Senin, 02 Desember 2013

JALAN KEDAMAIAN



Kau hendak mengenal Allah? Maka janganlah kau jadi pemecah persoalan. Seyogyanya kau pandangi dahulu sekelilingmu, disitu kau khan lihat Tuhan yang tengah bermain dengan anak-anakmu (Khalil Gibran).
Kesukaan saya mengeelandang, membuat beberapa orang suka mengatai saya sebagai orang agak sinting. dan saya hanya tertawa. Saya selalu tanggapi dengan enteng-enteng saja, ketika ada yang mengatai saya gila, kafir, bid’ah, musryik, abangan, penganut ini-itu dan sebagainya. Saat ini banyak orang menilai sebuah identitas terlalu tinggi dan cenderung berlebihan. Dan hal itulah yang sering jadi akar kesalah-pahaman, perselisihan, permusuhan, pertengkaran bahkan bunuh-bunuhan.
Ketika menggelandang itu saya tanggalkan semua identitas dan belajar bisa melihat jauh melampoi identitas., Yakni kesamaan yang kita miliki dalam hidup. Jadi niat saya menggelandang itu sebenarnya sederhana saja; Hanya ingin belajar jadi manusia biasa!. Belajar jujur, belajar membuang topeng kepalsuan diri, belajar meluluhkan kebencian, keserakahan dan hasrat benar  sendiri. Saya buang jauh-jauh segala  ajaran isi kitab suci dan filsafat yang tinggi-tinggi. Tak ada jargon apalagi teriakkan tentang spiritual. Tak ada negoisasi, basa-basi, bahkan juga konsep tentang Tuhan.
Saya menggelandang seperti kertas kosong dan itu rasanya seperti meletakkan segala beban. Sangat nyaman. Itulah yang membuat saya selalu suka mengulang untuk menggelandang, yang awal dan akhirnya selalu terserah pada suara hati.
 Sesederhana apapun, persentuhan langsung dengan kenyataan hidup itu jauh lebih menyentuh, menggetarkan dan membekas di jiwa, daripada cuma  dapat pengalaman dari nonton, dengar atau baca cerita se fantastic film Narnia sekalipun.
Seperti ketika saya menggelandang di daerah pantura, saya pernah dibeliin kopi manis oleh seorang PSK. Dan tahukah anda, siapa yang mengantar perempuan itu ke pangkalan/warung remang-remang?. Suaminya sendiri!. Dan saya lihat, suaminya itu yang masih sempat sholat subuh di surau kecil disekitar situ, sebelum akhirnya membawa pulang istrinya..
 Sungguh menakjubkan. Dalam kemuraman dan himpitan hidup yang mencekik, mereka tetap ingin berbuat baik. Tetap beriman. Dan pada saat yang sama mungkin juga bertanya. Sebuah alegori tentang nasib nestapa sekaligus kedahsyatan manusia yang tak putus-putusnya percaya dan tak henti-hentinya di rundung bimbang. Bukankah semua orang pernah mengalami hal seperti itu?. Bahkan nabipun bukankah juga mengalami proses yang seperti itu?.
Disini saya tidak ingin menghakimi, apalagi kotbah soal agama dan moralitas. Dari orang-orang sederhana itu justru saya belajar untuk bisa menerima dan mema’afkan kenyataan pahit, pedih yang sangat mengiris perasaan itu. Menyaksikan penderitaan orang lain itu bisa mengasah kemanusiaan kita agar tidak suka untuk membuat menderita orang lain. Itulah bagian proses yang harus dilalui, agar bias memasuki jiwa yang lebih tenang untuk menjalani ziarah diri. Dan dalam hati yang jenjam damai dalam keheningan itu. Kita akan bisa melihat diri kita sendir lengkap.. Sampai disitu, pengalaman apapun (termauk yang negative/jelek-jelek} akan tetap berarti bagi kehidupan spiritual kita. Dalam bahasanya kaum sufi, kemanapun kau memandang yang kau lihat hanyalah perwujudtan dari Allah semata. Pada daun, pada ombak, pada embun, pada detak nadi ataupun pada anak-anak yang tengah bermain-main.
Dan saya dapati peljaran hidup itu bukan dari ahli kitab, tapi hanya dari seorang suku Bajo (suku laut) yang buta huruf tapi pintar membaca bintang-gemintang. Di negerri ini banyak pulau-pulau yang tidak berpenghuni. Tapi ada beberapa kelompok suku Bajo yang mengumpulkan karang untuk membuat pulau dan kemudian mendirikan tempat tinggal disitu. Gila ngak tuh?Tapi mereka lakukan itu dengan suka-rela, iklas dan merasa nyaman dengan jalan hidup seperti itu.
“Kenapa tidak tinggal didarat sekalian saja?” Tanya saya suatu kali yang langsung di jawab dengan Tanya, “Emang di darat ada ikan?”
Bagi suku Bajo, laut itu seperti kulkas raksasa. Dan dari suku Bajo itu , saya jadi punya jawaban ketika ada orang yang menanyai saya, “ Kenapa kamu tidak beragama?” jawab sayapun dalam Tanya, “Emang di agama ada Tuhan?”
Kitab suci dalam agama itu tempat kumpulannya friman-firman Tuhan. Jadi jelas itu bukan Tuhan. Firman Tuhan dalam kitab suci itu juga masih butuh interprestasi dan menjadi berarti karena di interprestasi. Jadi silahkah saja orang beragama percaya kitab suci itu bersifat muntlak, universal dan tidak terbatas. Cuma satu hal yang harus diingat, bahwa otak yang menginterpreatasi itu sifatnya terbatas!.
 Salah besar jika dikata firman Tuhan hanya ada di kitab suci. Sesungguhnya Allah itu menyapa kita tiap waktu tiap detik. Meskipun tidak kenal agama. Seorang suku Bajo teman saya itu, bagi saya bukti kongkret dari orang yang telah bisa menyaksikan ke mahakehadiran Tuhan dalam keseharian hidupnya. Manusia yang karena kerendahan dan ketulusan hatinya, akhirnya dikaruniai Tuhan kemampuan untuk menangkap cahaya welas asih dari kebaikan dan kebersahajaan alam, untuk kemudian dipancarkan lagi dalam keseharian hidupnya dengan penuh kesadaran tanpa banyak kata.
Hidupnya yang selaras mematuhi hukum semesta, membuatnya bisa menjalani hidup dengan penuh rasa syukur, terima-kasih dan penuh penghormatan dan cinta pada Alam. Meskipun tidak pernah diungkapkan dalam kata-kata, tapi sedikitpun saya tidak pernah meragukan, rasa cinta dan penghormatannya pada sesama manusia maupun pada sang maha penciptanya, sama besarnya dengan rasa cinta dan penghormatannya pada alam semesta. Bahkan gembel seperti saya yang tidak jelas asal-usul dan agamanya, yang datang ke tempatnyapun juga di terima dengan tangan-terbuka dan di kasih makan.
Tuhan samasekali tidak butuh puja-puji, Manusia yang butuh semua itu. Tuhan juga tidak butuh pengakuan, apalagi harus dibela segala. Jadi jika kita bias menghormati dan mencintai segala ciptaanNya, berarti kita juga sudah menghormati dan mencintai Dia yang menciptakan. Spiritual yang sangat sederhan sekaligus kongkrit.
Yang terjadi sekarng khan sebaliknya! Orang memuja Tuhan tapi tanpa penghormatan pada alam dan sesama. Orang berkonsep/teori tentang Tuhan yang seperti ini-itu, tapi kenal dan tahu Tuhan itu seperti apa dan alamatnya dimana saja tidak tahu. Orang pintar-pintaran jadi penghapal kitab suci, hingga lupa dan tak kenal dirinya sendiri lagi. Bahkan belajar jadi manusia tidak mau. Akhirnya ya hanya paradok dan kemunifikan adanya. Tak ada satunya antara yang di mulut dan perbuatannya. Mulutnmya teriak Tuhan maha pengasih dan penyayang, tapi kelakuaanya bengis dan kecam. Mulut berdoa percaya akan ke mahakuasaan tuhan,  tapi dalam prakteknya lebih percaya Uanglah yang maha kuasa. Dan kitab sucipun tak segan di korupsi, demi ritual pemujaan pada sang uang yang maha kuasa. Percaya Tuhan maha mendengar, kok ibadah saja masih harus teriak-teriak pakai pengeras suara?.
Beriman seperti itu, tidak ada bedanya dengan berguru pada mbah Google, tinggal klik segala tanyapun terjawab. Beriman seperti itu memang tidak menderita, tetapi betapa dangkalnya. Beriman seperti itu hanya akan membentuk manusia, seperti yang ditulis Mangkunegoro IV, dalam kiabnya Wedatama,: Pongahnya orang yang pintar berteori, tapi tidak paham, bahwa  NGELMU IKU KELAKONE KANTI LAKU!.
Siapa yang ingin mengenal yang Maha Esa, harus berani belajar bertualang sendirian menziarahin diri. Siapa yang tidak mencicipi tidak akan mengetahui. Banyak momen dalam hidup ini dimana kita akan langsung tahu, percaya dan mengerti. Beitupun penghayatan akan kemahadiran Tuhan, akan terasa lebih indah dan benarnya, jika kita mau terjun langsung dalam praktek (laku) pengenalan akan haqiqat kesejatian Tuhan. Dan persentuhan dengan apa yang dalam literature sufi Jawa di sebut KASUNYATAN (sejatinya realita/tuhan) memang sesuatu yang lebih menyentuh jiwa  daripada sekedar kehebatan menghapal ucapan para nabi. Penghayatan akan kemahadiran Tuhan, itu jauh lebih indah dan benarnya daripada meyakini konsep tentang Tuhan cuma dari hasil konklusi debat atau cuma dari baca kitab suci belaka.
Rahayu, rahayu, rahayu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar