Sabtu, 03 November 2012

GANYANGLAH KEKEJIAN ITU!!!


  •             Ecrasez I’infame (ganyanglah kekejian itu} itulah motto yang dipakai sastrawan dan pemikir besar Prancis, Voltaire, sejak peristiwa pembantaian yang dilakukan oleh orang Katolik terhadapan orang Protestan di kota Touluse. Massa ketika pertikaian antara orang katolik dan Protestan jadi makanan sehari-hari di Eropa dan paradok spiritual jadi hal yang biasa. Dimana Tuhan Yesus yang sama-sama dicitakan begitu mulia, baik, penuh cinta-kasih dan penyayang, justru melahirkan pengikut-pengikut  yang begitu keji, egois, buruk dan pendendam dilain pihak. Dan ironi spiritual seperti itu sebenarnya terjadi juga dalam hampir semua sejarah agama, seperti dalam Islam adanya pertikaian antara orang Sunni dan Syia’ah misalntya’
                Membunuh itu dilarang, lalu jadi halalkah ketika pembunuhan itu atas nama agama? Pembunuhan atas nama apapun bagiku adalah masalah yang serius, tapi ditulisan kali ini aku tidak akan membahas masalah yang barangkali kurang serius walau masih berhubungan dengan masalah pembunuhan, yaitu ritual pembantaian massal hewan korban tiap hari raya Idul Adha.
                 Dilihat dari sejarahnya, ritual idul Adha adalah untuk mengingatkan kita akan kisah fenomenal, ketika nabi Ibrahim disuruh Tuhan untuk menyembelih anaknya nabi ismail yang sangat disayanginya. Nabi Ibrahim yang dalam Injil disebur Abraham si bapak segala bangsa, dan dari sang bapak inilah agama Yahudi, kristiani dan Islam bermula. Yang jadi pertanyaan kemudian, adakah dalam agama Yahudi dan Kristiani tradisi penyembelihan hewan korban untuk mengingatkan kita akan peristiwa itu?
                Dalam kotbahnya beberapa tokoh agama mengatakan; dari nabi Ibrahim kita bisa mencontoh akan kecintaannya pada Allah yang melebihi rasa cintanya pada apapun juga termasuk pada anak sendiri. Jadi Idul Adha adalah moment bagi kita untuk belajar iklas berkorban demi cinta kita pada Allah?.
                Sebuah kotbah yang bagus, tapi ketika ketika dipraktekkan dalam kehidupan nyata dalam bentuk penyembelihan hewan korban, disini saya sungguh tak bisa memahaminya. Bagiku ritual penyembelihan hewan korban di hari raya Idul Adha, tidaklah ada bedanya dengan persembahan kepada dewa-dewa yang dilakukan oleh manusia primitive.
                Nabi Ibrahim sendiri jelas tak berniat untuk menyembelih kambing sebagai persembahan/pengorbanan kepada Allah saat itu. Nabi Ibrahim justru disuruh menyembelih anaknya sendiri untuk menguji kecintaannya pada Allah. Karena terbukti kecintaanya pada Allah melebihi kecintaan pada anaknya sendiri, atas kasihNya Tuhanpun mengganti nabi Ismail dengan seekor domba. Coba kalau Allah tidak mengganti nabi Ismail dengan seekor domba, apakah demi mengikuti jejak sang nabi kita juga akan melakukan ritual menyembelihan pada anak sendiri tiap tahunnya?.
                Jadi menurutku, kisah nabi Ibrahim itu adalah kisah tentang kebesaran cinta-kasih. Hal inilah yang menurutku mestinya jadi intropeksi kita bersama, bagaimana dari kisah tentang cinta-kasih bisa ditafsir/ekspresikan dalam bentuk ritual penyembelihan hewan korban? Adakah dalam kitab suci perintah  Allah yang menyuruh kita untuk menyembelih hewan korban di hari Idul adha?.
                Banyak orang menyebut, hari raya Idul Adha sebagai hari raya korban. Yang jadi pertanyaan disini, siapa sih sebenarnya yang berkorban disini? Jelas hewan-hewan yang di jagal itu yang berkorban lebih tepatnya jadi korban disini. Bagaimana bisa, dengan menyembelih hewan dikatakan berkorban  sekalipun daging hewan itu kemudian dibagikan kepada para fakir-miskin. Sementara kita berkeyakinan, dengan menyembelih hewan korban begitu kita akan bisa dapatkan Surga? Masak tiket masuk Surga hanya seharga seekor kambing sih?
                Seeorang teman pernah katakan, bahwa hewan korban itu nanti di akhirat bisa jadi tunggangan kita. Dan aku balas dengan gurauan,”Kenapa tidak berkorban saja mobil Ferrari atau BMW sekalian, khan lebih empuk tunggangannya? Atau berkorban dengan memotong kaki sendiri, biar nanti di akhirat bisa jalan kesana-kemari dengan kaki sendiri. Kita sendiri punya daging, kenapa mesti daging mahkluk lain yang dikorbankan? Mahkluk lain yang dikorbankan, tapi kita mendongkakkan kepala mengaku/rasa yang berkorban.
                Disebuah kampung yang sebagian besar penduduknya tergolong miskin, tapi tiap Idul Adha pasti menyembelih sapi dan beberapa ekor kambing. Terdorong oleh rasa penasaran, akupun bertanya pada penduduk disitu, siapa orang yang tiap Idul Adha berkorban sapi itu? Dengan nada bangga penduduk situpun menjawab, bahwa sapi yang dikorbankan tiap Idul Adha itu hasil dari swadaya bersama masyarakat. Tiap malam jum”at mereka mengadakan do’a bersama sambil menarik uang iuran dari masyarakat. Dan dari uang tabungan tiap malam jum’at itulah di hari Idul Adha uangnya digunakan untuk beli hewan korban.
                Saat itu juga saya tidak bisa lagi bisa menyembunyikan rasa ingin tertawanya, membayangkan di akhirat nanti, melihat seekor sapi yang ditunggangi  oleh orang sekampung.
                “Lalu daging korbannya itu akan disumbangkan kemana, pak?” tanyaku kemudian.
    “Ya, kita bagi rata saja disini dagingnya.” Jawab orang itu enteng. “Istilahnya, korban  Idul Adha itu, dari kita, oleh kita dan untuk kita, begitulah kurang-lebihnya.”
                “Bagus!” kataku sambil mengacungkan dua jempol dan tertawa lepas. “Tapi bukankah hal itu sama saja tidak berkorban, tapi hanya ritual pesta makan daging bersama saja?”
                “Yah, bisa jadi begitulah,” jawab orang itu sambil terenyum kecut, kemudian meluncur pengakuan jujurnya. “Kita khan malu mas, kalau masjid kampung lain tiap Idul Adha menyembelih hewan korban, sementara masjid kampung kita tidak menyembelih apa-apa.”
                Dari masjid kampung, pengamatankupun pindah ke masjid besar di sebuah kota besar. Di rumah ibadah ini biasa bertemu kekuasan para pembesar agama dengan para pembesar negeri. Masjid besar dan megah jelas menyedot banyak uang dan harus menghimpun dana yang tidak sedikit yang memungkinkan terjadinya korupsi? Yang ulamanya harus mengotbahkan kepada para jema’at, siapa-siapa tokoh/pembesar yang jadi penyumbang masjid ini?
                Moga itu hanya pikiran negative saya saja. Tapi dengan mata kepa sendiri, aku memang pernah saksikan sendiri di hari Idul Adha, barisan sapi-sapi besar yang hendak dijagal di masjid besar megah itu. Dan hampir di semua tubuh sapi itu ada tulisan nama-nama para penyumbang yang hendak berkorban itu.
                Ironisnya, begitu para fakir-miskin yang berjubel untuk mendapatkan sekantong plastic daging korban itu keluar masjid, di pintu gerbang masjid mereka sudah pada ditungguin oleh para pedagang daging.
                “Kenapa daging korbannya dijual, bu?” tanyaku pada seorang ibu-ibu yang baru menjual daging korbannya.
                Ibu itupun langsung tertawa lepas dan menjawab,”Kalau dagingnya di masak di rumah, bikin boros saja. Pasti makannya pada banyak dan ngabis-abisin nasi saja hahaha…………. Kalau dagingnya dijual, khan uangnya bisa untuk beli-beli keperluan lainnya yang lebih penting.”
                Melihat dari kenyataan-kenyataan diatas, aku sama sekali tidak melihat adanya manfaat, pencerahan, keindahan ataupun pendidikan spiritual apa-apa dalam ritual penyembelihan hewan ternak di hari raya Idul Adha itu. Yang aku saksikan justru hanya orang-orang yang ketakutan, takut eksistensi agamisnya tak diakui, takut tak kebagian kapling di surga  dan karena itu jadi bengis! Tiap Idul Adha yang aku saksikan hanyalah  keserakahan, egoisme, pembantaian, kanibalisme, yang bertudung kesucian agama!.
                Semakin besar kerelaan/keiklasan kita dalam berkorban, itu semakin bagus dalam spiritual memang. Tapi jika berkorban itu didasari oleh pamrih, ego dan keserakahan diri, itu pasti akan jadi paradok dalam spiritual. Apalagi berkorban dalam artian pembunuhan. Anda rela berkorban kambing demi pengakuan masyarakat, anda rela berkorban sapi agar terlihat sebagai orang sholeh, suatu saat andapun  akan juga tega mengorbankan nyawa sesama agar dapat tiket masuk surga?.
                Kalau cuma soal menyembelih hewan, para koruptor yang uangnnya banyak itu juga bisa tiap hari berkorban menyembelih hewan. Jadi betapa sangat dangkal, picik, goblok, idiot dan hinanya pandangan spiritual kita itu. Jika kita menilai spiritual seseorang hanya dari seberapa banyak nyawa-nyawa ciptaan Tuhan yang telah berhasil kita bantai. Aku juga percaya, Tuhan sendiri tidak pernah butuh persembahan/korban yang penuh dengan darah kekejian dan kebengisan seperti itu!.
    Dibeberapa kota besar kini juga ada fenomena yang menarik, yaitu showroom-showroom yang biasanya untuk memajang-pamerkan mobil-mobil, menjelang hari raya Idul Adha diubah jadi showroom kambing dan sapi. Dengan tetap memanfaatkan sales promotion girls   (SPG) yang cantik-cantik sebagai ujung tombak pemasarannya.
    Jadi jelas, bagi sebagian pihak, Idul Adha juga jadi ladang bisnis yang sangat menggiurkan. Dan ketika pemberhalaan agama itu bersinergi dengan pemberhalaan materi, kekejian itu makin samar oleh slogan suci; Berlomba-lombalah dalam amal kebajikan! Tapi dimataku, jika Idul Adha dibuatkan slogan, sloganny akan berbunyi; Berlomba-lombalah kalian dalam membantai mahkluk Tuhan! Berlomba-lombalah kalian dalam membelanjakan uang untuk mendapatkan tiket masuk Surga?.
    Ritual penyembelihan hewan korban di hari Idul Adha, menurutku adalah kelakuan orang-orang yang tak punya otak dan tumpul nuraninya. Kelakuan orang picik-buta yang merasa mengenakan jubah suci, padahal seseungguhnya yang dikenakan adalah jubah kotor penuh darah. Ritual Idul Adha itu tak ada bedanya dengan kuburan yang dilabur putih (meminjam kata-kata Yesus) putih-bersih memang luarnya, tapi bangkai-kotoran-penyakit isinya.
    Setinggi dan seluas apapun ilmu agama/spiritual orang itu, selama dia masih mengajarkan amal ibadah kepada Tuhan dalam bentuk penumpahan darah, baik itu ternak apalagi darah MANUSIA. Jika disuruh memilih, dengan sepenuh hati aku akan lebih suka memilih mencium bibir anjing, daripada mencium tangan orang yang berlumuran darah seperti itu!.
    Aku tak mau munafik, aku bukanlah seorang vegetarian [entah besok]. Aku masih suka juga makan daging. Tapi jika aku menyembelih dan makan daging hewan, jujur saja karena aku memang ingin memuaskan naluri jasmaniah/hewaniahku. Jadi tak perlu sok suci dengan mengatas namakan agama dan demi berkorban untuk  para fakir-miskin segala. Semua itu bagiku hanya omong-kosong besar para penipu yang berjubah kesucian agama. Jadi bagiku, kalau ada yang harus disembelih, dipotong, lebih santunnya ditata, bukan hanya tiap tahun, tapi tiap hari-tiap waktu, yaitu naluri jasmaniah/hewaniah kita itu.
                Dalam spiritual, apa yang di lahir itu jadi cerminan apa yang di batin. Dan tiap idul adha aku hanya bisa bersedih melihat hilangnya hilangnya kerendahan hati dan sikap berbartabat yang ada dalam spirit ajaran Islam. Melihat  kebanggaan mereka dalam membantai hewan-hewan korban, bagiku hanya seperti melihat krisis keadaan batin mereka saja. Dan melihat realita masih kuatnya budaya ketokohan, panutan atau paternalistic dalam masyarakat kita. Maka sebagai penutup, aku ingin mengajukan pertanyaan pada mereka-mereka yang merasa diri para tokoh, pembesar, pemuka dan ahli agama Islam, “Masih layakkah pembantaian hewan korban itu dilakukan tiap hari raya Idul-adha untuk mengenang akan kebesaran cinta kasih nabi Ibrahim pada Tuhan dan anaknya[sesamanya] itu?”
    Jika pertanyaan itu untukku jawabku pasti,”Ecrasez I’infame Idul Adha!!!”

3 komentar:

  1. Silakan anda mencium anjing anda. Tak selamanya pemikiran orang itu benar adanya. Tanpa anda mengkaji lebih dalam. Jadi jika hanya menilai saja tanpa landasan yg jelas. Lebih baik diam saja. Ini bukan ritual atau festival. Ini perintah Nabi kami. Dan jelas tertulia di kitab kami. Jangan menyalahkan agama. Jika mau menyalahkan salahkan lah yang pantas (menurut anda) disalahkan. Maaf telah ikut berkomentar . Saya harap anda tak dendam pada saya. Peace

    BalasHapus
  2. Rasul kami mengatakan dg jelas: bagimu agamamu, bagiku agamaku. Terserah anda bilang ini ritual primitiv, dll. Karena kami hanya melaksanakan sunnah/perintah nabi kami. Seperti halnya anda2 semua melaksanakan ritual keagamaan anda masing2. Pelajari Islam lebih dalam lagi. Bukan pelajari kaum islam. Karena islam itu sempurna,manysia tidak. Tapi kami berusaha untuk jasi ummat lebih baik. Semoga Anda sehat selalu :-)

    BalasHapus
  3. Rasul kami mengatakan dg jelas: bagimu agamamu, bagiku agamaku. Terserah anda bilang ini ritual primitiv, dll. Karena kami hanya melaksanakan sunnah/perintah nabi kami. Seperti halnya anda2 semua melaksanakan ritual keagamaan anda masing2. Pelajari Islam lebih dalam lagi. Bukan pelajari kaum islam. Karena islam itu sempurna,manysia tidak. Tapi kami berusaha untuk jasi ummat lebih baik. Semoga Anda sehat selalu :-)

    BalasHapus