Sabtu, 07 Desember 2013

PENGALAMAN MISTIS SEORANG ATHEIS


        “Beriman itu menderita.” Kata temanku setengah teller dengan selinting ganja menyala di jemari tangannya. “ Kita seperti mencintai seseorang yang berada antara ada dan tiada. Tapi padaku, dia lebih banyak diam dan tak pernah memberi jawab. Capek sudah aku berdo’a dan berharap padaNya. Dan ketika permintaan terkahirku tidak juga dikabulkanNya. Habis pula keyakinanku padaNya.”


            Inilah kisah keresahan teman saya  yang ingin mendapatkan kesimpulan terakhir, bahwa iman yang di tanggungnya selama ini bukanlah hanya sebuah keyakinan pada ruang kosong.

            Pernah dia terinspirasi oleh pemikiran Marxis dan Mao Zedong; Dari puing-puing peperangan akan terbangun masyarakat baru?. Tapi masyarakat baru yang dijanjikan komunisme ternyata terlalu keras dan penuh darah. Sementara diujungnya kita semua sudah tahu, komunisme sebagai idiologi sudah tidak laku!.
            Pernah juga dia belajar agama. Dan kesimpulan akhirnya; Agama hanyalah tahayul yang membodohi umat. Kitabnya saja ditulis secara liar oleh orang-orang yang tidak tahu dan toleran kepada kebenaran sejarah. Didalamnya campur-baur antara dongeng, data. Pewarisan nilai-nilai, halusinasi. Petuah, pelipur lara,  dan pembenaran kekuasaan.
            Teman saya itupun akhirnya menjadi seorang nihilis. Ia merasa tak ada yang bisa dinilai dari hidupnya. Tak ada yang bisa dikutuk atau dipuji dari perbuatannya, karena semua dasar untuk menilai itu tak diakui. Kekejaman boleh, toh kelak itu akan dilupakan?.
            “Apa bedanya meditasi dengan ngisap ganja?” saya yang suka meditasipun pernah dikuliahin. “Piyazi (abad 6 sm} pernah memotong-motong tubuh seorang pencuri sampai kebagian yang terkecil-kecil dan tidak menemukan dengan apa yang kau sebut dengan nyawa, roh atau jiwa itu. Demokritus yang hidup di abad yang sama dengan Aristoteles, dengan teorinya tentang  anima, entelechy dan morphe-nya, juga tidak bisa melihat apa-apa selain atom dan kekosongan.”
            Dan jawabku, “ Kamu mau berpandangan bahwa yang ada atau menjadi asas Cuma materi dan apa yang dinamakan roh, jiwa atau nyawa itu hanya tipuan angan-angan atau produk materi belaka. Atau kamu mau mempertahankan yang sebaliknya. Semua terserah kepada keberanian kepercayaan kita masing-masing. Disini kita hanya perlu jujur pada diri sendiri, sudahkah aku bahagia tentram-lahir batin  dengan jalan hidupku selama ini?.”
            Aku juga termasuk orang yang meragukan dogma tentang kebenaran yang muntlak (agama). Aku juga lihat banyak idiologi dan ajaran moral yang ternyata nisbi. Dan aku bersyukur. Ternyata pilihan hidup tidak hanya antara dogmatisme (kebekuan akidah) dan nihilisme (tiadanya nilai sama sekali) Diantara keduanya ada yang namanya spiritualitas yang seperti air mengalir.
            Kesadaran spiritual/kebenaran hidup itu tidak dapat dicapai dengan kekerasan dan paksaan. Melainkan dengan penyerahan utuh pribadi kita pada kemanusiaan dan kehidupan. Dan penyerahan itu bisa dilatih dalam bentuk meditasi. Dalam penyerahan/meditative itu  seringkali disitu akan kita temukan inti kebenaran yang akan memberi pengertian, makna dan tujuan pada kejadian kita. Kebenaran yang bisa jadi sama dengan yang pernah orang lain terima. Bisa juga semacam pendapat yang absurd, omong-kosong dan tak masuk akal. Tapi intinya, itulah jalan kebenaran/kesadaran yang kita yakini dan hayati dengan sepenuh jiwa. Bukannya cara berpikir yang kita anut dengan buta hanya karena terdorong oleh semangat berkelompok, berpakaian seragam atau kekecutan hati andai harus kehilangan arti.
              Disaat-saat meditative/kesadaran yang paling cerah, nyawa, roh atau sebut saja Tuhan itu berbayang pada diri kita. Dalam roh kita itu memancar roh yang sama nilai dan keramatnya dengan zat yang abadi dan muntlak. Dan siapa yang pernah mengalami keakrapan dengan roh (bawah sadar} dalam kesadaran yang paling cerah itu, kita hanya bisa berserah diri; Biarlah semua terjadi menurut kehendakNya, bukan menurut kehendakku!. Di saat itulah tumbuh pengakuan/kesadaran kita, memang hanya Dia yang sungguh maha segalanya.
            Disini jelas bedanya, antara ngisap ganja dan meditasi. Orang yang ngisap ganja itu tanda orang yang tidak sabaran. Ingin bisa menggapai mimpi indah secara instan, lalu diam. Sementara meditasi itu butuh kesabaran yang luar-biasa. Dan kesabaran kita itu terus diuji dalam kehidupan sehari-hari. Orang meditasi juga tak mikir tujuan atau hasil. Hasilnya seperti apa, terserah Tuhan. Dia paling tahu apa yang terbaik buat kita. Meditasi itu indah dan nyaman, dan cukup sudah itu untuk dinikmati. Hidup tidaklah sepenuhnya perhitungan untung-rugi. Meditasi/beribadah itu bukan pragmatisme, jadi tidak perlu mikir hasil atau untuk mencapai target tertentu. Dan disitulah justru keagungan ajarannya, terletak dalam ketiadaan nilai praktisnya. Dengan kata lain; KERAJAANKu BUKALAH DI DUNIA INI!. Mengisap ganja menuju ketidaksadaran dungu, sementara meditasi menuju kesadaran yang paling cerah/kesadaran Illahiah.
