Sabtu, 05 Januari 2013

Khilafah dan amnesia sejarah



                                                      Adagium kesohor yang mengatakan, periode Salafi sebagai  massa  keemasan Islam hanyalah omong-kosong besar. Sejak mangkatnya Muhamad, zaman al-khul fa’ar-r,syid’n, hingga runtuhnya khilafah Abbasiyah, zaman itu tidak banyak pencapaian yang gemilang. Di zaman itu, justru banyak bau anyir pertumpahan darah akibat pertikaian saudara seiman yang terjadi. Itu fakta sejarah yang tak terbantah!.
                                                      Empat sahabat Muhamad, selain abu bakar, ketiganya juga mati terbunuh. Khalifah Usman misalnya, juga dibunuh oleh orang Muslim sendiri. Persendiannya dipatahkan. Dalam islam ada hokum untuk tidak boleh menunda-nunda pemakaman bagi orang mati, tapi jasad beliau sampai tertahan dua malam. Sebagian kaum Muslim juga tidak mau menyolatkan dan melarang dimakamkan di pekuburan Baqi. Dibawah lemparan batu akhirnya jasad beliau dimakamkan di di Hisy-Kaukab, area pekuburan orang Yahudi!. Kita juga tahu bagaimana tragisnya kematian Khalifah Ali (menantu Muhamad) dan anaknya Husain (cucu Muhamad).
            Jadi heran juga saya, di zaman gini masih ada juga orang-orang yang begitu bersemangat mengusung paham kekhalifah-an, yang ingin menyeragamkan aspirasi dan ekspresi sosio-budaya-politik keagamaannya dalam menterjemahkan Islam dalam bentuk yang tunggal/monolitik. Impian Islam yang satu itu ahistoris, impian itu hanya akan melahirkan klaim kebenaran yang absolut. Hal itu sekaligus hanya menunjukkan bahwa mereka itu orang-orang yang tidak sadar (amnesia) bahwa hidup social itu tidak bisa sendirian. Di hutanpun kita hidup bersama hewan, tumbuh-tumbuhan dan semak-belukar.
            Bagi saya, paham khilafah itu perlu diwaspadai, karena paham ini akan melemahkan sendi-sendi kehidupan kita baik secara pribadi, kelompok, maupun bangsa secara menyeluruh yang pluralis.
            Dalam logika orang kampung seperti saya, kalau ada kelompok yang merasa benar sendiri dan yang lain dituding sesat, saya rasa mereka akan kesepian dan bosan ada di Surga nanti, karena dalam persepsinya Surga hanya akan diisi oleh orang-orang yang sama-sama sepaham dengan mereka doang. Dalam bahasanya Michel Foucault, “Selama ini kaum yang berkaitan dengan moralitas tertinggi (agamawan), ternyata hanyalah konstruktor-konstruktor realitas yang bekerja hanya demi kepentingan diri dan aliran paham yang dianutnya saja.”
            Jika kita punya keberanian melampaui batas nilai-nilai budaya, tradisi, moralitas dan agama, maka mudahlah bagi kita untuk menunjukkan kebobrokan dalam system Khilafah itu. Bagi mereka yang familiar dengan pemikiran para ilmuwan dari kajian teori kritis macam Machiavelli, Karl-Mark, Nietzsche, Habermas atau Facault. Tentu tidak akan heran lagi melihat stuktur logika kekuasaan yang penuh imagologi dalam paham Khilafah itu. Isu agama yang hanya dipakai untuk kedok/menutupi kepentingan ekonomi dan kekuasaan segelitir kelompok kecil orang.
            Boleh-boleh saja kita percaya ajaran agama itu sangat mulia, tapi sejarah juga mencatat tak banyak penguasa yang mulia hanya karena hapal agama. Begitupun cita-cita revolusi (khilafah) boleh mulia, tapi pasti berbau terror!. Revolusi itu hitam-putih yang memuja permusuhan. Suka atau tidak, kita harus memihak. Yang menang dicatat sebagai pahlawan yang kalah di cap pengkhianat. Jangan harap ada toleransi dan diskusi. Diawal-awal kemenangan revolusi yang ada hanya kesibukan para penguasa mempertahankan kekuasaannya. Organisasi mata-mata dikokohkan, terror disebarkan agar orang tetap berpihak dan setia. Mencurigai, mengintimidasi, pengusiran, pembasmian dan daftar orang di penjara dan mati sia-sia akan sangat panjang.
            Setelah revolusi selesai, si tertindas ambil alih dan mulai berbuat seperti si penindas (Woody  Allen).
            Di Timur-Tengah sendiri paham Khilafah itu sudah tidak laku. Hanya dalam masyarakat yang amnesia sejarah dan suka inferior jika berhadapan dengan bangsa lain, yang mau menerima paham ini.  Melihat, bukan hanya idiologinya, tapi juga pendanaannya yang berasal dari luar, saya jadi curiga, jangan-jangan para pengusung paham kekhalifahan ini sebenarnya hanyalah gerombolan para penjual Negara yang bertudung dibawah kesucian agama. Paham khilafah itu sudah jelas-jelas gagal total dan hanya mewakili wajah kekuasan yang tiran dan serba formalis syaria’ah, tapi esensi spiritualnya sendiri penuh tanda tanya.
            Label syari’ah kini jadi sebuah trik marketing yang jitu untuk merup untung. Apapun kini latah semua dilabeli syaria’ah, termasuk promo property dan wisata. Tapi pernahkah kita bertanya hal-hal yang subtansi, misalnya, di bank syaria’ah itu tidak memungkinkankah terjadinya skandal pencucian uang?. Bagaimana menanggulangi masalah utang luar negeri secara syaria’ah?. Bagaimana agar upah meningkat sedangkan harga menurun secara syari’ah? Bagaimana mengatasi masalah banjir dan kemacetan secara syaria’ah?. Bagaimana agar departemen agama (penjaga syari’ah?) angka korupsinya bisa nol persen.
             Jika teladan hidup Muhamad sebagai tolak-ukurnya, jelas para khalifah sesudahnya hanyalah contoh ketidaksempurnaan dan sejarah Islam hanya sejarah tentang kemerosotan belaka. Tapi akan lain halnya jika kita ambil tolak ukur yang lain. Misalnya Bahdad di awal abad 9, di zaman Al-makmun yang mendirikan Bait-ul Hikmah (balai kebijaksanaan). Sebuah pusat kegiatan ilmiah dan perpustakaan umum yang  menurut Ibnu Khaldun, jadi awal kebangkitan ilmu, medis, sastra, dan kesenian yang tersohor dalam sejarah. Yang melahirkan orang macam Muhamad Ibnu Musa atau Al-Khawarizmi, yang daftar astronomi yang disusunnya dipakai dari  Cordova sampai Cina. Dan di abad 12 karya matematikanya dikenal di Eropa sebagai ilmu Al-Jabar.
            Menurut saya, zaman Bait-ul Hikmah adalah masa kejayaan dan kegemilangan dalam sejarah Islam yang sesungguhnya. Tapi jelas zaman itu bukan zaman yang tunggal Islam. Karena bait-ul Hikmah juga jadi pusat penterjemahan besar-besaran karya Yunani bahkan Hindu!. Jadi adakah Bait-ul Hikmah akan dinilai tinggi dan dihargai jika berdiri di zaman khilafah yang mengagung-agungkan kemurnian dan anti pengaruh di luar Islam?.
             Bagi saya, Indonesia adalah bait-ul Hikmah raksasa. Jadi sebenarnya kita punya potensi untuk menjadi bangsa yang besar. Kalau selama ini kita masih terseok-seok dihadapan bangsa lain, masalah yang paling mendasar adalah masalah mentalnya. Secara fisik kita sudah merdeka, tapi jiwanya bangsa ini masih terjajah. Salah satu mentalitas kaum yang terjajah adalah selalu inferior/minder jika berhadapan dengan bangsa lain.
            Maka advis saya, mari kita sejenak berpaling dari idiologi asing dan menoleh kedalam. Kembali ke tradisi bangsa sendiri. Kembali ke jatidiri bangsa sendiri.  Kita tafsir kembali, misalnya Pancasila dengan lebih kritis dan profresif, disitu akan bisa kita lihat, bergabungnya hasrat perubahan social secara radikal dengan keyakinan perlunya demensi moral (sila pertama) dalam masyarakat agar tidak terjatuh dalam totalliarianisme!.
            KETUHANAN YANG MAHA ESA. Bertuhan itu tidak identik dengan beragama. Orang beragama belum tentu bertuhan. Tapi jika orang sudah bisa bertuhan, semua agama lewat. Bertuhan itu proses pencarian terus-menerus haqiqat kesejatian diri. Seperti arus air yang mengalir menuju samudera, disana tidak ada lagi pengotak-kotakkan, yang ada hanya Tuhan yang bersifat universal dan tidak perlu dibela. Jadi memang pantas disayangkan, jika dalam spiritual kita sudah merasa puas dan bangga hanya berhenti di bendungan besar ciptaan manusia yang bernama agama!.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar