keagamaan kita dulu!. Karena bisa saya buktikan, bahwa agama itulah {sadar atau tidak} yang telah menjajah mental bangsa kita, menjadi bangsa yang gampang dibodohi dan ditakut-takuti. Menjadi bangsa yang tidak kenal jati-dirinya sendiri. Dan hal yang seperti itu terus dilanggengkan, karena dari ketakutan dan kebodohan bangsa kita,  banyak pihak yang bisa menarik banyak keuntungan baik secara finansial maupun non finansial dari kita.
            Agama hanya mengajarkan kita  jadi manusia copy paste yang seragam. Dan jika anda berani keluar dari mainstream, tuduhan kafir dan ancaman api nerakapun pasti akan langsung meneror anda, Karena itu tidak usah heran, kalau kita tidak pernah kenal spiritual bangsa sendiri. Karena kita memang tidak pernah diajar untuk mengenal itu. Kita tidak pernah diajar untuk berani mencari, menemukan dan menjadi dirinya sendiri, Selama ini kita lebih banyak diajar untuk menjadi manusia instan-seragam yang penuh kemunafikan dan kepura-puraan. Manusia yang suka  memuja-muja simbol-simbol kesucian dan jargon muluk=muluk, tapi paradokal dengan keseharian hidupnya. Suka teriak-teriak, “Tuhan maha pengasih dan penyayang!” tapi kelakuannya bengis dan kejam. Mulutnya fasih menguti[ ayat-ayat suci, tapi, merampok dan menjarah uang rakyat [Korupsi} dilakukannya juga.
             Agama selalu mengajarkan kita untuk takut pada Tuhan, sekaligus dianjurkan untuk menaruh hormat dengan memuja-mujiNya setiap hari. Padahal secara psiklogis,  rasa hormat orang yang ketakutan itu biasanya tidak tulus. Nah! Jika pada Tuhan saja kita diajar untuk tidak tulus {munafik/menjilat/menipu} Tidakkah akan demikian juga akhirnya sikap kita pada sesame?. Pada Tuhan jangan takut, tapi cinta!.
            Pada sisi yang paling fundamental. Agama memang tidak pernah mengajarkan kita untuk berani menjadi manusia yang bisa berlaku jujur. Justru intimidasi dan teror baik secara halus atau kasar itulah yang selalu ditanamlan Apa itu ajaran fundamental agama? . yaitu pencarian akan haqiqat kesejatian Tuhan. Dan dalam persepsi orang beragama, wajah Tuhan itu terjermin dalam dalam kitab suci. Maka keyakinan yang absolut akan keberadaan Tuhapun lantas di ekspresikan dalam bentuk penerimaan yang absolut pula terhadap kitab suci. Kita lupa,  bahwa hubungan manusia dengan Tuhannya itu bersifat mempribadi, unik dan orisinil dan tidak bisa diseragamkan. Dan kalau diseragamkan dalam bentuk ekspresi keagaman.  Pasti hasillnya hanya paradok dan kemunafikan. Karena itu tidak usah heran, mengapa Allah yang dicitakan begitu baik dan agama yang begitu luhur, justru bisa melahirkan penganut yang begitu buruk disisi lain. Penyebabnya jelas, krena agama yang secara teoritis mengajarkan akan keberadan Allah yang maha tak terbatas,  sementara dalam prakteknya menanamkan dogma keberadaan Allah yang hanya ada di setebal  kitab suci saja.
            Mengapa Maulana, kini demi aturan-aturan suci, aku sering dipaksa untuk pergi dari hatiku, hingga aku tak disegarkan tetesan rahmatNya, karena aku bukan lagi kebunNya? {Jalalludin Rumi). Maka advis saya; Jadilah kebun kasihNya, yang pasti akan disemai benih-benih kehidupan. Jangan hanya jadi kebun/budak agama, yang pasti hanya akan dijejali batu-batu dogma beku
            Kadi kalau selama ini kita lihat kehidupan bangsa kita yang penuh pembusukkan politik, dekandensi moral, krisis ketauladanan, ketakutan, kebencian, ketertutupan, permusuhan baik dengan darah atau tidak, sadar atau tidak, salah satu penyebab utamanya karena selama ini sadar atau tidak, sesungguhnya kita itu telah MEMBERHALAKAN AGAMA!
             Kebanyakan orang beragama berkeyakinan, bahwa Tuhan telah cukup memberi petunjuk lewat kitab suci dan comtoh ketauladan lewat laku hidup para nabi. Lalu apa bedanya keyakinan macam itu dengan idiologi seorang Marxis, yang juga suka menyombong, bahwa segala tanya sudah ada jawabnya pada kami.
            Tidak mungkin orang mempercayai adanya Tuhan, tanpa menyadari/mengakui bahwa dirinya sendiri terbatas.. Terbatas pula dalam pengetahuan mana yang benar dan mana yang salah. Sementara yang kita lihat selama ini khan tidak seperti itu.  Tuhan, kebenaran bahkan surgapun telah dimonopoli dan di klaim hanya milik golongan agama tertemtu saja. Silahkan anda berkeyakina bahwa  agama  adalah kebenaran yang absolut, Tapi harap sadar, bahwa otak yang menafsirkan agama itu terbatas sifatnya. Agama menjadi berarti itu karena ditafsirkan, dan karena yang menafsirkan banyak kepala, maka tidak usah heran jika kemudian banyak lahir mazhab dan aliran dalam agama.
            Dalam agama Islam contohnya, hasil tafsir atau ijtihad para ulama dalam bidang ibadah dan fikih mu’amalah melahirkan empat mazhab, yaitu, Maliki, Hanafi, Syafi;i dan Hambali, dalam bidang tasawuf ada dua aliran, sunni dan syi’ah, dalam bidang politik ada tiga aliran, Khawarij, Syi’ah dan Sunni, dalam bidang falsafah Islam ada aliran Al.Farabi dan Al’ghazali, dalam bidang akidah ada enam aliran, Khawarij, Murji’ah, Mu’tazilah, Asy’ariah, Maturidiah, dan syi’ah.
            Dan diantara ajaran-ajaran itu banyak perbedaan bahkan pertentangannya, misalnya menurut mazhab syafi’i ludah anjing itu najis, sementara menurut mazhab Maliki tidak najis. Maka tidak usah heran, jika sama-sama orang Islam saja pada saling mengkafirkan, kelahi dan bunuh-bunuhan. Di Eropa hal seperti itu juga pernah terjadi, yaitu pertikaian antara orang Khatolik dan Protestan yang sama-sama memuja Yesus.
            Itulah akibat dari ketersempitan dam ketertutupan cakrawala pemikiran yang tidak pernah berani keluar dari kotak sempit agama. Otak kita jadi gampang ditanami dogma-beku, yang menumbuhkan keyakinan bahwa apa yang diajarkan para tokoh agama kita itulah ajaran agama yang sebenarnya. Dan jika dalam masyarakat ada ajaran yang berbeda apalagi bertentangan dengan ajaran yang kita anut selama ini, kitapun langsung berkesimpulan bahwa itu ajaran sesat orang kafir yang harus ditolak bahkan kalau perlu dimusnahkan?. Kita tidak sadar, bahwa tokoh-tokoh agama yang selama ini kita agung-agungkan karena kefasihan mulutnya menyetir ayat-ayat suci itu,  ternyata juga hanya orang-orang yang otaknya telah terkoptasi tafsir ajaran agama yang juga sangat sempit. Karena perlu diketahui, dalam pendidikan Islam di Indonesia itu pada umumnya yang diajarkan selama ini hanya satu dari banyak aliran dan mazhab yang ada dalam Islam.
            Jadi kalau kita mau mencari haqiqat kesejatian Tuhan, yang pertama-tama kita lakukan adalah belajar untuk berani berlaku jujur. Kalau belum kenal ya katakan saja belum kenal. Kalau belum menyaksikan akan kebesarannya ya tak usah meuja-mujinya juga tak apa (Tuhan itu tidak gila pujian.} kalau itu hanya menipu diri. Puja Tuhan sebagai si maha pemurah, setelah itu minta ini-itu, itu kelakuan pengemis/penjilat,serakah namanya, puja Tuhan sebagai si maha tahu, habis itu dikte Dia agar lakukan ini-itu,  itu tak tahu diri namanya.  Percaya bahwa tuhan itu maha mendengar, tapi ibadahpun harus teriak-teriak pakai pengeras suara, apa itu namanya kalau bukan munafik.
             Kehidupan orang beragama yang penuh paradokkal dan kemunafikan itulah yang membuat saya berpaling dari agama-agama formal terorganisir, dan memilih kembali melihat dalam tradisi spiritual bangsa sendiri, yang ternyata sebenarnya sangat dinamis bahkan progresif. Disitu bisa bergabung untuk terjadinya perubahan sosial secara radikal dengan keyakinan perlunya dimensi moral/spiritual dalam masyarakat, agar tidak terjatuh dalam totalitarianisme,
            Jadi kalau ada ajaran spiritual bangsa kita  yang patut dibanggakan, yaitu karena tidak pernah lahirnya agama atau nabi di negeri ini. Kita tidak pernah diajar untuk menjadi pembual-sombong yang suka berkotbah, tentang kebesaran Allah yang maha tak terbatas, tapi dalam prakteknya kita menjebak dan membunuh Tuhan, lalu memasukkannya  dalam peti sempit yang bernama kitab suci. Karena setebal apapun itu kitab suci dan semulia apa itu nabinya, pada akhirnya yang terjadi adalah dogma yang membelenggu dan menjajah jiwa.
            Dalam pengetahuan tekstual/teori, spiritual bangsa kita memang kalah jauh. Ini semua karena semata hanya karena kita bangsa yang lebih banyak berbudaya lisan, sementara di negeri para nabi itu lebih berbudaya tulis. Tapi soal esensi boleh diadu! Kalau bicara spiritual kita harus berani menukik hingga ke esensinya, tidak hanya ribut-pamer soal wadah atau kemasannya saja.
             Dan esensi ajaran spirtual bangsa kita ,ngajarkan kejujuran, kebesaran jiwa, penghormatan/apresiais pilihan hidup orang lain, dan penuh keterbukaan. Spiritual yang dinamis penuh dialitika, yang mendorong kita jadi subjek yang berani mencari dan menemukan jati-dirinnya sendiri dan Tuhannya.Menghargai proses, bukan sekedar jadi objek dakwah-pasif yang ditanami dogma secara instan, lalu memuja-muji Tuhan bukan atas dasar pengalam-pergulatannya sendiri, tapi hanya karena membeo menurut kata si anu dan si itu.
            Inilah luar-biasanya ajaran spiritual bangsa kita, dalam kesederhanaannya menyimpan kelapangan yang luas seperti lautan, kita tidak pernah mempermaslahkan perbedaan agama, mazhab atau aliran, semua diterima dengan tangan terbukam semua dihargai dan diapresiasi keberadaaanya sebagai sarana. Jalan atau petunjuk untuk mencari dan menemukan haqiqat kesejatian Tuhan. Kita tidak pernah mempermasalahkan inputnya mau ambil dari agama mana atau keyakinan yang seperti apa, yang penting adalah autputnya!
            Cuma sayangnya, agama yang sebenarnya hanya alat, jalan atau sarana itu, kini oleh kebanyakan orang telah dijadikan tujuan, dijadikan tuhan [dengan ‘t’ kecil} yang harus diterima secara absolut. Agamapun telah menjadi berhala baru,  karena inputnya sudah ngak benar, jelas autputnyapun yang keluar akhirnya aburadul!