            Suatu hari, saya dan teman atheisku bermain bersama ke pantai selatan laut Jawa. Ketika Mathari senja mulai memerah, terdengar bersahut-sahutan ritual pemujaan kebesaran Tuhan dari pengeras suara masjid-masjid. Dan sayapun mencari teman atheisku, dan pujiTuhan, ternyata dia juga tengah beribadah di akunnya. Do’a yang ditulisnya terinspirasi (pengalaman mistis) dari melihat matahari senja. Do’a yang sederhana, jujur, tulus, aktuil dan serta-merta. Do’a yang pendek dan sederhana, tapi dalam: SENJA YANG INDAH…………………….
            Tuhan adalah sumber cahaya keindahan. Hidup dalam keindahan itu yang akan membuat kita bersyukur, merasa cukup tanpa harus menjadi serakah. Seperti untuk bisa menangkap keindahan Matahari, kita cukup dengan nongkrong di bibir pantai ditemani sebotol bir. Tidak perlu harus bisa menggenggam, memiliki sendiri apalagi harus menguasai Matahari. Terlalu kecil kita dihadapan Matahari. Begitupun halnya kita dihadapan Allah. Jadi belajarlah sadar diri.
            Pengalaman mistis itu sama dengan pengalaman estetika. Karena kedua-duanya menimbulkan perluasan pengalaman sehari-hari. (Colin Wilson, Introduktion to The New Existentialisme} Pengalaman mistis itu tidak identic dengan hal-hal aneh, tidak masuk akal atau selalu berhubungan dengan mahkluk-mahkluk ghaib. Pengalaman mistis itu ada dalam keseharian hidup kita. Misal, saat timbul empati kita saat melihat penderitaan sesama, saat timbul keberanian kita untuk melawan penindasan dan kesewenang-wenangan, saat hati kita bergetar melihat bunga yang bermekaran, saat merasakan ketentraman melihat kabut di pegunungan, saat meneteskan air-mata karena ditinggal orang yang di sayang, Saat kita bersyukur atas segarnya udara yang terus mengisi paru-paru kita, saat merasakan kedamain menyaksikan matahari senja dan sebagainya.
            Mereka yang tidak bisa melihat alamat-alamat kebenaran ditengah alam perlambang, adalah mereka yang tidak sanggup melihat dengan mata hatinya, tidak bisa membiarkan roh atau apa saja sebutannya, bawah sadar, intuisi, roso-nya (jawa) untuk bersuara. Jadi meskipun mengaku atheis, bagiku temanku itu tetaplah kuanggap sebagai seorang spiritualis. Karena nilai seorang spiritualis memang tidak terletak pada pengakuan, kulit luar atau kelompoknya. Selama orang itu masih mau terus berproses menuju kesempurnaan hidup, mau untuk terus mencari kesejatian diri. Orang itu berarti seorang spiritualis.
             Jadi tak masalah orang itu mau mengaku atheis, agamawan. Agnostic, abangan, kejawen, atau apa saja sebutannya, yang terpenting itu bagaimana sikap hidup dan perbuatan/kelakuan orang itu terhadap sesama manusia maupun dengan segala cipataanNya. Mereka yang menghormati dan mencinti segala ciptaanya, berarti juga telah menghormati dan mencintai Dia yang menciptakan. Soal orang itu ngaku atheis itu bukan masalah.  Tuhan juga tidak butuh pengakuan, seperti matahari mau dihujat atau di puja dia tetap menyinari semua dengan kasihnya
            Tuhan juga tidak akan mempermasalahkan, manusia mau memuja-sanjung atau menghujat-membencinya. Tidak ada bedanya. Mereka yang memuja-sanjung bisa jadi itu hanya bentuk penjilatan yang menyembunyikan pamrih keserakahan. Sementara mereka yang menghujat-membencinya, bisa jadi itu bentuk ekspresi kerinduannya yang tak tertahankan. Semua hanya Tuhan yang tahu.
Sementara yang aku tahu, teman atheisku itupun sebenarnya ingin bisa melihat/mengenal sejatinya Allah. Dan dia  berani berlaku jujur, karena merasa belum /tidak bisa melihat/mengenal sejatinya Allah, maka diapun mengaku sebagai seorang atheis. Lho, masak orang berlaku jujur disalahkan, orang berlaku jujur di kafirkan, disesatkan dan disuruh bertaubat.
Jadi sekarang silahkan anda pikir-pikir dan timbang-timbang sendiri, sebenarnya siapa disini yang lebih bermartabat/punya moralitas; Teman saya yang ngaku atheis tapi punya keberania bersikap dan berlaku jujur ataukah mereka yang merasa sudah kenal-dekat Allah, tapi suka memaksa dan mengancam orang lain agar suka berbohong!.
            Katanya percaya Tuhan itu maha mendengar, ngapain juga untuk memujaNya harus pula koar-koar pakai pengeras suara! Jadi secara pribadu, saya tak pernah peduli seseorang itu inputnya darimana, yang penting bagi saya adalah autputnya itu seperti apa!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar