Minggu, 24 Maret 2013

CATATAN DARI DAERAH KONFLIK




            Ini catatan saya, ketika satu kapal dengan para pengungsi dari Ambon, yang menghindar dari konfflik berlatar belakang Sara, kesenjangan social, kecemburuan ekonomi dan perebutan kekuasaan yang terjadi disana. Sangat kompleks permasalahannya. Jadi hanya orang berkaca-mata kuda yang katakan, konflik di Ambon itu sebagai perang agama!.
            Saat itu saya berada di dek teratas dibagian buritan kapal. Tempat yang nyaman buat nongkrong memandangi luasnya lautan biru. Sebab disitu disediakan meja-kursi dan ada warung kecil yang menyediakan aneka minuman, makanan kecil ataupun mie rebus. Saat itu saya satu meja dan berkenalan dengan beberapa pengungsi dari Ambon. Mungkin karena factor trauma psikologis, mereka jadi sangat hati-hati sekali dalam berbicara dan yang dibicarakan juga hanya yang bersifat umum-umum saja.
            Suasana jadi sedikit tegang, ketika salah seorang pengusngsi disitu bertanya pada saya dengan nada dingin, “Apa sih sebenarnya agama anda itu?”
            Pada awalnya saya ragu untuk berterus-terang, tapi celakanya, saya ini bukan tipe orang yang pintar  menutupi suara hati. Jika hati saya bilang “A” ya mulut ngomong “A”. Jika hati bilang “B”, mulut juga ngomong “B”. Maka dengan terus –terang saya katakana, “Saya orang tidak punya agama!”
            “Anda orang atheis?”
            “Tidak. Saya memang bukan orang beragama, tapi saya percaya adanya Tuhan.”
            Suasana tegang yang sempat terciptapun seketika mencair, begitu orang yang menanyai saya itu langsung tersenyum begitu mendengar pengakuan saya. Bagiku, pandangan orang itu yang menganggap saya bukan sebagai musuh atau ancaman, itu sudah lebih dari cukup. Soal pandangan orang itu yang masih  menganggap  saya seperti alien atau mahkluk asing dari dunia antah-berantah, itu bukan masalah. Itu hanyalah masalah waktu saja. Saya sendiri sudah terbiasa, berhadapan dengan orang yang berpandangan, bahwa orang yang tak beragama itu sama saja atheis. Bahkan ada yang lebih ngawur lagi, ada yang memvonis, bahwa orang tidak beragama itu sama saja dengan PKI!.
            Sambil tersenyum getir si penanya saya itupun kemudian berujar, “Saya tidak tahu. Apa jadinya dunia ini, jika isinya hanya orang-orang tidak beragama seperti anda ini. Sedang ada agama dan orang-orangnya mengaku beragama saja, masih pada saling bunuh, bakar, siksa, rampok, perkosa, dan sebagainya!”
            “Seperti anda, saya juga tidak tahu apa yang akan terjadi esok hari.” Jawab saya. “Tapi satu hal yang saya tahu pasti, dalam hati anda sendiri sebenarnya meragukan keberadaan agama yang bisa membuat manusia jadi lebih baik.”
            “Maksud anda?”
            “Bukankah tadi anda katakan sendiri, orang punya agama saja masih pada saling bunuh, bakar, siksa, perkosa dan sebagainya?. Dan sekarang anda lihat, saya orang yang tidak punya agama ini. Bukannya bermaksud menyomnongkan diri, tapi alhamdulilah, syukur puji Tuhan. Sampai sekarang saya belum pernah melakukan tindakan kriminal. Apalagi sampai jadi pembunuh sesama manusia.
            Inilah kesalahan kita selama ini, yang suka menilai dan memandang seseorang itu bukan dari moralitas dan tingkah lakunya. Tapi lebih suka menilai dan memandang orang lain itu dari apa agamanya, sukunya, rasnya, orientasi sexsualnya, gendernya dan sebagainya. Orang lain jika dilihatnya tidak sama agamanya dengan kita, divonis salah, sesat, kafir dan harus ditaubatkan dari keyakinannya?  Pandangan seperti itu khan picik dan sempit sekali. Bagaimana kita akan bisa jadi bangsa yang besar, jika cakrawala pemikiran masyarakatnya sedemikian kerdilnya.”
 “Tapi saya tetap tak habis bisa mengerti, apa jadinya jika kehidupan ini hanya diisi oleh orang-orang tak punya aturan dan tak tahu agama seperti anda Ini”
            “Anda tentu tahu khan, siapa itu Sokrates, Plato atau Aristoteles? Jelas mereka bukan orang Yahudi, Hindu, budha, kristiani, ataupun Islam. Tapi mereka toh tahu dan bisa berkelakuan penuh keluhuran budi. Mereka juga bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk ataupun mana yang salah dan mana yang benar. Mereka juga bisa punya keteguhan hati untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan ditengah-tengah kesewenang-wenangan penguasa. Mereka juga bisa buktikan dalam hidup mereka meskipun tanpa agama, bahwa kwalitas hidup seseorang itu bukan diukur dari jabatan dan kekayaannya, melainkan dari konsistensinya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
            Mereka orang yang belum terkontaminasi doktrin agama, dan sekarang anda lihat sendiri orang-orang yang katanya beragama itu moralital dan kelakuannya seperti apa???”
            “Tapi saya tetap berkeyakinan, orang itu akan lebih baik jika beragama daripada tidak!”
            “Saya hargai keyakinan anda itu dan yang terpenting harus bisa di buktikan. Tapi kalau boleh saya nanya, ‘Apa sih cirinya orang bisa disebut beragama itu?’ “  karena saya Tanya beberapa waktu orang itu hanya diam saja, akhirnya saya jawab sendiri pertanyaan saya itu. “Orang bisa disebut beragama karena punya dua hal yang mendasar, yaitu kitab suci dan nabi. Dan sekarang kita coba lihat kehidupan para nabi itu sendiri. Bukankah para nabi itu jadi nabi bagi dirinya sendiri? Dan kitab suci itu bukankah tercipta-susun setelah beberapa waktu nabi itu wafat? Dengan demikian bukankah bisa dikatakan, bahwa para nabi itu sendiri sebenarnya bukan orang-orang yang beragama? Karena tidak punya nabi dan kitab suci?
            Para nabi itu seperti saya khan, tidak beragama tapi percaya adanya Tuhan? Beragama itu tidak identik dengan berTuhan.  Dan bagi anda yang sudah ngaku beragama tapi masih suka rampok, siksa, bakar, bunuh dan perkosa sesamanya. Itu artinya anda baru beragama tapi belum berTuhan. Dan sekarang terserah anda mau pilih mana. Mau pilih Tuhan yang abadi atau pilih agama yang bisa di tafsir belok-belokkan sesuka hati itu”
            “Anda tak punya nabi dan kitab suci, tapi paling tidak anda khan punyalah guru, pembimbing, panutan atau apalah sebutannya.”
            “Pengalaman adalah guru yang terbaik, kata orang bijak. Jadi kemanapun saya melangkah, sebenarnya saya tengah bertemu dengan guru saya. Termasuk ketika saya bertemu anda kali ini, sebenarnya saya juga tengah bertemu dengan guru saya. Karena jujur saya harus akui, pertemuan kita kali ini memang memberi banyak sekali pelajaran dan inspirasi buat saya. Dan saya trmasuk tipe murid yang sangat hormat pada para gurunya hahaha………………“
            Pembicaraan kamipun terus berlanjut. Diskusi kamipun terus mengalir dafri topic yang satu ke topic yang lain. Bahkan beberapa pemuda disitu menanyakan, tentang bagaimana cewek-cewek di Jawa? Hahaha…………….. Pembicaraan yang hangat, penuh canda-tawa dan penuh keakrapan seolah seperti perjumpaan sahabat lama saja. Dan satu hal yang membuat hati saya sangat bahagia, ketika saya menatap mereka yang tadinya dingin seolah menyembunyikan dendam, curiga, derita dan amarah. Kini tidak ada lagi kesan itu. Yang ada hanya sorot mata yang berbinar-binar jernih. Dan saat itu saya hanya bisa berdoa’a, semoga sorot mata yang indah itu tetap seperti itu selamanya.
            Pengalaman adalah guru yang terbaik? Jadi betapa tololnya kita-kita ini jika tidak bisa mengambil hikmah/pelajaran dari kejadian nyata yang sungguh sangat mahal sekali harganya itu. Pelajaran yang tidak hanya harus ditebus dengan pengorbanan harta-benda, tapi juga harus mengorbankan banyak nyawa saudara-saudara kita sendiri.
            Perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian itu memang terbatas oleh ruang dan waktu. Kita memang tidak bisa melawan kodrat alam sebagai mahkluk yang terbatas. Tapi itu bukan alas an kita untuk menyerah dan berhenti mengusahakan nilai-nilai universal, seperti halnya perdamaian. Justru keterbatasan itu yang menyadarkan kita, untuk bersedia ditegur, mengerti rasa malu, takut berbuat dosa dan selalu bersikap kritis agar tidak terbelokkan oleh dunia yang terus berubah ini.
            Pengalaman eksistensial mengenai keterbatasan diri dan dunianya, sekaligus memendam kerinduan untuk bisa menggapai perdamaian dan kebahagiaan yang hakiki. Cepat atau lambat, saya percaya itu akan mengantar siapapun orangnya pada kesadaran akan keberadaan Tuhan YME. Dialah sang penjamin kebahagian dan arah perjuangan hidup manusia.
            SEMAKIN JAUH AKU MENGEMBARA, SEMAKIN TERANG-BENDERANG TANAH MUASAL

Tidak ada komentar:

Posting Komentar