Selasa, 09 Oktober 2012

SPIRITUAL ACHIEVEMENT


  •              Di tahun 60-an,  untuk mendapatkan suatu pembebasan psikologis atau untuk mendapatkan apa yang disebut SPIRITUAL ACHIEVEMENT, kaum Hippies menghisap ganja. Mereka juga anti kerja keras dan hidup leha-leha sangat hedonis. Orang hidup tanpa tujuan hidup. Tanpa makna yang lebih, selain sekedar untuk mendapat kekayaan dan kedudukan. Dan ketika semua itu sudah didapat, akhirnya hanya kekosongan dan kehampaan jiwa yang didapat, dan akhirnya larilah mereka ke daun ganja.
                Saat ini, kebanyakan agamawan/spiritualis juga hanya mengajarkan spiritual achievement, seperti bagaimana cara mendapat Surga dan menghindari Neraka, ajaran untuk bisa meraih kemenangan, kejayaan, kedigdayaan, kemuliaan.  Mengajarkan bagaimana membuka cakra, mata ketiga,  hingga bisa melihat alam ghaib, meramal dan jadi paranormal. Dan ini catatan saya, PAMRIH ATAS NAMA ROHANI TETAPLAH PAMRIH!. Maka tidak usah heran, karena tidak dilandasi oleh ketulusan, kemurnian dan kesucian jiwa, dikalangan orang-orang yang suka beribadah-meditasi seperti itu, sifat  palsu, serakah, arogan, fanatic, serba curiga, sadar kehebatan diri tidak hilang setelah itu.
                Bagaimana kita akan bisa berlaku tulus-jujur pada sesama, kalau pada Tuhan saja kita tidak pernah mau dan berani berlaku tulus-jujur. Jadi kalau saat ini banyak agamawan/spiritualis, tapi kelakuannya penuh paradokal. Jawabannya jelas, karena saat ini kebanyakan yang beredar hanyalah agamawan/spiritualis Google. Orang dianggap spiritualis tingkat tinggi jika bias  menghapal kitab suci dan bisa  memberi jawab atas segala pertanyaan dan bisa memberi jalan keluar atas semua persoalan.
                 Coba anda lihat, acara-acara keagamaan di televise,  isinya hanya mohon petunujuk umat, bagaimana menyelesaikan suatu permasalan pada sang tokoh agama. Yang seringkali, pertanyaan-pertanyaannya sangat remeh-temeh sekali. Hal seperti ini, jelas mendidik umat ketergantungan pada sang tokoh. Dan sang tokohpun sebenarnya juga tak beda dengan umatnya, sama-sama orang yang kecanduan. Hanya bedanya, disini sang tokoh kecanduan dengan kitab suci. Persis kita-kita mahkluk digital, pertanyan apapun kita tanya mbah Google. Kita bisa cerita banyak dan detail tentang negeri yang sangat jauh dan belum pernah kita kunjungi, dengan mengkopi-paste catatan mbah Google. Tidak ada bedanya dengan tokoh agama yang berkotbah tentang Surga-Neraka dengan mengkopi-paste kitab suci bukan?.
                Spiritual achievement = spiritual penuh pamrih = spiritual instan. Apapun bentuk dan kemasannya, intinya spiritual yang dekat dengan naluri otak pedagang.  Dan spiritual achievement itu yang kini jadi mainstream spiritual. Spiriutal yang tidak berdiri diatas pondasi ketulusan jiwa, tapi spiritual yang didirikan diatas tumpukan aneka macam pamrih, pamrih dapat pengikut, pamrih dapat keuntungan financial-non financial, pamrih biar dipandang sebagai orang suci dan sebagainya.
                Saya tidak menyalahkan spiritual achievement, hanya advis saya, hati-hati dengan spiritual macam ini. Karena seringkali, iklan mengalahkan realita dan propaganda sering menggerus akal sehat, dan janji-janji manis sering membuat kita buta dan lupa diri. Contoh terekstriem dari pengikut spiritual achievement, adalah para pelaku bom bunuh diri. Mereka lakukan itu semua, katanya karena membela agama dan pamrihnya agar dapat memperistri bidadari di Surga?. Pemikiran seperti itu khan jelas didasari keserakahan otak pedagang, yang mau dapat untung besar (surga) hanya dengan modal dengkul. Ingin dapat masuk Surga secara Instan dengan mencelakai orang-orang yang tak berdosa. Orang macam itu, bagiku tak ada bedanya dengan koruptor, rampok-jalanan dan pecandu narkoba. Sama-sama orang yang tidak bisa mensyukuri-menghargai atas rahmat-berkah yang diberikan Tuhan. Para pengecut yang tak berani menghadapi kenyataan hidup dan lari ingin menggapai mimpinya secara instan dan menghalalkan segala cara.
     Tapi mereka-mereka itu sebenarnya juga hanya korban iklan dan dogma. Jadi guru-guru spiritual mereka itulah (pinjam isitilah kata-katanya Yesus} sesungguhnya para ahli agama/kitab yang tidak lebih dari  KUBURAN YANG DI LABUR PUTIH. Putih bersih memang luarnya, tapi bangkai busuk menjijikkan isinya. Ahli kitab yang di jiwanya tidak ada ketulusan, tapi hanya aneka pamrih dan pamrih yang ada.
    Sudah bukan zamannya, spiritual digerakkan dengan jualan soal Surga dan Neraka. Dagangan Surga dan Neraka, terbukti hanya mendidik umat jadi bermental pengecut dan pragmatis. Sementara disisi lain, memberi tempat para bajingan-penipu berjubah-surban agama meneguk keuntungan. Dagangan soal Surga dan Neraka itu juga mengaburkan makna dasar hampir semua ajaran agama.
                Semua agama mengajarkan hal yang sama, mengajari umat untuk mencintai Tuhan dan sesamanya. Tapi iming-iming Surga dan ancaman Neraka, telah mengaburkan ajaran itu. Orang lebih sibuk memikirkan untuk bisa menggapi Surga dan menghindari Neraka dengan menelan bulat-bulat ajaran agama (fanatic).  Hingga entah sadar atau tidak,  sesungguhnya mereka telah menuhankan/memberhalakan agama.  Beranggapan bahwa ajaran agama itu yang akan menyelamatkan dan menuntun kita. Itu khan keyakinan yang fatal, karena sebagai spiritual, kita mestinya percaya, bahwa hanya Tuhannlah  yang akan menuntun dan menyelamatkan kita.
    Jadi sebenarnya sederhana saja,  untuk kita bias  mengetahui seorang guru spiritual itu jiwanya tulus, murni dan suci atau tidak. Yaitu dengan melihat pengajarannya; Kalau guru itu mengajarkan kita untuk menemukan dan jadi diri kita sendiri,  guru itu memang berhati suci dan luhur budi. Tapi jika orang itu hanya mengajarkan spiritual achievement, sekalipun orang itu hapal kitab suci atau bisa bermujijat yang aneh-aneh. Bisa jadi guru itu hanyalah tukang jual ayat atau paranormal yang sedang cari makan. Guru macam itu hanya akan mengajar dan mengejar kemampuan akademis (spiritual teori/google) dan cenderung mengabaikan perkembangan karakter, mental dan jiwa umatnya.
    Ada seorang sufi wanita terkenal dari Basrah yang bernama Rabiah Al Adawiah. Beliau ini bisa jadi contoh mengenai totalitas penyerahan seorang hamba pada Tuhan yang maha pemurah. Yang beribadah tanpa diwarnai pamrih dan kepentingan apapun, selain hanya buat berserah diri pada segala kebesaran dan kehendaknya. Dan  beliaupun bersumpah;  Jika aku beribadah karena takut siksaan Neraka, masukkan aku di api NerakaMu. Begitupun jika aku beribadah karena mengharapkan Surga, campakkan jauh-jauh Surga itu dariku!.
    Begitulah, ketika ibadah dilandasi oleh ketulusan, kemurnian dan kesucian jiwa. Tuhanpun akan berkenan membuka hijab (tabir) yang menutupi segala rahasiaNya. Dan kini, mata hati itupun diperkenan melihat apa yang tidak bisa dilihat oleh mata wadag. Pengalaman kedekatan langsung dengan segala kebesaran Allah itulah, yang membuatnya tidak ngiler lagi dengan iming-iming kenikmatan Surgawi, sekaligus juga tidak gentar-takut lagi dengan cerita tentang siksa bara api Neraka.
    Dan  pengalaman spiritual macam itu bukan sebuah achievement. Spiritual sejati tetap tidak bisa dan mau mendikte Tuhan.  Hal seperti itu tidak bisa dicapai, semua itu terjadi semata-mata hanya hadiah dari yang maha pemurah. Maka tepat kiranya wejangan para bijak, bahwa orang sabar itu dicinta Tuhan.
    Jadi jujur saja, kalau kita-kita ini memang belum kenal sejatinya Allah, ataupun mengerti apa yang dimaksud benar, sempurna dan suci, kita mestinya mau belajar rendah hati untuk menghargai proses kearah itu. Dan bagiku, itulah sesungguhnya makna sejatinya spiritual, yaitu proses pencarian yang terrus-menerus. Spiritual tak selalu bersifat liniar dan bisa dibatasi ruang-waktu. Spiritual bukanlah sesuatu yang final, persis dengan permainan ular-tanga. Jadi siapa merasa telah sempurna spiritualnya, sebenarnya orang itu telah game over!.
    Ketulusan jiwa juga tidak bisa dibentuk dengan kekerasan, paksaan dan ancaman. Ketulusan jiwa akan tumbuh dari jiwa yang sanggup berserah diri secara totalitas pada segala kebesaran dan kehendakNya dalam  ibadah atau meditasinya. Karena itu pengalaman spiritual tiap-tiap orang orang akan selalu  bersifat khas, unik dan mempribadi. Keunikannya tak terjelaskan,  Akal kita tak mampu menggapainya. Dalam kepasrahan-penyerahan diri itu, kita  akan langsung dituntunt oleh Allah, untuk memahami inti kebenaran yang memberi pengertian, makna dan tujuan kepada kejadian kita. Bisa jadi kebenaran/pencerahan, tuntunan dariNya itu SAMA DENGAN YANG PERNAH ORANG LAIN TERIMA. Tapi bisa juga yang kita terima itu sebagai kebenaran/pencerahan,tuntunan yang seperti absurd, ganjil dan tidak masuk akal.
     Jadi menurutku, kebenaran, pencerahan, tuntunan, dari allah itu ada dua macam. Satu, tuntunan (wahyu?) yang hanya untuk diri sendiri, dan dua tuntunan yang untuk umum. Yang pertama, namanya untuk diri sendiri, ya tuntunan hanya untuk dikonsumsi sendiri. Pengalaman spiritual yang semakin menguatkan keyakinan kita akan keberadaan Tuhan. Dan tak perlu untuk diceritakan pada orang banyak, karena jika diceritakan hanya akan menjerumuskan kita di kotak kesombongan. JIka diceritakan, lebih banyak tidak baiknya daripada baiknya.  Jika diceritakan, orang yang suka kita, bisa-bisa akan mengkultuskan kita sebagai orang suci? Sementara orang yang tidak suka kita, bisa jadi akan mengannggap kita tidak lebih dari orang gila yang sedang berhalusinasi.
    Dan kedua, pencerahan, kebenaran, tuntunan atau wahyu dari Allah yang bisa/boleh diungkap ke public. Cirinya pasti; JIka diungkap ke public, akan memberi  pula pencerahan dan manfaat bagi kehidupan banyak orang. Dan ini hal terpenting menurut saya,  kita tidak perlu kotbah, iklan dan koar-koar, “Ini wahyu dari Allah! Tuntunan dari Allah, ini bisikan dari Malaikat!” Dan sebagainya.  Jadi yang terpenting adalah buktikan! Apa yang kita lakukan itu memang dibimbing oleh tuntunan Allah yang pada akhirnya pasti juga akan memberi pencerahan, kebaikan dan manfaat bagi banyak orang.
    Yang terjadi sekarang umumnya khan terbalik. Orang berkoar-koar dahulu, ini wahyu dri Allah! Ini tuntunan dari Allah! Ini bisikan malaikat dan sebagainya. Yang biasanya juga lanatas disertai ancaman dan paksaan untuk mengikuti dan tidak boleh ditentang , kalau tidak mau  dilaknat Tuhan jadi penghuni Neraka. Padahal sejatinya Allah itu seperti apa dan dimana mereka juga tidak tahu.  Mereka tahu perintah itu juga cuma dari hasil membaca kitab-suci. Bacaan yang juga bisa ditafsir darimana dudut pandang sang pembacanya. Jadi menurutku, sudah saatnya spiritual meninggalkan object dan atau kajian yang mengawang, kajian dan atau object yang abstrak, a-historis harus ditinggalkan dan menangkap fenomen yang kongkret, historis dan actual.
    Ada kisah, orang yang tiap hari kerjanya hanya melantunkan ayat-ayat suci dan memuja-muji Allah di rumah ibadah. Dan seorang nabi ditanya pendapatnya tentang orang yang super sibuk beribadah itu. Tapi sang nabi bukannya menjawab, malah balik bertanya, “Kalau orang itu tiap waktu kerjanya hanya beribadah melulu, lalu bagaimana dia dapat makan?”. Orang yang ditanya sang nabi itupun menjawa, “Dia selalu dikasih makan oleh saudaranya.” Dan sang nabipun akhinya menyimpulkan, “Kalau begitu, sesungguhnya yang spiritualis sejati adalah saudaranya yang bekerja-keras dan memberinya makan itu!’
    Tuhan itu tidak gila pujian dan butuh penghormatan. Jujur, orang yang suka berdo’a panjang-panjang itu sesungguhnya yang gila pujian dan punya pamrih ingin di hormati sebagai orang suci?. Tuhan juga tidak perlu dilayani. Tapi melayani dan menghormati ciptaanNya, berarti kita juga telah melayani dan menghormati Dia yang mencipta. Maka spiritualis sejati akan selalu melayani dan menghormati sesamanya atas namaNya. Jadi spiritual tidak hanya dalam bentuk ritual ibadah-meditasi, tapi juga dalam bentuk kerja cucuran keringat  atau pemikiran dalam praktek hidup keseharian yang juga tetap bersandar pada segala kasihNya.
    Jadi kalau ada orang yang mengajarkan umatnya untuk TAKUT KEPADA ALLAH. Sekalipun orang itu hapal kitab suci, saya berani katakan  orang itu sesungguhnya masih jauh dari cahaya kasihNya. Orang macam itu hanyalah penipu yang sekaligus mengajarkan umat jadi penipu. Tuhan itu tidak untuk ditakuti, tapi dicintai. Kenapa? Karena sikap hormat orang yang ketakutan pasti tidak tulus. Sementara sikap hormmat yang dilandasi cinta pasti tulus, murni dan jujur. Spiritual yang dilandasi ketakutan dan tidak ketulusan jiwa pada Tuhan, produk keluarnya pasti juga hanya akan menakut-nakuti orang banyak. Sementara spiritual yang dilandasi cinta dan ketulusan jiwa pada tuhan, produk kel;uarnya pasti juga akan dalam bentuk cinta kasih pada sesama ciptaanNya.
    Kau hendak mengenal Tuhan?/ Maka janganlah kau jadi pemecah persoalan/ Seyogyanya, kau pandangi dahulu sekitarmu/ Disitu kau khanlihat Tuhanmu yang tengah bermain dengan anak-anakmu {Khalil Gibran}.
    Kita tidak mungkin bisa mengenal sejatinya Allah, sebelum kita bisa kenal/tahu siapa sejatinya diri pribadi kita. Dan kita juga tidak mungkin akan bisa mengenal siapa diri pribadi kita itu, sebelum kita mau mengenal orang kebanyakan. Spiritualis itu orang yang mencrai kebenaran, bukan orang yang mencari membenaran diri. Jadi spiritualis harus dan tidak takut terbuka terhadap aneka ajaran/pandangan daru luar. Apa-apa yang dari luar itu akan menguji, menguatkan, mungkin juga merontokkan keyakinan yang kita peluki selama ini. Kalau kenyataannya keyakinan yang kita peluki sel;ama ini memang tidak benar dan mewakili jati-diri kita, ya memang harus dirontokkan keyakinan itu, digantikan keyakinan yang lebih  jujur mewakili wajah diri. Spiritual  yang merupakan hasil pencarian diri, bukan spiritual dari warisan orang tua atau tekanan lingkungan belaka.
     Orang yang beribadah, meditasi atau sujud pada sejati Allah, hatinya akan penuh ketentraman dan kedamaian. Dan hanya dari jiwa yang damai akan melahirkan insan spiritual yang matang dan dewasa dalam hidup kesehariannya. Orang yang matang spiritualnya itu, selalu rendah hati, terbuka, toleran sederhana apa adanya, jujur, tidak serakah, pendedam, pemarahan, dan suka iri hati. Orang yang matang spiritualnya juga akan selalu menghargai kerja-keras, tak kenal putus asa, tak pernah demam tujuan dan selalu mensyukuri disetiap pahit-manis  disetiap langkah hidupnya. Orang yang dewasa spiritualnya adalah orang yang bisa dan berani menertawai dirinya sendiri. Mau menerima kritik yang paling pedas dan tak beralasan sekalipun dengan lapang dada.
    Dalam spiritual, pada haqiqatnya kita semua ini sama. Hanya sama-sama murid yang masih belajar pada sang GURU  SEJATI, yaitu Tuhan YME. Jadi meskipun saya bisa ngoceh banyak dan menulis sangat panjang. Sebenarnya aku tak bermaksud untuk menggurui. Saya hanya ingin berdialog, hingga ada proses sharing, untuk berbagi, bersama belajar dan mengajar, hingga semakin tumbuh keyakinan untuk menemukan sang jati diri kita masing-masing, yang akan berujung pada pengenalan haqiqat kesejatian Tuhan itu sendiri.
    Rahayu.

    • Gardu Aktif tulisan bagus,subektif,agak akurat,non refrensi...
      tapi kok gak aa yg nanggepin yach???
      apa karena kepanjangan atau karena pada tertohok dg tulisan ini atau mereka males dg gaya seperti ini???

Tidak ada komentar:

Posting Komentar