Para nabi, orang suci atau
spiritualis sejati, tidak pernah berhasrat untuk meletakkan pandangannya yang
bijaksana pada diri-pribadinya sendiri; Jangan percaya padaku, tapi percayalah
pada Tuhan. Jangan jadi pengikutku, tapi jadilah pengikut Tuhan, Jangan jadi
sepertiku, tapi jadilah dirimu sendiri.
Itulah ajaran para spiritualis
sejati. Tapi orang-orang pintar teori, yang sok suci, sok merasa benar dan
sempurna sendiri telah memanipulasinya.
“Manusia menciptakan Tuhannya dengan daya khayalnya sendiri” {Feurbach}.
Dan entah sadar atau tidak, saat ini kebanyakan orang tidak mencari dan
menyintai sejatinya Tuhan. Tapi justru memuja tuhan ciptaan daya khayalnya yang
bernama agama!. Saat ini banyak orang menuhankan/memberhalakan agama. Dan
itulah yang membuat masyarakat kita egosentris dan mengira dengan beragama
berarti sudah menjadi orang tuhan/beriman. Ego yang terus-menerus di pompa oleh
para ahli agama. Kita terus dijejali propaganda kelebihan dan kehebatannya
agama. Tanpa kita sadari itu semua sesungguhnya hanya untuk melanggengkan
kekuasaan mereka saja Kepala kita terus dijejali iklan utopia agama, hingga
kita tidak bisa lagi melihat jiwa kita yang sesungguhnya
tertindas/terjajah.
Karena terlalu lamanya jiwa bangsa
ini ditindas, penindasan itu justru seolah-olah menjadi keniscayaan, bahkan
kebutuhan bagi si tertindas?. Orang sudah tidak bisa lagi melihat jati-dirinya
sendiri lagi. Orang sudah tidak bisa lagi melihat bedanya antara agama dan
budaya. Saat ini banyak orang yang merasa belum afdol Islamnya jika belum bisa
meng-Arabkan diri. Spitual itu membebaskan., sementara agama mengurung. Seperti
seekor burung, karena terlalu lamanya jiwa bangsa ini terkurung di sangkar
emas, seringkali membuat kita abai dengan realita diluar sangkar yang terlalu
banyak di warnai ambiguitas dan paradok dalam beragama. Kicoan agama tentang perdamaian
dan menghargai sesama dalam kenyataannya sering kebalikannya. Orang biasa teriak “tuhan maha pengasih!”
sambil berkelakuan bengis. Nilai kemanusiaan yang luhur seakan tidak ada
maknanya lagi, yang terjadi justru semakin mengerasnya identitas agama yang
melekat dan kecenderungan penunggalan atas kebenaran agama. Ajaran agama memang
mulia, tapi sejarah ternyata tak banyak mencatat adanya penguasa yang mulia.
Konflik antar suku, pemusnahan etnis, pengusiran sebuah bangsa, merupakan
sejumplah masalah zaman ini yang sering di balut oleh keyakinan sempit
beragama.
Saya tidak anti agama. Saya banyak
belajar tentang kebajikan hidup dari agama. Kalau toh ada yang saya tentang
atau kritisi, itu hanya sebatas institusinya, budayanya dan sistemnya yang
seringkali bersifat totaliter. Kehidupan beragama yang hanya digerakkan oleh
semangat pakaian seragam yang mengagung-agungkan kekuatan massa, militansi dan
kesatuan. Gerombolan orang-orang sok suci yang suka merasa paling benar dan
sempurna sendiri, yang suka mengklaim bahwa Allah, kebenaran dan surga hanya milik mereka saja. Orang-orang macam
itu sesungguhnya adalah para pemuja berhala yang bernama agama.
Orang munafik-sombong macam itu
yang harus dengan berani kita hadapi dan tentang, karena orang-orang itu
sesungguhnya para penunjang system yang telah membodohi dan mengajarkan
kebodohan pada jiwa bangsa kita, hingga kita jadi bangsa setengah gila. Kita
jadi bangsa yang mudah marah oleh hal-hal yang sepele, gampang ngamuk tanpa
pikir panjang, kita jadi bangsa gumunan dan kagetan seperti bangsa tak
berpengetahuan apa-apa, bahkan kita jadi tegaan membunuh sesama anak bangsa
persis orang yang tak berbudaya saja.
Tak ada nabi yang menciptakan agama!
Agama dicipta-susun oleh orang-orang setelah nabi wafaat, karena mereka ingin
mempertahankan kekuasaannya. Para nabi intinya hanya mengajarkan kita, untuk bisa
mencintai Tuhan dengan sepenuh jwa-raga dan mencintai sesamanya seperti
bagaimana kita mencintai diri kita sendiri. Hanya itu. Jika kita bisa melakukan
itu, berarti kita sudah menjadi seorang spiritualis sejati, Soal baju atau
kotaknya mau dikasih label Hindu, Budha,
Kristiani, Islam, konghucu, atau tanpa label sekalipun itu bukan maslah!.
Jadi tak perlu minder jika anda jadi seorang spiritualis
tanpa label/kotak agama apapun. Spiritual itu membebaskan/memerdekakan, sedang
agama menjajah jiwa. Jadi tak ada alasan sebagai orang merdeka harus minder
dihadapan orang yang terjajah. Manusia terjajah adalah manusia, yang jika tidak
dijajah ya nafsunya mau menjajah. Arogan dan merasa superior ketika jaya dan
kaya, tapi minder, inferior dan suka mengemis ketika miskin dan tak punya
kuasa. Sementara spiritualis yang telah merdeka jiwanya, tidak akan inferior
sekaligus juga tidak merasa superior atas sesamanya.
Jika anda ingin jadi orang
beragama, belajarlah kitab. Tapi jika anda ingin orang tuhan/beriman,
belajarlah untuk mencari dan mendekati sejatinya Allah. ”Orang tuhan tidak
diajar kitab/orang tuhan di luar kafir dan agama” {Jalalludin Rumi}. Jadi
seharusnya kita bangga, sebagai bangsa yang tidak pernah melahirkan agama
formal-terorganisir. Karena sejatinya spiritual itu memang tidak bisa di
formal-organisir dan seragamkan dalam satu dogma. Spiritual itu seperti air
yang mengalir. Spiritual itu bersifat mempribadi,khas dan unik Tiap insan bisa
menyerap cahaya kasihNya sesuai kapasitas masing-maing. Jadi tak ada tempat
sesungguhnya untuk iri, serakah, apalagi
berjumawa dalam spiritual itu. Karena kita ada memang tidak untuk kasih
unjuk apapun, selain hanya untuk mendekatkan diri pada yang maha Esa. Spiritual
bukan untuk dipamerkan apalagi diperdagangkan, spiritual adalah bagian dari
keseharian hidup kita.
Tuhan juga tidak menilai hambanya
dari apa agamanya. Tapi bisa tidak kita mengimplementasikan kebajikan ajaran
itu dalam kehidupan sehari-hari, disitulah nilai kita. Dalam spiritual yang
terpenting juga bukan soal sempurna atau tidak sempurnanya pengetahuan agama,
tapi bisa tidak kita untuk lebih bisa mengenal diri pirbadinya sendiri dan
Tuhannya. Itu yang terpenting!.
Jelas bangsa ini telah terbutakan
oleh silau cahaya kerangkeng emas agama, hingga kita tak bisa lagi melihat dan
menghargai jati dirinya sendiri lagi. Agama telah membuat kita jadi bangsa yang
lupa wajah diri. Agama telah mendoktrin kita jadi bangsa robot, penciplpak dan
memuja hal-hal yang bersifat gebyar lahiriah belaka. Agama telah membuat kita
bangsa minder yang tak punya rasa percaya diri dan selalu membungkuk dihadapan
bangsa asing. Seolah hanya mereka bangsa terpilih yang tahu dan dekat
Tuhan. Kita telah jadi bangsa bodoh, terjajah dan tidak punya otonomi diri.
Kita telah jadi bangsa minder dan untuk menutupi keminderannya, orang memang
sering jadi berlebihan berlagak. Bergaya bak orang suci, kemana-mana berbaju
gamis. Dan kita orang awam hanya bisa tertawa, masak orang suci kerjaannya
kerjaannya Cuma teriak-teriak memuja kebesaran Allah, sambil bawa pentungan
memaki-maki dan menakut-nakuti orang yang dianggap tidak sepaham?. Masak dalam
spiritual kita hanya akan berhenti pada kebanggaan jadi preman berbaju gamis?.
Pengetahuan agama memang bisa
ditransfer, komunikasikan dan ajarkan. Tapi kebijaksanaan spiritual tidak. Kita
dapat menemukan, hidup dengannya,, diperkuat olehnya, menciptakan keajaiban
melaluinya, tapi kita tidak dapat mengajarkan, mengkomunisikan atau
mentransferkan kepada orang lain. Seperti rasa garam, seorang ahli kimia bisa
jelaskan detail zat-zat apa saja yang ada dalam garam. Tapi jika anda ingin
tahu rasanya, anda harus mau langsung praktek mengecapnya. Begitu juga halnya
jika anda ingin lebih kenal sejatinya Allah. Tidak cukup hanya dengan berguru
atau menghapal kitab. Tapi anda harus berani terjun langsung praktek dalam
pendekatan diri padaNya.
Dan persentuhan dengan apa yang dalam literature sufi
jawa disebut “kasunyatan” atau sejatinya realita Tuhan, itu jauh lebih indah,
menggetarkan, menyentuh dan membekas di jiwa dibandingkan jika anda Cuma dengar
kotbah yang menukil-nukil dari kitab suci. Dalam cahaya kasihNya, kita juga akan bisa
melihat dengan lebih jernih, mana kemajuan-mana kemunduran, mana kejujuran-mana
kemunafikan, mana lebih kekal tubuh atau nyawa, dan tak ada kata minder untuk
seorang spiritualis sejati. Berulangkali Tuhan sepertinya ingin menohok
kesombongan umat manusia, dengan memberi petunjukNya lewat mereka-mereka yang
tidak masuk hitungan. Seperti Musa yang Cuma anak buangan/pungut, Yesus yang Cuma
anak tukang kayu, Muhamad yang gembala buta huruf dan sebagainya.
Jadi tak perlu minder kalau spiritual bangsa kita saat
ini dipandang sebelah mata. Dekatkan pada Tuhan pasti kita akan jadi penuh
percaya diri, carilah sejatinya Allah, pasti kita akan menemukan dan bangga jadi
diri kita sendiri. Hanya Allah yang bisa menuntun dan memberi arah menuju
kebajikan sejati. Hanya sejatinya Allah yang bisa menyatukan umat manusia,
bukan agama. Agama justru membuat umat manusia terkotak-kotak.
Banyak
orang mengatakan, saat ini tengah terjadi krisis spiritual, hingga kitab
sucipun tak takut lagi dikorupsi, kesewenang-wenangan bahkan pembantaian atas
nama keyakinan masih terjadi di negeri kita. Kita jadi bangsa yang tak punya
malu dan suka menutupi kenyataan yang kelam dengan idiom-idiom luhur. Seperti
sebutan “pahlawan devisa” misalnya, kenyataanya kita hanya mengeksport tenaga
tak terdidik untuk jadi babu dan tenaga kasar di negeri orang. Dan agama? Hanya
seperti kepala singa yang diawetkan di ruang tamu utama. Tidak memberi ilham
apapun.
Untuk membentuk mental dan karakter bangsa ini yang lebih
baik. Bagi saya, tidak ada jalan lain selain berpaling dari idiologi asing dan
menoleh kedalam, kembali ke tradisi spiritual bansa sendiri. Spiritual yang membebaskan dari intimidasi aneka dogma, spiritual yang terbuka atas kebajikan/kebenaran yang datang dari manapun. Spiritual yang toleran, menghargai kejujuran dan proses individu-individu yang ingin menemukan dan jadi jati dirinya sendir-sendiri.
Yang dibutuhkan saat ini, bukanlah agama atau nabi baru. Karena jika itu terjadi, sama saja hanya pengulangan sejarah, menggantikan dominasi lama dengan dominasi baru. Yang diperlukan saat ini adalah sebuah revolusi spiritual, revolusi kesadaran, revolusi yang mencerdasakan, revolusi tanpa darah. Dimana disana bergabung hasrat perubahan spiritual yang akan berdampak terjadinya perubahan social secara radikal, dengan keyakinan perlunya dimensi moral agar tidak terjatuh dalam totaliarnisme.
Yang dibutuhkan saat ini, bukanlah agama atau nabi baru. Karena jika itu terjadi, sama saja hanya pengulangan sejarah, menggantikan dominasi lama dengan dominasi baru. Yang diperlukan saat ini adalah sebuah revolusi spiritual, revolusi kesadaran, revolusi yang mencerdasakan, revolusi tanpa darah. Dimana disana bergabung hasrat perubahan spiritual yang akan berdampak terjadinya perubahan social secara radikal, dengan keyakinan perlunya dimensi moral agar tidak terjatuh dalam totaliarnisme.
Bahwasanya ada orang yang merespon secara negative atau
menyangkal akan keberadaan Tuhan. Bagi saya itu juga urusan pribadi
masing-masing. Saya tetap hormati mereka yang pilih jalan atheis, karena Tuhan
memang tidak sekedar yang tertulis di kitab suci. Tuhan adalah suatu realita
yang tak terjangkau oleh nalar (tidak ketemu nyari Tuhan pakai otak), suatu
relasi misteri yang tak egoistic, memaksakan kehendak, harus dibela atau hanya
milik satu golongan saja.
Tuhan tidak hanya nongkrong diam di jazirah Arab sana.
Tuhan juga ada di negeri kita ini, jadi ngapain harus minder dihadapan bangsa
asing!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar