Ini catatan saya, ketika satu kapal dengan para pengungsi
dari Ambon, yang menghindar dari konfflik berlatar belakang Sara, kesenjangan social,
kecemburuan ekonomi dan perebutan kekuasaan yang terjadi disana. Sangat
kompleks permasalahannya. Jadi hanya orang berkaca-mata kuda yang katakan,
konflik di Ambon itu sebagai perang agama!.
Saat itu saya berada di dek teratas dibagian buritan
kapal. Tempat yang nyaman buat nongkrong memandangi luasnya lautan biru. Sebab
disitu disediakan meja-kursi dan ada warung kecil yang menyediakan aneka
minuman, makanan kecil ataupun mie rebus. Saat itu saya satu meja dan berkenalan
dengan beberapa pengungsi dari Ambon. Mungkin karena factor trauma psikologis,
mereka jadi sangat hati-hati sekali dalam berbicara dan yang dibicarakan juga
hanya yang bersifat umum-umum saja.
Suasana jadi sedikit tegang, ketika salah seorang
pengusngsi disitu bertanya pada saya dengan nada dingin, “Apa sih sebenarnya
agama anda itu?”
Pada awalnya saya ragu untuk berterus-terang, tapi
celakanya, saya ini bukan tipe orang yang pintar menutupi suara hati. Jika hati saya bilang “A”
ya mulut ngomong “A”. Jika hati bilang “B”, mulut juga ngomong “B”. Maka dengan
terus –terang saya katakana, “Saya orang tidak punya agama!”
“Anda orang atheis?”
“Tidak. Saya memang bukan orang beragama, tapi saya
percaya adanya Tuhan.”
Suasana tegang yang sempat terciptapun seketika mencair,
begitu orang yang menanyai saya itu langsung tersenyum begitu mendengar
pengakuan saya. Bagiku, pandangan orang itu yang menganggap saya bukan sebagai
musuh atau ancaman, itu sudah lebih dari cukup. Soal pandangan orang itu yang masih
menganggap saya seperti alien atau mahkluk asing dari dunia
antah-berantah, itu bukan masalah. Itu hanyalah masalah waktu saja. Saya
sendiri sudah terbiasa, berhadapan dengan orang yang berpandangan, bahwa orang
yang tak beragama itu sama saja atheis. Bahkan ada yang lebih ngawur lagi, ada
yang memvonis, bahwa orang tidak beragama itu sama saja dengan PKI!.
Sambil tersenyum getir si penanya saya itupun kemudian
berujar, “Saya tidak tahu. Apa jadinya dunia ini, jika isinya hanya orang-orang
tidak beragama seperti anda ini. Sedang ada agama dan orang-orangnya mengaku
beragama saja, masih pada saling bunuh, bakar, siksa, rampok, perkosa, dan
sebagainya!”
“Seperti anda, saya juga tidak tahu apa yang akan terjadi
esok hari.” Jawab saya. “Tapi satu hal yang saya tahu pasti, dalam hati anda
sendiri sebenarnya meragukan keberadaan agama yang bisa membuat manusia jadi
lebih baik.”
“Maksud anda?”
“Bukankah tadi anda katakan sendiri, orang punya agama
saja masih pada saling bunuh, bakar, siksa, perkosa dan sebagainya?. Dan
sekarang anda lihat, saya orang yang tidak punya agama ini. Bukannya bermaksud
menyomnongkan diri, tapi alhamdulilah, syukur puji Tuhan. Sampai sekarang saya
belum pernah melakukan tindakan kriminal. Apalagi sampai jadi pembunuh sesama manusia.
Inilah kesalahan kita selama ini, yang suka menilai dan
memandang seseorang itu bukan dari moralitas dan tingkah lakunya. Tapi lebih
suka menilai dan memandang orang lain itu dari apa agamanya, sukunya, rasnya,
orientasi sexsualnya, gendernya dan sebagainya. Orang lain jika dilihatnya
tidak sama agamanya dengan kita, divonis salah, sesat, kafir dan harus
ditaubatkan dari keyakinannya? Pandangan
seperti itu khan picik dan sempit sekali. Bagaimana kita akan bisa jadi bangsa
yang besar, jika cakrawala pemikiran masyarakatnya sedemikian kerdilnya.”
“Tapi saya tetap tak habis bisa mengerti, apa
jadinya jika kehidupan ini hanya diisi oleh orang-orang tak punya aturan dan
tak tahu agama seperti anda Ini”
“Anda tentu tahu khan, siapa itu Sokrates, Plato atau
Aristoteles? Jelas mereka bukan orang Yahudi, Hindu, budha, kristiani, ataupun
Islam. Tapi mereka toh tahu dan bisa berkelakuan penuh keluhuran budi. Mereka
juga bisa membedakan mana yang baik mana yang buruk ataupun mana yang salah dan
mana yang benar. Mereka juga bisa punya keteguhan hati untuk memperjuangkan
kebenaran dan keadilan ditengah-tengah kesewenang-wenangan penguasa. Mereka
juga bisa buktikan dalam hidup mereka meskipun tanpa agama, bahwa kwalitas
hidup seseorang itu bukan diukur dari jabatan dan kekayaannya, melainkan dari
konsistensinya untuk memperjuangkan nilai-nilai kemanusiaan.
Mereka orang yang belum terkontaminasi doktrin agama, dan
sekarang anda lihat sendiri orang-orang yang katanya beragama itu moralital dan
kelakuannya seperti apa???”
“Tapi saya tetap berkeyakinan, orang itu akan lebih baik
jika beragama daripada tidak!”
“Saya hargai keyakinan anda itu dan yang terpenting harus
bisa di buktikan. Tapi kalau boleh saya nanya, ‘Apa sih cirinya orang bisa disebut
beragama itu?’ “ karena saya Tanya beberapa
waktu orang itu hanya diam saja, akhirnya saya jawab sendiri pertanyaan saya
itu. “Orang bisa disebut beragama karena punya dua hal yang mendasar, yaitu
kitab suci dan nabi. Dan sekarang kita coba lihat kehidupan para nabi itu sendiri.
Bukankah para nabi itu jadi nabi bagi dirinya sendiri? Dan kitab suci itu
bukankah tercipta-susun setelah beberapa waktu nabi itu wafat? Dengan demikian
bukankah bisa dikatakan, bahwa para nabi itu sendiri sebenarnya bukan
orang-orang yang beragama? Karena tidak punya nabi dan kitab suci?
Para nabi itu seperti saya khan, tidak beragama tapi
percaya adanya Tuhan? Beragama itu tidak identik dengan berTuhan. Dan bagi anda yang sudah ngaku beragama tapi
masih suka rampok, siksa, bakar, bunuh dan perkosa sesamanya. Itu artinya anda
baru beragama tapi belum berTuhan. Dan sekarang terserah anda mau pilih mana.
Mau pilih Tuhan yang abadi atau pilih agama yang bisa di tafsir belok-belokkan
sesuka hati itu”
“Anda tak punya nabi dan kitab suci, tapi paling tidak
anda khan punyalah guru, pembimbing, panutan atau apalah sebutannya.”
“Pengalaman adalah guru yang terbaik, kata orang bijak.
Jadi kemanapun saya melangkah, sebenarnya saya tengah bertemu dengan guru saya.
Termasuk ketika saya bertemu anda kali ini, sebenarnya saya juga tengah bertemu
dengan guru saya. Karena jujur saya harus akui, pertemuan kita kali ini memang memberi
banyak sekali pelajaran dan inspirasi buat saya. Dan saya trmasuk tipe murid
yang sangat hormat pada para gurunya hahaha………………“
Pembicaraan kamipun terus berlanjut. Diskusi kamipun
terus mengalir dafri topic yang satu ke topic yang lain. Bahkan beberapa pemuda
disitu menanyakan, tentang bagaimana cewek-cewek di Jawa? Hahaha…………….. Pembicaraan
yang hangat, penuh canda-tawa dan penuh keakrapan seolah seperti perjumpaan
sahabat lama saja. Dan satu hal yang membuat hati saya sangat bahagia, ketika
saya menatap mereka yang tadinya dingin seolah menyembunyikan dendam, curiga,
derita dan amarah. Kini tidak ada lagi kesan itu. Yang ada hanya sorot mata
yang berbinar-binar jernih. Dan saat itu saya hanya bisa berdoa’a, semoga sorot
mata yang indah itu tetap seperti itu selamanya.
Pengalaman adalah guru yang terbaik? Jadi betapa tololnya
kita-kita ini jika tidak bisa mengambil hikmah/pelajaran dari kejadian nyata
yang sungguh sangat mahal sekali harganya itu. Pelajaran yang tidak hanya harus
ditebus dengan pengorbanan harta-benda, tapi juga harus mengorbankan banyak
nyawa saudara-saudara kita sendiri.
Perjuangan menegakkan keadilan dan perdamaian itu memang
terbatas oleh ruang dan waktu. Kita memang tidak bisa melawan kodrat alam
sebagai mahkluk yang terbatas. Tapi itu bukan alas an kita untuk menyerah dan
berhenti mengusahakan nilai-nilai universal, seperti halnya perdamaian. Justru
keterbatasan itu yang menyadarkan kita, untuk bersedia ditegur, mengerti rasa
malu, takut berbuat dosa dan selalu bersikap kritis agar tidak terbelokkan oleh
dunia yang terus berubah ini.
Pengalaman eksistensial mengenai keterbatasan diri dan dunianya,
sekaligus memendam kerinduan untuk bisa menggapai perdamaian dan kebahagiaan
yang hakiki. Cepat atau lambat, saya percaya itu akan mengantar siapapun
orangnya pada kesadaran akan keberadaan Tuhan YME. Dialah sang penjamin
kebahagian dan arah perjuangan hidup manusia.
SEMAKIN JAUH
AKU MENGEMBARA, SEMAKIN TERANG-BENDERANG TANAH MUASAL
Tidak ada komentar:
Posting Komentar