            Ironis memang, ajran spiritual yang orisinil karya bangsa sendiri, yaitu pencarian haqiqat kesejatian Tuhan dan diri tanpa bahasa kitab suci atau merujuk pada agama tertentu, justru oleh para tokoh-tokoh agama sering divonis sebagai ajaran sesat. Orang yang kelamaan hidup dalam lingkaran “mayoritas kebenaran bisu” memang akan dengan mudah terjangkiti penyakit “pekokisme”, yaitu : Tidak tahu, tidak mau tahu, tapi sok tahu. Paling suka buat fatwa, tapi ternyata fatwa yang salah. Penyakit pekokisme juga pernah menjangkiti instituasi gereja, ketika mereka menyesatkan bahkan memenjarakan Galileo, hanya karena pandangannya yang berbeda dengan gereja tentang  tata surya.
            Ajaran spiritual bangsa kita sebenarnya sangat dekat dengan dunia sufisme, seperti yang di syairkan oleh Jallaludin Rumi, “ORANG TUHAN TIDAK DIAJAR KITAB/ ORANG TUHAN DILUAR KAFIR DAN AGAMA”.  Tapi orang pekok memang biasa berpandangan hitam-putih, mereka berkesimpulan, bahwa jika orang itu tidak beragama berarti ya orang kafir!.
            Dasar negara kitapun jelas, yaitu Ketuhana yang maha Esa, bukan agama. Bertuhan dan bergama itu memang beda jauh. Jika diibaratkan, bertuhan itu seoerti tinggal dalam sarang  sementara beragama itu seperti tinggal dalam sangkar. Dan kebanyakan orang saat ini memang lebih suka tinggal dalam sangkar emas agama yang memang sangat besar dan mempesona  tapi didak mewakili orisinal wajah diri. Dan kita bangga hidup dalam penjara yang mengurung dan menindas seperti itu? Bahkan penindasan itu menjadi semacam keniscayaan dan kebutuhan? Hanya budak berjiwa terjajah yang suka hidup seperti itu.
            Beda dengan sarang, dia bisa sangat kecil dan sederhahan sekali, tapi nyaman dan mewakili orisinal diri. Burung pipit bersarang kecil, burung elang bersarang besar, tapi esensinya tetap sama, sarang itu tidak pernah memmenjarakan diri. Begitupun sejatinya spiritual yang sebenarnya membebaskan dan tak pernah memenjarakan. Inilah ajaran spiritual bangsa kita yang terlupakan, memerdekakan jiwa. Orang yang jiwanya merdeka, tidak akan inferior sekaligus tidak akan pernah merasa superior dihadapan sesamanya.
            Dalam masyarakat kita sekarang yang ada khan cuma dua golongan saja, pertama golongannya kaum inferior yang hanya bisa pasrah, diam dan nurut saja meskipun kepala diinjak-injak. Dan dua, golongannya segelintir kelompok yang merasa superior, karena merasa sudah bisa menjadi fotokopynya bangsa lain. Karena merasa sudah menguasai teknologi dan ada juga yang karena merasa telah menguasai ilmu-ilmu Illahi. Rasa superiornya itulah yang mendorongnya merasa terpanggil untuk menjadi polisi dunia. Dan satunya lagi, rasa superiornya membuatnya merasa punya otoritas sebagai wakil Tuhan. Dan kedua-duanya sama-sama merasa punya hak untuk menghukum, mengadili, memerangi, menyesatkan ataupun mengkafirkan pihak-pihak yang dirasa tidak sejalan atau akan mengganggu kepentingan-kepentingan mereka.
            Orang yang merdeka jiwanya, tidak akan inferior sekaligus tidak pula merasa superior. Jadi kalau anda mengaku orang yang percaya adanya Tuhan, tapi tidak/belum merasakan adanya kemerdekaan jiwa, anda pantas merenungkan dan mempertanyakan religiusitas anda selama ini. Kemerdekaan jiwa perlu, karena esensial bagi utuhnya hubungan kita dengan manusia dan kebenaran. Kemerdekakan memang bukan emas yang bisa buat berbangga diri, tapi kemerdekaan jiwa adalah kebutuhan yang mendasar, karena hanya dengan kemerdekaan, kemungkinan-kemungkinan baru untuk menyelesaikan konflik dapat dicari, inovasi dan alternative-alternatif baru bisa diperoleh. Karena itu bila kemerdekaan mati, dia tidak akan mati sendirian.
            Beriman/bertuhan bukanlah soal pintar-pintaran menghapal ayat atau tebal-teballan kesempurnaan kitab suci. Tidak!. Anak zaman sekarang dengan enteng akan katakan, “mana yang lebih tebal, sempurna dan jadi rujukan hidup sehari-hari, antara kitab suci dengan kitab mbah Google?”
            Beriman itu memang tidak sama dengan beragama. Beriman itu proses, penuh dialitika dan dinamis. Dari situ tumbuh kesadaran perlunya kerendahan hati , keterbukaan, sikap kritis dan percaya diri. Sementara beragama sebaliknya, sering membuat kita ketiduran dan tak menyadari perubahan hebat yang terjadi diluar dirinya. Seperti dalam sejarah gereja Katolik misalnya. Strukttur masyarakan sudah berubah dari tatanan masyarakat petani-agraris menuju masyarakat industri,  sementara ajaran gereja katolik masih berpegang pada system feudal-agraris. Baru dengan ajaran sosial Paus Leo XIII,  Rerum Novarum, maka gerejapun mengeluarkan ajaran sosial baru karena perubahan strutur masyarakat beserta implikasinya terhadap keadilan social.
            Tahun 1442, ada konsili Florence, bagi konsili ini, siapapun yang berada di luar gereja, akan masuk dalam api abadi neraka dan tidak akan kebagian kavling di surga. Dan lima abad kemudian, lahir konsili Vatikan 2. Dalam konsili ini mengakui, bahwa bukan hanya mereka yang dibaptis dan taat ke gereja saja yang bisa dapat penyelamatan dan bisa punya kavling di surga. Dan ini lucunya, di zaman digital ini,  masih ada segolongan orang yang pola pikirnya sama dengan di zaman konsili Florence, zaman ketika dunia masih sempit dan benua Amerika belum diketemukan. Mereka memonopoli kebenaran dan berkeyakinan, bahwa hanya orang-orang yang masuk golongannya saja yang punya hak masuk Surga.
            Itulah cirri-ciri orang yang jiwanya belum meredeka, masih terjerat dualisme antara surga dan neraka. Orang bodoh yang suka ribut dan berkelahi hanya karena label dan atribut, orang yang berpandangan sempit yang suka memuja hal-hal yang bersifat gebyar lahiriah belaka. Orang minder yang menutupi keminderannya dengan lagak berlebihan, merasa paling benar, pintar, suci dan sempurna sendiri.
            Dalam arsitektur, masjid sulthan Hasan di Kairo Mesir, mungkin bisa  jadi contoh. Masjid yang disebut sebagai tauladan arsitektur Islam yang luar biasa itu, kenyataannya justru didirikan di zaman ketika pemikiran dan peradapan Islam di titik terendah dan sangat statis, dengan kata lain, itu masjid didirikan hanyalah untuk lambang kekuasaan dan kewibawaan sulthan dan pemerintahannya saja, sementara di luar masjid orang hidup zuhud dan papa. Begitulah ketika agama hanya mengurusi hukum dan peraturan tingkah laku, tapi melalaikan compassion dan tumpul rasa terhadap sekitar.
            Jika diibaratkam, bangsa kita saat ini tidaklah ada bedanya dengan perwujutan masjid sulthan Hasan di Kairo itu. Rumah ibadah berdiri dimana-mana, tapi korupsi juga merajalela di setiap sendi kemasyarakatan. Energi kita selama ini lebih banyak terkuras untuk mengurusi hal-hal yang remeh-temeh, dan melupakan hal-hal mendasar yang tengah dihadapai masyarakat kita, seperti masalah pengangguran, daya beli masyarakat yang rendah, kerusakan lingkungan, budaya kekerasan, pendidikan yang amburadul dan sebagainya.
            Mental bangsa ini memang harus direvolusi, bangsa ini harus terbangun sebagai bangsa yang bermartabat tinggi sesuai sila kedua Pancasila, “kemanusiaan yang adil dan beradap”; Langkah awalnya, ya dengan mengubah pola pikirnya, dari pola pikir yang sempit-tertutup menjadi pola pikir yang luas-terbuka. Kita mencari kebenaran, bukan mencari pembenaran diri. Dengan pola pikir yang demikian, kitapun akan bisa melihat, tanda-tanda transendensi yang sebenarnya ada dalam pergulatan hidup kita sehari-hari. Ayat-ayat Tuhan tidak hanya ada di dalam kitab suci saja. Tapi pada embun, pada daun, pada tangis anak, pada keringat pekerja dan sebagainya, dalam kejernihan jiwa semua itu adalah ayat-ayat Tuhan  juga yang penuh makna. Bekerja halal yang bisa memberi manfaat bagi diri dan orang lain itu adalah ibadah juga,  jadi jangan beribadah yang hanya mementingkan kredo dan ritus, karena ibadah macam itu tidak akan memberi arti dan manfaat apa-apa bagi orang lain.
            Jangan pernah takut menanyakan dan mencari haqiqat kesejatian Tuhan. Cari, temukan dan jadilah dirimu sendiri. Karena cepat atau lambat, suka atau tidak,, kita semua pasti akan  berjalan sendirian memasuki alam kematian. Dan orang yang jiwanya telah merdeka,  telah melampaui dualitas antara kehidupan dan kematian. Kematian bukan lagi jadi hal yang menakutkan, tapi juga tak perlu buru-buru, karena(demam tujuan) kebelet pingin masuk surga (karena tak bisa gapai surga dunia) lalu lakukan bom bunuh diri dengan bendera agama.
Orang yang terjangkiti penyakit demam tujuan, memang akan cenderung menjadi pribadi yang egois dan serakah, persetan orang lain celaka atau susah yang penting dirinya sendiri bisa segera sampai di tujuan yang diimpikannya. Spiritual macam apa itu yang tujuan akhirnya hanya bidadari dan hedonisme belaka. Jika kita menghargai sesama ciptaan Tuhan, berarti kita juga telah menghargai Dia/Tuhan yang menciptakan semua keaneka-ragaman ini. Dan jika kita tidak bisa mengharai ciptaanNya, berarti kita juga tidak menghargai Dia/Tuhan. Jadi anda bias menilai sendiri, orang-orang yang gila Surga itu termasuk orang yang bias menghormati Tuhan atau tidak?.
            Kita saat ini tidak hanya punya problem politik, ekonomi atau moral. Tapi kita juga punya problem pengetahuan. Karena tidak tahu, kita sering terjerumus kedalam penyelesaian yang dangkal dan instan, terhadap permasalahan yang sebenarnya sangat komplek dan global. Karena kita ingin mengerti problem dasar manusia dan mendapatkan pemecahan problem manusia dan kemasyarakatan secara mendasar karena itu revolusi mental perlu.
            Revolusi berarti juga koreksi diri, maka jika kita punya jargon “REVOLUSI MENTAL!” Sebelumnya kita harus berani menanyai diri kita sendiri: Beranikah meninggalkan sikap dan benteng-benteng dogmatis yang sedemikian lama telah kokoh mengurung dan memenjarakan kebenaran pengetahuan kita?. Beranikah kita mempertanyakan, menggugat dan kalau perlu membongkar terhadap pemikiran-pemikiran teologis-dogmatis-formalitis yang telah dominan selama berabad-abad?. Beranikah kita katakan, “ Bahwa agama bukanlah kebenaran yang tertinggi dan paling sempurna, karena semua itu hanya milik Tuhan adanya!”
            Jika anda belum cukup punya keberanian untuk itu, berarti cakrawala pengetahuan anda masih sempit, jiwa anda belum merdeka, dan  karena itu mental anda masih perlu untuk di revolusi.