Minggu, 11 November 2012

ANIMISME, KESEDERHANAAN YANG INDAH



                Spiritual yang baik itu tidak memberi petunjuk, perintah, apalagi mengancam dan menghakimi. Spiritual yang terbaik itu hanya akan menumbuhkan potensi yang baik dalam diri seseorang. Itulah salah satu kesimpulan yang aku dapat, setelah belajar meditasi pada seorang petani sederhana yang sangat inspiratif bagiku dan nyentrik menurut banyak orang.
            Kenyentrikan pertama, sebagai petani beliau menolak menggunakan traktor (symbol manusia modern?)  yang biasa di iklankan di televise bisa menambah produktivitas pertanian?. Selain mahal, traktor jika rusak berarti biyaya, karena harus masuk bengkel. Ceceran oli traktor juga merusak tanah. Maka pak tani inipun lebih suka tetap menggunakan ternak sapinya untuk mengolah tanahnya. Selain bisa beranak, kotoran sapi juga bias jadi pupuk.
             Pak tani ini sebenarnya hanya melakukan hal biasa yang sudah dilakukan turun-temurun. Tapi di zaman kapitalisme global ini, sepertinya memang ingin mendesakkan suatu pola umum, dimana semua orang harus mengikuti tren. Zamannya petani pakai traktor, semua petani juga harus pakai traktor?. Zamannya orang pakai bahan kimia, semua harus pakai bahan kimia?. Zamannya orang beragama, semua juga harus beragama pula?. Karena tidak ikut mainstream, apa yang sebenarnya hal biasa dilakukan pak tani itu, jadi seperti pengertian yang menggugat, penuh hipokrasi, membingungkan dan dipersoalkan.
            Yah, banyak orang mempersoalkan dan mengatakan pak tani ini penganut animisme yang sesat. Ketika hal itu aku tanyakan, beliau hanya tertawa dan ngomong, “Emangnya kenapa kalau penganut keyakinan animisme?. Bagiku, keyakinan itu tidak butuh cap, merk atau pengakuan orang lain.  Keyakinan itu ada disini (pak tani tunjuk hatinya),  kita hanya perlu jujur, uklas dn menjalani apa yang jadi kehendakNya. Selama keyakinan kita itu tidak mengganggu dan merugikan orang lain, jika kau memang merasa menemukan kebahagiaan karena menyembah batu. Ya, sembah saja batu itu. Tidak masalah buatku. Apa bedanya kita sembah Allah, dewa-dewa, kitab suci, orang suci, samudera, gunung dan sebagainya?. Tidak ada bedanya!
            Ekalaya berguru pada PATUNG pendeta Durna, ternyata bisa lebih mahir memanah daripada Arjuna yang LANGSUNG berguru pada pendeta Durna. Dan Kurawa yang juga berguru LANGSUNG pada pendeta  Durna, ternyata juga tidak jadi manusia luhur budi berjiwa kesatria seperti Arjuna. Coba renungkan, itu artinya apa?”
            Yah, saat ini memang kebanyakan orang sudah merasa bangga karena beragama. Mereka lupa, bahwa agama itu bukan realita. Agama itu utopia. Dan nilai seorang spiritualis bukanlah pada utopia, agamanya, nabinya, kitab sucinya, atau gurunya.  Tapi pada sikap hidup, tingkah-laku dan perbuatannya sehari-hari, nilai seorang spiritualis itu. Apa artinya suka terik-teriak mengagung-agungkan kebesaran nama llah dan mengaku penganut agama yang suci, kalau kelakuannya seperti Kurawa yang ekspansif, arogan, fanatic, licik, pemuja kekerasan dan suka menumpahkan darah sesama. Yah, memang masih baikkan jadi Ekalaya yang menyembah patung, tapi punya kerendahan hati dan sikap bermartabat. Selalu jujur, terbuka, toleran dan bisa merasakan kebahagiaan dengan hidupnya.
            Pak tani yang tidak mau pakai traktor dan hanya tertawa dicap sebagai penganut animism. Rasanya itu memang bukan sikap yang hampa, sebab jika ada yang dipilih disitu, maka itu adalah pilihan yang mendasar, yaitu; KEBERANIAN BERPIKIR BEBAS!.  Bukan sekedar berani menghadapi pikiran lawan yang dianggap bebal. Tapi berani pula menghadapi kesimpulan kawan sepaham dan diri kita sendiri yang sering-kali merasa paling pintar dan benar sendiri.
            Dan lewat meditasilah, pak tani ini belajar mawas-diri. Meditasi yang sederhana tapi dalam sekali, cara meditasi yang teramat mudah diucapkan tapi butuh kesabaran yang luar-biasa untuk bias menjalanninya. Meditasi yang hanya dengan berzdikir menyebut nama sang pencipta semesta, dalam kepasrahan yang totalitas pada segala kehendakNya. Persis yang diajarkan, Imanuel, “BIARLAH SEMUA TERJADI MENURUT KEHENDAKNYA, BUKAN MENURUT KEHENDAKKU”.
             Meditasi yang hanya berbekal ketulusan, kemurnian dan keiklasan jiwa. Tanpa rapalan doa dan pamrih macam-macam. Jadi tidak bermeditasi dengan pamrih, agar sakti, dapat wahyu, kejayaan, dapat membuka cakra, bias melihat alam ghoib dan sebagainya. Tidak! Tapi meditasi untuk mendekatkan diri pada Illahi dan lebih bias mengenal akan kesejatian dirinya.  Belajar berani dan bias melihat kenyataan diri yang memang tidak sempurna. Dan ketidak sempurnaan itu bukan jadi alas an untuk terus-menerus menghalalkan kerakusan dan keserakahan. Justru kesadaran akan ketidak sempurnaan diri itu yang jadi alas an kita untuk bersedia ditegur, mengerti rasa malu dan dosa. Meditasi yang melembutkan ego diri, meditasi yang akan membuat rendah hati, bukannya jumawa diri, meditasi yang akan membuat bisa berperasaan, bukannya jadi berperasaan bisa!.
            Dan laku meditasi, penghayatan langsung, pengetahuan intuitif dari pak tani itu bukanlah sesuatu yang ghoib, aneh atau tidak masuk akal. Sebab intuisilah sebenarnya yang mendasari pengenalan laku hidupnya sehari-hari. Laku asketisisme (asceticism) dan meditasi itu hanya seperti membangkitkan kembali naluri-naluri primitive yang cenderung melemah, bahkan mungkin sudah mati dalam diri manusia modern. Olah batin itu semacam program revitalisasi rasa. Hingga tiap gerak tubuh kita sehari-hari semua diyakini adalah ibadah. Waktu duduk, berjalan, baring, bekerja, tidur, semua digunakan sebagai sarana untuk memahami identitas diri, daya hidup dan pengenalan haqiqat kesejatian Tuhan.
            Jadi bukan sesuatu yang ajaib, bila pak tani ini bisa mendengar kotbah Allah hanya lewat daun yang berguguran. Bukan berarti sakti, bila bisa merasakan kehadiran Allah lewat segala ciptaaNya. Dan mampu menerjemahkan bahasa alam lewat isyarat alam. Kenapa banjir gampang datang dan air mudah meluap kemana-mana?. Karena di hulu, dengan serakahnya hutan digunduli dan terjadi penyempitan/pedangkalan sungai  karena sampah dan tanah resapan telah jadi permadani beton.
                        Di zaman modern ini, kenapa banjir kebencian mudah datang dan amuk massa mudah meluap di mana-mana?. BELAJARLAH PADA ALAM!. Jawabnya sama. Karena di hulu yang ada hanya keserakahan! Dengan rakus dan serakahnya orang melahap semua isi ajaran agama, dilibas-makan habis semua jadi hapalan di luar kepala. Tanpa sadar, dengan hapal kitab suci, justru egonya jadi setinggi langit. Merasa telah suci, benar sendiri dan paling dekat Illahi. Padahal ketika kita beragama hanya berhenti pada penghapalan masalah hukum dan peraturan tingkah laku (syare’at/normative) semata. Dan melupakan pengolahan jiwa/laku batin, yang menyebabkan tumpul rasa terhadap sekitar. Itu artinya telah terjadi pendangkalan Agama/spiritual. Pinjam istilahnya Mangkunegoro IV, dalam bukunya  WEDHATAMA           , orang beragama seperti itu, hanyalah spiritualis pongah yang pintar berteori, tapi tidak paham bahwa, NGELMU IKU KELAKONE KANTI LAKU!.
            Karena diawali dengan keserakahan. Elan atau semangat yang menggebu-gebu dari hulu itu, ketika sampai/bersinggungan dengan realita kehidupan yang penuh sampah. Karena  KEDANGKALAN DAN KESEMPITAN agama/spiritualnya, orang macam ini hanya akan jadi dua jenis manusia yang sama-sama busuknya. 1. Jadi manusia fanatic, tertutup, sok suci, merasa benar sendiri dan menganggap orang diluar golongannya hanyalah sampah-kafir yang pantas untuk dibinasakan. 2. Ikut-ikutan jadi manusia sampah, dengan  tetap bertudung kesucian agama.
            Maka kita tidak perlu heran lagi, jika melihat ada orang suka berteriak-teriak menyebut kebesaran nama Allah, sambil mengacung-acungkan pedang atau pentungan untuk menakut-nakuti mereka-mereka yang tidak sepaham dengan mereka. Kita juga tidak perlu heran, jika ternyata di kementrian agama korupsi merajalela, bahkan pengadaan kitab sucipun di korupsi juga. BEGITULAH JIWA YANG TAK PERNAH DI DIDIK MENGENAL TUHANNYA. Spiritual itu memang bukan soal pinta-pintaran kotbah atau banyak-banyakkan menghapal kitab.
            Apa yang kita lakukan, itulah cerminan dari batin kita. Dan pak tani yang rndah hati  diatas tidak merasa perlu berlagak. Hanya orang rendah diri atau minder yang suka berlebihan berlagak! Sok suci, merasa benar sendiri dan suka ngotot dengan prinsip tertentu. Bagi pak tani, spiritual itu masalah pribadi dan  urusan ketulasan hati yang tak perlu dipamerkan. Spiritual itu sesuatu yang intim dengan sekitar dan kesehariannya. Jadi bagian dari nafas dan hidupnya tiap detik untuk bias selalu ELING.  Spiritual itu hanya seperti petani yang mengolah tanah, memilih-milah benih yang bagus,  menyemai di lahan yang terolah dengan benar, di pupuk, disiram, dirawat dan kelak akan menuai hasilnya. Yang kesemuanya itu dilakukan dengan penuh kesabaran keiklasan dan kecintaan.
            Spiritual yang sangat sederhana, tapi indah dan dalam. Menentramkan, sekaligus membebaskan. Maka, jika ada orang yang  mencintai dan menghormati sang Maha Pencipta yang di implementasikan dalam bentuk praktek mencintai dan menghormati alam semesta itu di cap penganut ANIMISME.  Atau jika ada orang meyakini Roh/suara Allah itu ada pada segala ciptaanNya, baik dalam bentuk mahkluk hidup atau benda mati, keyakinan yang seperti itu dikategorikan keyakinan ANIMISME. Maka dengan senang hati, saya akan mengisi kolom agama di KTP saya dengan; ANIMISME!
                       

Tidak ada komentar:

Posting Komentar