Adagium
kesohor yang mengatakan, periode Salafi sebagai
massa keemasan Islam hanyalah
omong-kosong besar. Sejak mangkatnya Muhamad, zaman al-khul fa’ar-r,syid’n,
hingga runtuhnya khilafah Abbasiyah, zaman itu tidak banyak pencapaian yang
gemilang. Di zaman itu, justru banyak bau anyir pertumpahan darah akibat
pertikaian saudara seiman yang terjadi. Itu fakta sejarah yang tak terbantah!.
Empat
sahabat Muhamad, selain abu bakar, ketiganya juga mati terbunuh. Khalifah Usman
misalnya, juga dibunuh oleh orang Muslim sendiri. Persendiannya dipatahkan.
Dalam islam ada hokum untuk tidak boleh menunda-nunda pemakaman bagi orang
mati, tapi jasad beliau sampai tertahan dua malam. Sebagian kaum Muslim juga
tidak mau menyolatkan dan melarang dimakamkan di pekuburan Baqi. Dibawah
lemparan batu akhirnya jasad beliau dimakamkan di di Hisy-Kaukab, area
pekuburan orang Yahudi!. Kita juga tahu bagaimana tragisnya kematian Khalifah
Ali (menantu Muhamad) dan anaknya Husain (cucu Muhamad).
Jadi heran juga saya, di zaman gini masih ada juga
orang-orang yang begitu bersemangat mengusung paham kekhalifah-an, yang ingin
menyeragamkan aspirasi dan ekspresi sosio-budaya-politik keagamaannya dalam
menterjemahkan Islam dalam bentuk yang tunggal/monolitik. Impian Islam yang
satu itu ahistoris, impian itu hanya akan melahirkan klaim kebenaran yang
absolut. Hal itu sekaligus hanya menunjukkan bahwa mereka itu orang-orang yang
tidak sadar (amnesia) bahwa hidup social itu tidak bisa sendirian. Di hutanpun
kita hidup bersama hewan, tumbuh-tumbuhan dan semak-belukar.
Bagi saya, paham khilafah itu perlu diwaspadai, karena
paham ini akan melemahkan sendi-sendi kehidupan kita baik secara pribadi,
kelompok, maupun bangsa secara menyeluruh yang pluralis.
Dalam logika orang kampung seperti saya, kalau ada
kelompok yang merasa benar sendiri dan yang lain dituding sesat, saya rasa
mereka akan kesepian dan bosan ada di Surga nanti, karena dalam persepsinya
Surga hanya akan diisi oleh orang-orang yang sama-sama sepaham dengan mereka doang.
Dalam bahasanya Michel Foucault, “Selama ini kaum yang berkaitan dengan
moralitas tertinggi (agamawan), ternyata hanyalah konstruktor-konstruktor
realitas yang bekerja hanya demi kepentingan diri dan aliran paham yang
dianutnya saja.”
Jika kita punya keberanian melampaui batas nilai-nilai
budaya, tradisi, moralitas dan agama, maka mudahlah bagi kita untuk menunjukkan
kebobrokan dalam system Khilafah itu. Bagi mereka yang familiar dengan
pemikiran para ilmuwan dari kajian teori kritis macam Machiavelli, Karl-Mark,
Nietzsche, Habermas atau Facault. Tentu tidak akan heran lagi melihat stuktur
logika kekuasaan yang penuh imagologi dalam paham Khilafah itu. Isu agama yang
hanya dipakai untuk kedok/menutupi kepentingan ekonomi dan kekuasaan segelitir
kelompok kecil orang.
Boleh-boleh saja kita percaya ajaran agama itu sangat
mulia, tapi sejarah juga mencatat tak banyak penguasa yang mulia hanya karena
hapal agama. Begitupun cita-cita revolusi (khilafah) boleh mulia, tapi pasti
berbau terror!. Revolusi itu hitam-putih yang memuja permusuhan. Suka atau
tidak, kita harus memihak. Yang menang dicatat sebagai pahlawan yang kalah di
cap pengkhianat. Jangan harap ada toleransi dan diskusi. Diawal-awal kemenangan
revolusi yang ada hanya kesibukan para penguasa mempertahankan kekuasaannya.
Organisasi mata-mata dikokohkan, terror disebarkan agar orang tetap berpihak
dan setia. Mencurigai, mengintimidasi, pengusiran, pembasmian dan daftar orang
di penjara dan mati sia-sia akan sangat panjang.
Setelah revolusi selesai, si tertindas ambil alih dan
mulai berbuat seperti si penindas (Woody
Allen).
Di Timur-Tengah sendiri paham Khilafah itu sudah tidak
laku. Hanya dalam masyarakat yang amnesia sejarah dan suka inferior jika
berhadapan dengan bangsa lain, yang mau menerima paham ini. Melihat, bukan hanya idiologinya, tapi juga
pendanaannya yang berasal dari luar, saya jadi curiga, jangan-jangan para
pengusung paham kekhalifahan ini sebenarnya hanyalah gerombolan para penjual Negara
yang bertudung dibawah kesucian agama. Paham khilafah itu sudah jelas-jelas
gagal total dan hanya mewakili wajah kekuasan yang tiran dan serba formalis
syaria’ah, tapi esensi spiritualnya sendiri penuh tanda tanya.
Label syari’ah kini jadi sebuah trik marketing yang jitu
untuk merup untung. Apapun kini latah semua dilabeli syaria’ah, termasuk promo property
dan wisata. Tapi pernahkah kita bertanya hal-hal yang subtansi, misalnya, di
bank syaria’ah itu tidak memungkinkankah terjadinya skandal pencucian uang?.
Bagaimana menanggulangi masalah utang luar negeri secara syaria’ah?. Bagaimana
agar upah meningkat sedangkan harga menurun secara syari’ah? Bagaimana
mengatasi masalah banjir dan kemacetan secara syaria’ah?. Bagaimana agar departemen
agama (penjaga syari’ah?) angka korupsinya bisa nol persen.
Jika teladan hidup
Muhamad sebagai tolak-ukurnya, jelas para khalifah sesudahnya hanyalah contoh
ketidaksempurnaan dan sejarah Islam hanya sejarah tentang kemerosotan belaka.
Tapi akan lain halnya jika kita ambil tolak ukur yang lain. Misalnya Bahdad di
awal abad 9, di zaman Al-makmun yang mendirikan Bait-ul Hikmah (balai
kebijaksanaan). Sebuah pusat kegiatan ilmiah dan perpustakaan umum yang menurut Ibnu Khaldun, jadi awal kebangkitan
ilmu, medis, sastra, dan kesenian yang tersohor dalam sejarah. Yang melahirkan
orang macam Muhamad Ibnu Musa atau Al-Khawarizmi, yang daftar astronomi yang disusunnya
dipakai dari Cordova sampai Cina. Dan di
abad 12 karya matematikanya dikenal di Eropa sebagai ilmu Al-Jabar.
Menurut saya, zaman Bait-ul Hikmah adalah masa kejayaan
dan kegemilangan dalam sejarah Islam yang sesungguhnya. Tapi jelas zaman itu bukan
zaman yang tunggal Islam. Karena bait-ul Hikmah juga jadi pusat penterjemahan
besar-besaran karya Yunani bahkan Hindu!. Jadi adakah Bait-ul Hikmah akan
dinilai tinggi dan dihargai jika berdiri di zaman khilafah yang
mengagung-agungkan kemurnian dan anti pengaruh di luar Islam?.
Bagi saya,
Indonesia adalah bait-ul Hikmah raksasa. Jadi sebenarnya kita punya potensi
untuk menjadi bangsa yang besar. Kalau selama ini kita masih terseok-seok
dihadapan bangsa lain, masalah yang paling mendasar adalah masalah mentalnya.
Secara fisik kita sudah merdeka, tapi jiwanya bangsa ini masih terjajah. Salah
satu mentalitas kaum yang terjajah adalah selalu inferior/minder jika
berhadapan dengan bangsa lain.
Maka advis saya, mari kita sejenak berpaling dari
idiologi asing dan menoleh kedalam. Kembali ke tradisi bangsa sendiri. Kembali
ke jatidiri bangsa sendiri. Kita tafsir
kembali, misalnya Pancasila dengan lebih kritis dan profresif, disitu akan bisa
kita lihat, bergabungnya hasrat perubahan social secara radikal dengan
keyakinan perlunya demensi moral (sila pertama) dalam masyarakat agar tidak
terjatuh dalam totalliarianisme!.
KETUHANAN YANG MAHA ESA. Bertuhan itu tidak identik dengan
beragama. Orang beragama belum tentu bertuhan. Tapi jika orang sudah bisa bertuhan,
semua agama lewat. Bertuhan itu proses pencarian terus-menerus haqiqat
kesejatian diri. Seperti arus air yang mengalir menuju samudera, disana tidak
ada lagi pengotak-kotakkan, yang ada hanya Tuhan yang bersifat universal dan
tidak perlu dibela. Jadi memang pantas disayangkan, jika dalam spiritual kita
sudah merasa puas dan bangga hanya berhenti di bendungan besar ciptaan manusia
yang bernama agama!.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar