Alkisah. Ada seorang
pelacur yang bersimpangan jalan dengan seorang biarawati. Dan sang nabipun
diminta pendapatnya tentang dua perempuan itu. Maka sang nabipun (Khalil
Gibran) berfatwa; Seseungguhnya kedua
perempuan itu sama-sama sedang berjalan menuju rumah Allah. Hanya bedanya, yang
satu berjalan dengan do”a. Sementara yang satunya lagi berjalan dengan
air-mata.
Spiritual itu
tidak hitam-putih, tapi penuh warna, dinamis dan mesti bisa menyelam hingga di
kedalaman jiwa. Tapi sayang, kebanyakan orang saat ini lebih suka berpandangan
hitam-putih. Contoh, ketika terjadi konflik Syi’ah di Sampang Madura. Ada seorang
tokoh masyarakat yang memberi advis begini; Jalan terbaiknya ialah bagi para
penganut Syi’ah (yang dianggap sesat) itu beralih menjadi orang Suni.
Penyelesaian secara
dangkal tanpa melihat-menghargai sejarah panjang orang tersebut hingga menjadi
penganut Syi’ah. Dan penyelesaian secara instan seperti itu memang punya
sejarah yang panjang. Beribu tahun yang lalu, para paus dan ulama juga suka
mengajarkan dan melakukan hal seperti itu; Pindah agama, tinggalkan ajaran
sesat dan bagi kau terbukalah pintu Surga?.
Ketika agama hanya berhenti pada hukum dan tingkah-laku
(fiqih dan syari’at), dan melupakan compassion dan tumpul rasa terhadap
sekitar. Saat itu sebenarnya telah
terjadi penyempitan dalam bergagama. Karena kesempitan pandangannya itu, orang
tidak jadi rendah hati (pintar secara spiritual) tapi justru jadi rendah diri.
Dan untuk menutupi akan kerendahan dirinya itu, orang memang jadi suka
berlebihan lagak, sombong, sok suci, sewenang-wenang dan suka memuja hal-hal
yang bersifat gebyar lahiriah belaka.
Contoh, masjid sultan Hasan di
Kairo yang sering disebut sebagai teladan arsitektur Islam yang monumental.
Tahukah anda, jika masjid itu didirikan justru ketika pemikiran dan peradapan
Islam di titik terendah dan statis. Dengan kata lain, masjid itu didirikan
hanya untuk lambang kekuasaan dan kewibawan sultan dan pemerintahannya saja.
Masjid yang menghimpun banyak dana, yang memungkinkan terjadinya skandal
korupsi. Masjid tempat bertemunya para pemebesar agama dan pembesar negeri,
pertemuan yang bisa mulia-bisa tidak. Sementara diluar mesjid berjubel orang
hidup miskin dan papa.
Contoh lain, jika anda mengikuti prosesi perjamuan kudus di gereja-gereja
besar. Disitu anda akan bisa melihat piala-piala besar berukir terbuat dari
emas. Benarkah menurut anda para elite agama itu dalam menduplikat piala/gelas
Yesus?. Saya rasa seratus prosen salah!. Meskipun nabi, Yesus itu hanya anak
tukang kayu, jadi adalah suatu hal yang tak masuk akal jika beliau ini minum
dari gelas yang terbuat dari emas!.
Nah, jika para elite agama saja ternyata juga bisa berlaku salah dan
bodoh, jadi hak apa mereka mengambil alih posisi Tuhan dengan menghakimi orang
lain itu sebagai penganut ajaran sesat, bid’ah, kafir, mussyrik, pendosa dan sebagainya. Pernah,
bisa dan beranikah mereka menghakimi dirinya sendiri (intropeksi) yang sering
meras unggul tanpa dasar, yang suka membuat kekacoan dimana-mana, suka jumawa
meremehkan orang lain yang tidak sepaham-segolongan?.
Terlalu banyak tipu-daya dalam
penampilan gebyar lahiriah itu. Saya jadi kwatir, jika nanti ada orang
iseng-iseng ngasih jubah dan kopiah pada seekor anjing, orang banyapun akan
lantas berebutan menyalami dan menciumi itu kaki anjing. Moga saja tidak ada
orang yang iseng seperti itu. Tapi bahwasannya gejala seperti itu sudah ada,
itu jelas tidak bisa kita nafikan. Saat ini banyak orang berjubah-kopiah yang
gualaknya bahkan melebihi anjing. Sukanya teriak-menyalak kesetanan, dengan
pentungan di tangan mengamuk dan menghajar siapapun yang dianggap tidak
sejalan-sebangsa dengan dirinya. Manusia macam itu khan tidak ada bedanya
dengan anjing yang berkopiah dan berjubah? Pakainnnya tidak mencerminkan
kepribadiannya!.
Spiritual adalah bagian intergal dari laku hidup keseharian kita. Nukan
untuk pameran, gagah-gagaha, nyari pengakuan, apalagi untuk menakuti-mengancam
orang lain. Spiritual itu mendidik orang untuk berani dan bisa berlaku jujur.
Jujur, kalau memang belum kenal sejatinya Allah dan belum juga jadi orang
suci, ya tak perlu berlagak lagu sok
suci. Kalau anda memang sukanya pakai blue jeans dan T-shirt, ya pakai saja
blue jeans dan T-shirt. Itu sedikitpun tidak akan mengurangi nilai spiritual
anda!.
Spiritual itu proses pertemuan
(sering pahit-dan pedih) dengan diri sendiri. Ketika kita kehilangan orang yang
kita sayangi, ketika kita merasa kehilangan harapan, ketika kesunyian dan
kesendirian terasa menyayat hati, ketika kita bertanya kesejatian diri,
asal-muasal kita dan sebagainya. Semua itu adalah proses yang semua insan pasti
akan mengalaminya, termasuk mereka yang mengaku sebagai orang atheis sekalipun.
Jadi betapa sombong dan butanya mata hati kita, jika menunjuk dengan nada
menghina dan menghakimi seorang pelacur sekalipun sebagai seorang pendosa yang
sesat jalan. Sementara kita tidak tahu sejarah panjang orang itu hingga menjadi
pelacur, sementara kita tidak tahu japa suara jerit batinnya yang terdalam
ketika melacur. Jadi hak apa kita menghakimi orang lain itu jahat, sementara
kita tidak bisa berlaku adil, selain bisa elihat sisi buruknya, kita juga harus
bisa melihat sisi baiknya.
Semua orang punya sisi baik dan sisi buruk. Bukankah ada beberapa orang
ustad yang dipenjara gara-gara menghimpun dana umat dalam bentuk investasi
bodong?. Bukankah pernah ada anggota dewan yang katanya terhormat, ketika sidang (dibiyayai uang rakyat)
bukannya mikiran rakyat malah asik buka situs bokep? Lihatlah para koruptor
itu, tidakkah mereka itu orang-orang cerdas berpendidikan tinggi yang mestinya
tahu mana yang benar dan salah?. Lihatlah para pembantai sesama manusia,
tidakkah banyak diantara mereka mengaku sebagai orang-orang suci pengikut jalan
Allah?.
U
setuju! mental itu pun terjadi pada yg mengaku dari partai yg paling agama, heheee lucu emank?! mulut ma kentutnx nga ada bdanx.
BalasHapus