Minggu, 30 Juni 2013

REVITALISASI SPIRITUAL NUSANTARA



              Di tempat saya pernah tumbuh cukup pesat ajaran kebatinan. Beberapa tahun kemudian saya merantau, dan ketika pulang kampung lagi, ternyata ajaran itu telah habis pemeluknya. Dari situlah saya jadi bertanya-tanya, “Kenapa ajaran yang mendidik kita menjadi insan yang berbudi pekerti luhur (budi-pada hati, untuk membentuk pekerti-pada lahir) bisa sedemikian cepatnya kehilangan pemeluknya. Kenapa ajaran spiritual nusantara ini, kini bisa menjadi seperti orang asing di negerinya sendiri?. Padahal ini ajaran bisa jadi pondasi dalam pembentukan karakter dan mental  seseorang. Lebih luasnya lagi bisa jadi jati-diri kita dalam berbangsa.”
            Ajaran kebatinan sebenarnya sudah ada jauh sebelum agama-agama formal-terorganisis terbentuk. Ketika manusia menyadari, bahwa didirinya terdiri dari raga dan jiwa (batin), Saat itu orang sudah menjadi seorang kebatinan. Kebatinan berasal dari bahasa Arab, asal katanya adalah bathin (dengan huruf Bhaa & Thaa & Nun). Bathin adalah lawan kata dari zhahir, yang dalam lidah kita menjadi lahir dan batin.
             Jadi zaman animisme-dinamisme itupun ajaran kebatinan sudah tumbuh, yang membuahkan beberapa kearifan local. Ketika agama-agama mengekspansi negeri ini, mereka juga masih bicara soal kebatinan, tapi cenderung lebih kuat dalam mengibarkan bendera formalitas dogma agamanya. Dalam Islam khususnya, mungkin hanya mereka yang mngajarkan ilmu tasawuf yang masih mengajarkan kebatinan (pencarian haqiqat kesejatian diri) secara mendalam. Dengan tokohnya  yang terkenal bernama Al-Hallag, yang wafat secara  tragis oleh orang-orang Islam sendiri. Di kita ada Syeh Siti Jenar, yang jika ditarik benang merahnya, sadar atau tidak ada hubungannya dengan ajaran Neo Platonisme!.
             Jadi baik secara intelektual ataupun spiritual, kita ini sesungguhnya bangsa yang cerdas. Sejak zaman animisme, dengan kecerdasan alamiahnya mereka membangun tradisi lisan, bahasa, dongeng, nyanyian, upacara-upacara dan sebagainya. Yang kesemuanya itu sekarang sering dianggap sebagai kebudayaan liar yang selalu ingin meletup tapi tertekan dibawah  ajaran agama yang resmi dan adikuasa?. Ketika kebudayaan lisan dihadapakan pada kebudayaan tulisan (teks agama), kebudayaan lisan kesannya memang menjadi seperti pengotoran.
            Dari sinilah saya bisa menarik empat kesimpulan yang menyebabkan ajaran kebatinan itu bisa cepat kehilangan pemeluknya:
            1. Kurang komunikatif.
            2. Masih kuatnya budaya lisan
            3. Masih kuatnya budaya feodal dan paternalisik (ketokohan)
            4.  Masih lemahnya dalam struktur berorganisasi
            Jadi melorotnya penganut ajaran kebatinan saat ini, bukan karena salah atau tidak berkualitasnya itu ajaran. Tapi karena cara penyampaiannya yang kurang komunikatif. Masih terlalu banyak menggunakan medium-medium lama seperti tembang, wejangan, kiasan, dongeng dan sebagainya. Itu tidak salah. Tapi ketika hal itu diaplikasikan pada generasi digital saat ini, jelas teramat sulit untuk bisa nyambung.
            Ikatlah ilmu dengan menulisnya, kata orang bijak. Dan ajaran kebatinan pada umumnya memang menjadi ajaran lisan. Dan  budaya lisan itu memang rapuh, gampang bias, kabur dan hilang. Budaya tulis jelas lebih kuat bertahan dan bisa diakses oleh siapapun lebih akurat, lengkap dan utuh.
            Orang sering katakan, bahwa ajaran kebatinan itu sudah kuno dan ketinggalan zaman. Bagi saya tidak! Yang ketinggalan zaman itu budayanya yang pernah menyertai, yaitu budaya feodal dan paternalistic. Jadi jika kita berani ganti gaya/ganti budaya yang lebih demokratis, dialogis, kritis dan egaliter, maka kita akan tetap bisa melihat ruh/inti ajaran kebatinan yang sebenarnya universal dan lintas zaman.
             Dalam ajaran ilmu Kejawen, ada istilah ilmu kanoman (muda) dan ilmu kasepuhan (Tua). Yang masuk ilmu kanoman itu sebangsa ilmu kanuragan-jaya kawijayan, seperti kebal bacok, bisa meramal, bisa mengobati, bisa melihat mahkluk-mahkluk ghoib dan sebagainya. Sementara yang masuk ilmu kasepuhan itu yang berhungan dengan masalah ketuhanan, moralitas, kesucian jiwa, kebijaksanaan, pencarian haqiqat kesejatian diri dan sebagainya.       
            Jadi memang tidak sepenuhnya salah, opini yang terbentuk selama ini yang mengatakan ajaran kejawen itu tidak lebih daripada ilmu kanuragan dan keparanormalan belaka. Karena memang ada sejarahnya. Dan celakanya, sel;ama ini yang banyak diekspos memang hal-hal yang bersifat ilmu kanoman yang aneh-aneh seperti itu. Sementara ilmu kasepuhannya yang mendidik manusia menjadi insan yang berbudi pekerti luhur, hampir seperti terlupakan. Padahal dalam ilmu kasepuhan itu haqiqat dan martabat hidup manusia sesungguhnya terkandung. Banyak nilai luhur budaya bangsa yang terlahir dari ilmu kasepuhan. Banyak karya satra yang indah dan sangat dalam mengungkap haqiqat hidup dan kehidupan, karena didasari para penulisnya yang mendalami ilmu kasepuhan.
             Celakanya, para pelaku ilmu kasepuhan itu pada umumnya orang-orang yang tidak suka banyak omong. Diam itu emas?. Sementara di zaman ini yang saya saksikan, ketika kebenaran telah digantikan diam, kejujuranpun akan semakin kabur dan sulit untuk bisa kita temui. Karena itu saya pilih bicara dan menulis. Manusia harus pakai akalnya dan tidak hanya menghujamkan segalanya pada Tuhan jika menemui masalah social di dunia. Jadi bagaimana membuat iman kita pada Tuhan itu berariti dan apa relevansi iman itu bagi masalah yang sedang kita hadapi.
            Kecerdasan adalah karunia Tuhan. Jadi tidak ada salahnya kita pergunakan karunia itu untuk mengatasi permasalahan yang sedang kita hadapi. Selama kita tidak mengagung-agungkan/menuhankan intelektual/rasionalitas. Di zamannya, lewat ilmu kanoman/kanuragan para spiritualis menarik umat untuk mau mendalami ilmu kasepuhan. Dan di zaman ini, lewat ilmu kanoman baru/intelektual, kita bisa memperkenalkan ilmu kasepuhan. Sekaligus mengupas permaslahannya, kenapa ajaran spiritual nusantara ini kini bisa seperti orang asing di negerinya sendiri.
            Dan lewat refleksi dan pengetahuan itu, saya bisa melihat lemahnya budaya paternalistic-feodalisme. Ketika hadir tokoh yang cerdas, berani dan berwibawa, ajaran kebatinanpun dengan cepatnnya banyak pemeluknya. Tapi begitu sang tokoh figu panutan wafat, habis juga itu para pemeluknya. Tidak ada regenerasi.
             Dalam budaya feodal-paternalistik, yang ada adalah monolog, komunikasi satu arah atau semacam kotbah. Dan generasi zaman ini, sudah muak dan bosan dengar kotbah iman dan kepercayaan yang berbusa-busa, namun dalam penghayatan dan realita kongkretnya menandai dunia yang makin materialistic.
             “Perbuatan lahir yang disertai dengan senantiasa mendengarkan suara batin, dalam tindakannya tentu serba jujur dan suci. Penuh dengan perikemanusiaan dan lepas dari kepentingan bagi diri sendiri. Bila kebatinan tidak disertai dengan tindakan kelahiran, akan menelesipkan arti kebatinan itu sendiri. Dan bila demikian, patutlah kita ini hanya mendapat sebutan tukang suwuk, tukang dzikir dan tukang duduk ongkang-ongkang”. (wejangan bapak Sukeno dari Madiun).
             Jadi ilmu kebatinan, pada ujungnya harus ada pengaruhnya dalam masyarakat. Kalau zaman dulu, orang mempelajari ilmu kebatinan dengan memutus hubungan dengan masyarakat banyak dengan jalan bertapa di gua, gunung atau tepi pantai. Zaman sekarang sebaliknya, orang bisa dan harus mendalami ilmu kebatinan dengan bertapa di hiruk-pikuk keramaian masyarakat. Jika bertapa di tempat-tempat keramat/sepi, paling yang ganggu Cuma mahkluk-mahkluk halus, kalau bertapa di di keramaian kehidupan masyarakat, pengganggunya lebih riil dan komplek, bisa tidak kita tidak korupsi, selingkuh, mencuri, menyakiti sesama, pemarahan, dan sebagainya. Disitulah kematangan spiritual kita diuji.
             Ilmu kebatinan itu seperti air yang mengalir, tidak bisa dihentikan dalam bentuk dogma. Tidak bisa pula di formal-organisir. Tapi dalam hubungan  manusia dengan manusianya, suka atau tidak suka, organisasi sangat diperlukan oleh para pelaku ilmu kebatinan.
            Ada kisah nyata, seorang pelaku ilmu kebatinan yang wafat. Karena tidak jelas apa agama orang ini, jasad orang inipun jadi terkantung-katung tidak tahu harus dimakamkan dengan prosesi pemakaman seperti apa. Suasana duka itupun berubah menjadi acara perguncingan berkepanjangan yang mempermalukan keluarga yang ditinggalkan. JIka ada organisasi yang menaunginya, tentu hal seperti itu tak perlu harus terjadi. Akhirnya orang-orang kampung itupun tidak ada lagi yang berani mengaku dirinya sebagai orang kebatinan. Untuk menjaga kelangsungan hidupnya, mereka gunakan caranya sendiri. Beradaptasi tanpa kehilangan jati-dirinya. Secara formalitas mereka mengaku sebagai orang beragama, tapi dalam harian hidupnya tidak menjalankan syari’at agama. Dalam praktek hidupnya justru lebih mendekati laku hidup seorang kebatinan. Orang-orang yang dalam rumusan Clifford Geertz, kemudian digolongkan dalam istilahnyasebagai kaum abangan.
             Etika marginal kaum abangan itu juga memiliki keindahanya sendiri dan keabsahan yang tidak dapat ditolak oleh siappun, kecuali agamawan berpandangan sempit yang tidak bisa menerima selain kebenaran muntlak dari agama yang dipeluknya. Bagi kaum abangan, agama hanyalah salah satu alat untuk menuju Tuhan, bukan jadi tujuan hidup. Pencarian dan pengenalan akan kesejatian Tuhanlah yang terpenting bagi orang beriman. Bukan penguasaan atau penganutan agama secara sempurna. Jadi beragama dengan sekenanya atau sebisanya juga tidak apa-apa. Itu sama sekali tidak mengurangi sedikitpun keabsahan spiritual mereka. Dari dahulu juga sudah ada elite dan orang awam dalam segala bidang, termasuk dalam kehidupan beragama.
             Dan bagi para spiritualis, yang terrpenting bukan jadi elite atau orang awam. Yang terpenting adalah bagaimana kelakuan kita sehari-hari itu.  Buat apa menjadi orang elite yang yang jago kotbah dan hapal isi kitab suci agama, kalau dibalik jubah kesuciannya itu menyembunyikan jiwa  penjahat-bengis yang yang tega memperkosa hak-hak orang lain, yang tidk malu menjarah-rayah uang rakyat, yang suka menganggap diri dan golongannya lah yang paling benar, suci dan sempurna sendiri. Padahal sebagai orang yang beriman, mestinya sadar, bahwa hanya Tuhanlah yang maha segala-galanya itu.
             Melihat gejala zaman ini, saya rasa saat ini sudah banyak orang yang mati rasa batinnya, sudah beku-keras membatu jiwanya. Rasa kemanusiaanya telah tumpul, dan menurut saya, itu justru menjadi moment bangkitnya spiritual nusantara yang sudah sekian lama terpendam/terlupakan.
            Bersatulah maka kita akan kuat. Buat oragnisasi yang jadi tempat berkumpul/koalisi yang besar dan bersih sebagai tempat untuk saling asah, asih dan asuh. Tempat untuk sama-sama menghadapi tantangan zaman yang kini sedemikian kompleknya. Sekaligus jadi rumah  tempat berlindung bagi sipapun yang membutuhkannya. 
            Saya tahu, banyak paguyuban/perkumpulan kebatinan di Indonesia. Sayangnya kebanyakan dari mereka juga sudah terjangkiti penyakit yang biasa menghinggapi orang beragama, yaitu fanatik, tertutup dan suka merasa benar-sempurna sendiri. Dan itu penyakit yang bikin ajaran kebatinan tidak bisa besar dan bersatu.
                 Jika kita ingin besar, kita harus lebih dulu punya kebesaran jiwa yang sanggup mendengar argumen lain yang tak sejalan dengan kita.Jika kita ingin hadir dalam tataran wawasan Nusantara, kita juga harus lebih dulu bisa bebas dari ikatan primordial. Nonsektarian. Kita harus bisa menanggalkan egoisme bendera golongan/kelompok. Jadi aspirasinya universalisme bukan partikularisme. Komitmen kita pada nilai, bukan pada golongan. Komitmen kita pada isi, bukan pada kotak luarnya {agama, etnis, golongan, partai politik dan sebagainya}. Karena pengabdian kita bukan pada raga, tapi pada roh/batin. Karena itu disebut kebatinan. Kebatinan yang berwawasan global. Kebatinan/spiritual yang membebaskan!.

1 komentar:

  1. Wawasan yg cerdas sekaligus pengamatan yg cermat,,,, rahayu.

    BalasHapus